Perbincangan tentang keadilan rasanya merupakan suatu kewajiban ketika berbicara tentang filsafat hukum, mengingat salah satu tujuan hukum adalah keadilan dan ini merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum .
Memahami pengertian keadilan memang tidak begitu sulit karena terdapat beberapa perumusan sederhana yang dapat menjawab tentang pengertian keadilan. Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling dalam. [1]
1. Apakah yang dimaksud dengan keadilan itu ?
Tentang rumusan keadilan ini ada dua pendapat yang dasar yang perlu diperhatikan, sebagai berikut :
a) Pandangan kaum awami ( pendapat awam ) yang pada dasarnya merumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil” neraca hukum “ yakni “takaran hak dan kewajiban”
b) Pandangan para ahli hukum ( Purnadi Purbacaraka ) yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum [2]
2. Buktikan dengan contoh bahwa keadilan adalah keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaannya?
Adanya kenyataan berdasarkan dalil “ takaran hak adalah kewajiban”, yang secara jelas berarti seperti berikut ini :
a) Hak setiap orang itu besar kecilnya tergantung pada atau selaras dengan besar kecil kewajibannya, sehingga dengan demikian berarti pula seperti dibawah ini.
b) Dalam keadaan yang wajar, tidaklah benar kalau seseorang dapat memperoleh haknya secara tidak selaras dengan kewajibannya atau tidak pula selaras kalau seseorang itu dibebankan kewajiban yang tidak selaras dengan haknya.
c) Tiada seorangpun dapat memperoleh haknya tanpa ia melaksanakan kewajibannya, baik sebelum maupun sesudahnya, dan dengan demikian pula sebaliknya tiada seorangpun yang dapat dibebankan kewajibannya tanpa ia memperoleh haknya, baik sebelum maupun sesudahnya.
Contohnya :
Ø Setiap pemilik suatu benda atau pemegang hak milik atas suatu benda harus membayar pajak kekayaannya atas benda miliknya itu dalam jumlah tertentu yang ditentukan menurut harga atau nilai bendanya tersebut. semakin mahal harga atau nilai benda tersebut, maka semakin mahal pula pajak yang harus dibayar oleh pemiliknya dan demikian pula sebaliknya.
Ø Upah seorang pegawai tentunya diselaraskan dengan berat ringan pekerjaannya[3]
3. Bagaimana pandangan para Filosof tentang keadilan ?
a) Plato, menurutnya keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu.[4].Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani” Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan sosia.l[5] penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain[6]
b) Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. [7] Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk yaitu :
Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional.
Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang[8]
Atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan.
c) Ulpianus yang mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi) .
d) Justinian yang menyatakan bahwa “keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”
e) Herbert Spenser yang me nyatakan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari lain orang”.
f) Roscoe Pound yang melihat indikator keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa perumusan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.
h) John Salmond yang menyatakan bahwa norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdeka an individual dalam mengejar ke makmuran individual, sehingga dengan demikian membatasi kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan umat manusia
i) Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma”adil’ hanya kata lain dari ‘benar”.[10]
j) Jhon Rawls, Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki[11]
4. Bagaimanakah keadilan dalam perpektif filsafat hukum?
a) Penganut paradigma Hukum Alam meyakini bahwa alam semesta diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara lain Stoisisme norma hukum alam primer yg bersifat umum menyatakan:Berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang (neminem laedere)”. Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentuk an oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
b) Paradigma Positivisme Hukum, keadilan dipandang sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan adalah Suum jus, summa injuria; summa lex, summa crux. Secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang keras akan melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya.
c) Dalam paradigma hukum Utiliranianisme, keadilan dilihat secara luas. Ukuran satu-satunya untuk mengukur sesauatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Adapun apa yang dianggap bermanfaat dan tidak bermanfaat, diukur dengan perspektif ekonomi.”.[12]
5. Bagaimana pandangan Islam tentang keadilan ?
Keadilan menurut pandangan Islam merupakan tonggak kehidupan seseorang yang berhati nurani karena dengan kuatnya standard of Morality, maka akan mampu meletakkan suatu perkara secara proporsional dan terbebas dari keberpihakan atau kepentingan sepihak/golongan. Keadilan tidak dapat dipengaruhi oleh perasaan senang, terpaksa, permusuhan, kedudukan, dan lain-lain. Adil di kacamata Islam adaah salah satu norma yang menunjukkan tingkat ketaqwaan seseorang muslim terhadap ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT ke Nabi Besar Muhammad SAW.[13]
6. Apakah ukurannya bagi sebutan orang yang adil, masyarakat yang adil dan pemerintah yang adil ?
a) Orang yang adil adalah orang yang mengatakan sebenar-benarnya apa-apa yang dia ketahui karena rasa takut kepada Allah SWT, bukan takut kepada manusia atau jabatan, serta kekuasaan. Jadi ukurannya adalah mengemukakan kebenaran tanpa dipengaruhi oleh apapun kecuali atas nama Allah SWT seperti bunyi firman Allah dalam Surat An-Nissaa’ (Wanita) yang berbunyi :
“Wahai orang-orang yang beriman: Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah barpun terhadap kaum kerabatmu, Jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.Maka Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan Jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Keharusan menjaga kebenaran dan keadilan juga diatur dalam Surah An-Nisaa (Surat ke-4) Ayat 105 yang mengatakan,
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”
b) Masyarakat yang Adil, adalah dimana hukum dijadikan Panglima dalam menjalani kehidupan sehari-hari , dimana interaksi antar manusia sangat kuat terjadi, kemungkinan untuk tidak berlaku adil mungkin saja terjadi, tetapi bila hukum dijadikan panglima dalam kehidupan sehari-hari Insya Allah keadilan akan selalu berada di dalamnya, karena sesuatu yang tidak dapat disangkal ialah adanya hubungan antara hukum dan keadilan. Untuk meneggakan keadilan perlu adanya hukum yang bebas dari unsur-unsur negatif. (kekuasaan yang otorirer, dan lain-lain).
c) Pemerintah yang adil, Memang tidak semudah membalik telapak tangan bahwa mentakan suatu pemerintahan sudah berbuat adil. Untuk menciptakan suatu pemerintahan yang adil sudah pasti akan menuai banyak protes-protes dari berbagai kalangan yang merasa tidak terpenuhi aspirasinya, tetapi yang penting dalam suatu pemerintahan yang adil harus terjadi pembagian kewenangan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sehingga terlihat ketiga bagian tersebut berjalan seiring (satu langkah), karena keadilan itu hanya merupakan alat untuk melaksanakan hukum kepada semua orang dengan tidak boleh memandang perbedaan maupun kedudukannya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat An-Nissa ayat 58 yaitu “Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil”
Jadi pemerintahan yang adil adalah pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan dengan memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam konstitusi dengan sebaik-baiknya. Artinya pemerintah adalah pelayan masyarakat bukan pemerintah harus dilayani oleh masyarakat. (apabila itu terjadi tunggulah kehancurann pemerintahan tersebut).[14]
Perspektif tentang keadilan sebagaimana dirumuskan di atas, menurut Satjipto Rahardjo, seperti dikutip oleh Angkasa bahwa keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia.
Lebih lanjut Angkasa mengatakan bahwa Karena keadilan adalah ukuran yang dipakai seseorang dalam memberikan terhadap objek yang berada di luar diri orang tersebut. Mengingat objek yang dinilai adalah manusia maka ukuran-ukuran yang diberikan oleh seseorang terhadap orang lain tidak dapat dilepaskan dengan bagaimana seseorang tersebut memberikan konsep atau makna tentang manusia. Apabila seseorang melihat orang lain sebagai mahluk yang mulia maka perlakuan seseorang tersebutpun akan mengikuti anggapan yang dipakai sebagai ancangan dan sekaligus akan mentukan ukuran yang dipakai dalam menghadapi orang lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masalah keadilan tidak dapat dilepaskan dengan filsafat tentang manusia”.[15]
DAFTAR PUSTAKA
Angkasa, 2010, Filsafat Hukum ( Materi Kuliah ), Magister Ilmu Hukum Hukum UNSOED, Perwokerto, hal.106-
Ansori, Abdul Gafur, 2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah Mada Universisty Press, Yogyakarta
Fuady, Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor,
Garvey, James, 2010, 20 Karya Filsafat Terbesar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Halim, A. Ridwan, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,
Kelsen Hans, 2009, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung,
Manullang, E. Fernando M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta
Rato,Dominikus, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya
Artikel internet; Islam, Universitas, Soal & Jawaban Filsafat Hukum" .www.blogger.com, 2009
[1]Angkasa, 2010, Filsafat Hukum ( Materi Kuliah ), Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal.105
[2] A. Ridwan Halim, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.176
[3] Ibid, hal.177
[4] Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, LaksBang Yustisia, Surabaya,hal.63
[5] Munir Fuady, 2010, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Ciawi-Bogor, hal.92
[6] James Garvey, 2010, 20 Karya Filsafat Terbesar, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal.5
[7] Dominikus Rato, Op.Cit, hal.64
[8] Abdul Gafur Ansori, 2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran Dan Pemaknaan, Gajah Mada Universisty Press, Yogyakarta
[9] Angkasa, 2010, Op. Cit. hal.107-108
[10] Hans Kelsen, 2009, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal.48
[12] Ibid, hal.109
[14] Ibid
[15] Angkasa, Op.Cit.hal.110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar