Assalamualaikum..wr...wb...

Selamat datang di bolg ini....meskipun jauh dari kesempurnaan tetapi berharap dapat memberikan sedikit kontribusi yang bermanfaat bagi anda semua

Kamis, 02 Februari 2012

Analisis Putusan KPPU Tentang Tarif Kartel SMS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan yang dimilki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi perdagangan dipasar.Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme untuk dapat mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan dipelihara secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan bagi masyarakat konsumen, yaitu berupa pilihan produk yang bervariatif dengan harga pasar serta dengan kualitas tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh peraturan-peraturan, atau dihambat oleh perilaku-perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka akan muncul dampak kerugian pada konsumen.[1]
Hukum persaingan ( hukum anti monopoli )diperlukan tidak hanya dalam rangka menjamin kebebasan untuk bertindak seluas mungkin bagi pelaku usaha, tetapi juga menentukan garis pembatas antara pelaksanaan kebebasan pelaku usaha tersebut dengan penyalahgunaan kebebasannya itu ( freedom paradox ).Jadi hukum anti monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur keseimbangan kepentingan diantara para pelaku usaha, juga keseimbangan kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan masyarakat konsumen.Agar hokum anti monopoli dapat tetap terjaga keharmonisan kepentingan diantara pelaku usaha dengan masyarakat, maka hukum anti monopoli harus dapat menjaga efektivitas dari persaingan usaha.Hal ini patut diperhatikan Karena seringkali kebijakan persaingan usaha justru mengancam persaingan dengan aturan-aturan yang membelenggu dan menghambat persaingan.Ancaman persaingan usaha lainnya juga dating dari para pelaku usaha sendiri yang secara sengaja melakukan berbagai strategi bisnis yang menghambat persaingan.[2]
Salah satu ancaman dari pelaku usaha tersebut adalah dengan melakukan praktik kartel. Kartel merupakan jenis perjanjian  yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan perjanjian untuk mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun  pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai akibat daripada perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan konsumen selaku pemakai barang dan jasa juga kepada pemerintah dan terlebih bagi pelaku usaha lainnnya yang tidak termasuk dalam Cartellist.Padahal kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Dan tindakan para pelaku usaha yang melakukan praktik kartel tersebut adalah merupakan tindakan yang melanggar etika dalam kegiatan hukum bisnis.
Mendasari hal tersebut diatas pada kesempatan kali ini penulis akan mencoba menganalisis sebuah kasus yang telah di putus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ). Kasus tersebut adalah kartel tariff SMS ( short message service ) oleh Sembilan operator selular di Indonesia yang telah terbukti melakukan praktek perjanjian kartel yang telah merugikan konsumen  pemakai selular di Indonesia, yaitu Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007. Kasus tersebut akan di sajikan secara singkat dengan sistematika antara lain : Bagaimana Perkaranya, bagaimana pertimbangan hukum hakim ( KPPU ), dan bagaimana putusan akhir dari KPPU.

1.2.Rumusan Masalah
Yang menjadi masalah pokok yang akan dianalisis dalam putusan KPPU tersebut antara lain :
1.      Kemukakan hukum persaingan usaha ( sebutkan pasal dan unsur-unsurnya) mana yang dilanggar dalam perkara tersebut?
2.      Kemukakan apakah semua unsur tersebut terpenuhi dalam perkara tersebut menurut pendapat saudara ?
3.      Kemukakan tentang pertimbangan hukum dan keputusan KPPU dalam perkara tersebut ?
4.      Kemukakan tentang pendekatan hukum yang digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara tersebut?
5.      Kemukakan apa akibat dari pelanggaran ketentuan hukum persaingan usaha dalam perkara tersebut?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian Kartel
Kartel dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 11 disebutkan bahwa “ pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat “
Konstruksi kartel sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 tersebut antara lain meliputi :
1.      Kartel merupakan suatu perjanjian;
2.      Perjanjian dilakukan diantara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
3.      Tujuan dilakukan perjanjian adalah untuk mempengaruhi harga suatu produk;
4.      Perjanjian dilakukan dengan cara mengatur produksi atau pemasaran suatu produk;
5.      Perjanjian dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usah tidak sehat.
Menurut Posner karakteristik kartel adalah jika hanya terdapat sedikit penjual dengan pembagian wilayah yang sangat tinggi.Semakin banyak pelaku usaha dipasar semakin sulit untuk terbentuknya kartel.Tidak ada barang substitusi; produk dipasar sifatnya homogen;dan adanya kolusi.[3]
2.2.Syarat-Syarat Terjadinya Kartel
Didalam Peraturan KPPU( PERKOM ) Nomor 4 Tahun 2010 disebutkan bahwa salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada perjanjian atau kolusi antara para pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu :
1.      Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis data penjualan dan data-data lainnya.
2.      Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industry, sehingga pertemuan-pertemuan anggotan kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi.
Lebih lanjut dalam PERKOM No. 10 2010 disebutkan bahwa suatu kartel pada umumnya mempunyai bebarapa karakteristik diantaranya adalah :
1.      Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku  usaha
2.      Melibatkan para senior eksekutif dariperusahaan yang terlibat.
3.      Biasnya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka
4.      Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi.
5.      Adanya ancaman sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian
6.      Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel
7.      Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta mengentikan kegiatan usahanya.
Terdapat beberapa persayaratan agar suatu kartel dapat berjalan efektif, diantaranya adalah :
1.      Jumlah pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha dipasar semakin sulit terbentuknya suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan berjalan efektif apabila jumlah pelaku usaha sedikit atau pasar terkonsentrasi;
2.      Produk dipasar bersifat homogen. Karena produk homogen maka lebih mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai harga;
3.      Elastisitas terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk tersebut tidak berfluktuasi. Apabila permintaan sangat fluktuatif, maka akan sulit mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah produksi maupun harga;
4.      Pencegahan masuknya pelaku usaha baru kepasar;
5.      Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati.
6.      Penyesuaian terhadap pasar dapat segera dilakukan. Kartel membutuhkan komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan kesepakatan kartel sesuai dengan permintaan dan penawaran dipasar.
7.      Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk kepasarnya membtuhkan investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku usaha yang akan masuk kepasar. Oleh karena itu, kartel diantara pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan.
2.3. Dampak terjadinya Kartel
Secara umum para ahli sepakat bahwa kartel mengakibatkan kerugian baik perekonomian suatu Negara maupun bagi konsumen.
1.      Kerugian bagi perekonomian suatu Negara antara lain:
a)      Dapat menyebabkan terjadinya inefisiensi alokasi
b)      Dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi
c)      Dapat menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru
d)     Menghambat masuknya investor baru
e)      Dapat menyebabkan kondisi perekonomian yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan Negara-negara lain yang menerapkan system persaingan usaha yang sehat
2.      Kerugian bagi konsumen antara lain :
a)      Konsumen membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pasar yang kompetitif
b)      Barang atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara pelaku usaha
c)      Terbatasnya pilihan pelaku usaha


BAB III
PUTUSAN KPPU
3.1. Duduk Perkara
Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007. Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (selanjutnya disebut Komisi) yang memeriksa dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.Tentang duduk Perkaranya adalah sebagai berikut :
1.      Menimbang Komisi menerima laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT Excelcomindo Pratama, Tbk., PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., PT Hutchison CP Telecommunications, PT Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-8 Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom; --
2.      Menimbang bahwa setelah Komisi melakukan penelitian dan klarifikasi, laporan dinyatakan lengkap dan jelas;
3.      Menimbang bahwa atas laporan yang lengkap dan jelas tersebut, Rapat Komisi tanggal 01 November 2007 menetapkan laporan tersebut ditindaklanjuti ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan;
4.      Menimbang bahwa selanjutnya, Komisi menerbitkan Penetapan Nomor 68/PEN/KPPU/XI/2007 tanggal 01 November 2007 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007, terhitung sejak tanggal 02 November 2007 sampai dengan 13 Desember 2007 (vide bukti A1);
5.      Menimbang bahwa untuk melaksanakan Pemeriksaan Pendahuluan, Komisi menerbitkan Keputusan Nomor 184/KEP/KPPU/XI/2007 tanggal 01 November 2007 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai Tim Pemeriksa dalam Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 (vide bukti A2);
6.      Menimbang bahwa selanjutnya Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi menerbitkan Surat Tugas Nomor 607/SET/DE/ST/XI/2007 tanggal 01 November 2007 yang menugaskan Sekretariat Komisi untuk membantu Tim Pemeriksa dalam Pemeriksaan Pendahuluan (vide bukti A3);
7.      Menimbang bahwa dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan dari Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VII, dan Terlapor VIII (vide bukti B1, B2, B3, B4, B5) ;
8.      Menimbang bahwa setelah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa menemukan adanya bukti awal yang cukup terhadap dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh para Terlapor (vide bukti A22);
9.      Menimbang bahwa berdasarkan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa merekomendasikan kepada Komisi agar pemeriksaan dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan dan menetapkan PT Natrindo Telepon Seluler sebagai Terlapor (vide bukti A22);
10.   Menimbang bahwa atas dasar rekomendasi Tim Pemeriksa Pendahuluan tersebut, Komisi menyetujui melalui Rapat Komisi pada tanggal 13 Desember 2007 dan menerbitkan Penetapan Komisi Nomor 86/PEN/KPPU/XII/2007 tanggal 13 Desember 2007 tentang Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007, terhitung sejak tanggal 14 Desember 2007 sampai dengan 26 Maret 2008 (vide bukti A24);
11.  Menimbang bahwa untuk melaksanakan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi menerbitkan Keputusan Nomor 217/KEP/KPPU/XII/2007 tanggal 13 Desember 2007 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 (vide bukti A25);
12.   Menimbang bahwa selanjutnya Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi menerbitkan Surat Tugas Nomor 727/SET/DE/ST/XII/2007 tanggal 13 Desember 2007 yang menugaskan Sekretariat Komisi untuk membantu Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Pemeriksaan Lanjutan (vide bukti A26);
13.   Menimbang bahwa sehubungan dengan ditetapkannya cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1428 H diterbitkan Penetapan Komisi Nomor 21/KPPU/PEN/II/2008 tentang Penyesuaian Jangka Waktu Kegiatan Pemberkasan dan Penanganan Perkara di KPPU, jangka waktu Penanganan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 yang semula adalah tanggal 14 Desember 2007 sampai dengan 26 Maret 2008 disesuaikan menjadi 14 Desember 2007 sampai dengan 25 Maret 2008;
14.  Menimbang bahwa setelah melakukan Pemeriksaan Lanjutan, Tim Pemeriksa Lanjutan menilai perlu untuk melakukan Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan; ----
15.  Menimbang bahwa selanjutnya Komisi menerbitkan Keputusan Nomor 120/KPPU/KEP/III/2008 tanggal 25 Maret 2008 tentang Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007, terhitung sejak tanggal 26 Maret 2008 sampai dengan 07 Mei 2008 (vide bukti A72);
16.  Menimbang bahwa untuk melaksanakan Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi menerbitkan Keputusan Nomor 121/KPPU/KEP/III/2008 tanggal 25 Maret 2008 tentang Penugasan Anggota Komisi sebagai Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 (vide bukti A73);
17.  Menimbang bahwa selanjutnya Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi menugaskan Sekretariat Komisi untuk membantu Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan dengan menerbitkan Surat Tugas Nomor 173/SET/DE/ST/III/2008 tanggal 25 Maret 2008 sebagaimana kemudian diubah dengan Surat Tugas Nomor 303/SET/DE/ST/IV/2008 tanggal 22 April 2008 (vide bukti A74, A89);
18.  Menimbang bahwa dalam masa Pemeriksaan Lanjutan dan perpanjangannya, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan para Terlapor, para Saksi, para Ahli dan Pemerintah;
19.  Menimbang bahwa identitas dan keterangan para Terlapor, para Saksi, para Ahli dan Pemerintah telah dicatat dalam BAP yang telah diakui kebenarannya serta telah ditandatangani oleh yang bersangkutan;
20.  Menimbang bahwa dalam Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan, Tim Pemeriksa telah mendapatkan, meneliti dan menilai sejumlah surat dan atau dokumen, BAP serta bukti-bukti lain yang telah diperoleh selama pemeriksaan dan penyelidikan;
21.   Menimbang bahwa setelah melakukan Pemeriksaan Lanjutan, Tim Pemeriksa membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan sebagai berikut:

Identitas Terlapor;
1.      Terlapor I, PT Excelkomindo Pratama, Tbk; selanjutnya disebut XL, beralamat kantor di Graha XL, Jl. Mega Kuningan Lot. E4-7 No. 1, Jakarta 12710, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, berupa suatu Perseroan Terbatas, yang seluruh anggaran dasarnya sebagaimana telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 1 September 2005, No. 70, tambahan No. 9425 dan perubahannya sebagaimana telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 27 Desember 2005, No. 103, Tambahan No. 1218 dan merujuk pada susunan pengurus terakhir perseroan yang termuat dalam akta No. 121 tanggal 23 November 2007 yang dibuat di hadapan Sutjipto, SH, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
2.      Terlapor II, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel); selanjutnya disebut Telkomsel, beralamat kantor di Jl. Gatot Subroto No. 42, Jakarta 12710, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Poerbaningsih Adi Warsito, SH, No. 181, tanggal 26 Mei 1995 sebagaimana diubah terakhi dengan Akta No. 21 tanggal 21 April 2005, yang dibuat di hadapan Ny. Djumini Setyoadi, SH, MKN, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
3.      Terlapor III, PT Indosat, Tbk; selanjutnya disebut Indosat, beralamat kantor di Jl. Medan Merdeka Barat No. 21, Jakarta 10110, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris MS Tadjoeddin No. 55, tanggal 10 November 1967, sebagaimana terakhir diubah dengan Akta Notaris Sutjipto, SH, No. 31, tanggal 5 Mei 2006, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
4.      Terlapor IV, PT Telekomunikasi Indonesia; selanjutnya disebut Telkom, beralamat kantor di Jl. Japati No. 1, Bandung - 40133, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Anggaran Dasarnya telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 5, tanggal 17 Januari 1992, Tambahan No. 210, sebagaimana telah diubah dan terakhir telah diumumkan dalam Berita Negara RI No. 45 tanggal 4 Mei 2002, tambahan No. 5495, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
5.      Terlapor V, PT Hutchison CP Telecommunication; selanjutnya disebut Hutchison, beralamat kantor di Menara Mulia lantai 10, Jl. Gatot Subroto Kav. 9-11, Jakarta 12930, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Rachmad Umar, SH, No. 18 tanggal 18 Maret 2000, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham PT Hutchison CP Telecommunications, Notaris Muhammad Ridha, SH, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
6.      Terlapor VI, PT Bakrie Telecom; selanjutnya disebut Bakrie, beralamat kantor di Wisma Bakrie lantai 2, Jl. HR Rasuna Said Kav. B-1, Jakarta 10350, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundangundangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Muhani Salim, SH, No. 94 tanggal 13 Agustus 1993, sebagaimana telah disesuaikan dalam Akta Notaris Sovyedi Adasasmita, SH, No. 5 tanggal 24 September 1998 yang telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal 30 Maret 1999, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1934 tahun 1999, yang anggaran dasarnya telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Akta Notaris Agus Madjid, SH, No. 6 tanggal 3 Februari 2006, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
7.      Terlapor VII, PT Mobile-8 Telecom, Tbk; selanjutnya disebut Mobile-8, beralamat kantor di Menara Kebon Sirih lantai 18-19, Jl. Kebon Sirih No. 17-19 Jakarta 10340, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Anggaran Dasar sebagaimana termuat dalam Akta Notaris No. 202 tanggal 27 Juli 2005, yang dibuat oleh Notaris Sutjipto, SH, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
8.      Terlapor VIII, PT Smart Telecom; selanjutnya disebut Smart, beralamat kantor di Jl. H. Agus Salim No. 45 Jakarta Pusat, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Sutjipto, SH No. 60 tanggal 16 Agustus 1996, yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Akta Notaris Sri Hidianingsih Adi Sugijanto, SH, No. 32, tanggal 29 September 2006, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
9.      Terlapor IX, PT Natrindo Telepon Seluler; selanjutnya disebut NTS, beralamat kantor di Gedung Citra Graha Lt.3, Jl. Jend. Gatot Subroto kav. 35-36 Jakarta 12950, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Anggaran Dasarnya telah diumumkan dalam Tambahan Lembaran Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) No. 5820, tanggal 10 Juni 2005 oleh Aulia Taufani, SH, sebagai pengganti dari Notaris Sutjipto, SH, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;

3.2.Tentang Pertimbangan Hukumnya

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (selanjutnya disebut “LHPL”), Pendapat atau Pembelaan para Terlapor, surat, dokumen dan alat bukti lainnya Majelis Komisi menilai dan menyimpulkan ada tidaknya pelanggaran oleh para Terlapor dalam perkara a quo. Dalam melakukan penilaian Majelis Komisi menguraikan dalam beberapa bagian yaitu pertama, LHPL mengenai pelanggaran; kedua, identitas para Terlapor; ketiga, aspek formal; keempat, pasar bersangkutan; kelima, aspek materiil; keenam, kesimpulan; ketujuh, hal- hal lain yang dipertimbangkan; dan kedelapan, diktum putusan dan penutup.

1.      LHPL Mengenai Pelanggaran
Mengenai pelanggaran oleh para Terlapor, Tim Pemeriksa dalam LHPL pada pokoknya menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII, dan Terlapor VIII telah membuat perjanjian yang mengakibatkan terjadinya kartel harga SMS off-net pada periode 2004 sampai April 2008. Atas dasar tersebut Tim Pemeriksa menyimpulkan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII, dan Terlapor VIII telah melanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999
2.      Identitas Terlapor: ( sudah di sebutkan di atas)
3.      Aspek Formil
1)      Selanjutnya sebelum menilai dan menyimpulkan pokok perkara (aspek materiil) Majelis Komisi terlebih dahulu menilai aspek formal yang ditanggapi  oleh Terlapor, yaitu tentang Yurisdiksi Komisi dalam menangani perkara persaingan usaha di bidang telekomunikasi;
2)      Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel dan Telkom menyatakan Pemeriksaan yang dilakukan oleh KPPU dalam perkara No. 26/KPPU-L/2007 ini bertentangan dengan peraturan perundangan yang khusus berlaku tentang wewenang absolut BRTI karena tugas pengawasan persaingan usaha dalam bidang jasa telekomunikasi merupakan kewenangan khusus BRTI;
3)      Untuk menilai apakah Komisi mempunyai yurisdiksi dalam menangani perkara persaingan usaha di bidang telekomunikasi, Majelis Komisi melihat, Pertama, mengenai isi ketentuan umum Undang-undang No. 5 Tahun 1999, Kedua mengenai Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“Undang-undang No 36 Tahun 1999”), dan Ketiga, mengenai KM. 31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KM 31 Tahun 2003);
4)      Pertama, maksud dari ditetapkannya Undang-undang No 5 Tahun 1999 sebagaimana terlihat dalam konsideran huruf b dan c adalah untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berparitisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Serta sebagai jaminan bagi setiap orang yang berusaha di Indonesia selalu berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi kepada pelaku usaha tertentu;
5)      Konsideran tersebut dijabarkan dalam Pasal 3 Undang-undang No 5 Tahun 1999 mengenai tujuan dari pembentukan Undang-undang No 5 Tahun 1999 yaitu untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha;
6)      Operasionalisasi dari konsideran dan tujuan tersebut kemudian diuraikan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 29 Undang-undang No 5 Tahun 1999 yang berisi norma-norma yang bersifat restriktif terhadap pelaku usaha dalam melakukan kegiatannya
7)      Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan suatu undang-undang maka harus terdapat lembaga yang diberi kewenangan untuk menegakkan norma-norma yang telah ditentukan dalam undang-undang tersebut. Hal ini berlaku juga bagi Undang-undang No 5 Tahun 1999 sebagaimana terlihat dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang No 5 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
8)      Hal tersebut juga dipertegas melalui Pasal 1 angka 18 Undang-undang No. 5 tahun 1999 yang menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
9)      Selanjutnya tugas yang dibebankan kepada Komisi secara detil dijabarkan dalam Pasal 35 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Untuk dapat melaksanakan tugasnya tersebut secara efektif, Komisi dibekali dengan kewenangan yang dijabarkan dalam Pasal 36 Undang-undang No 5 Tahun 1999.
10)  Pasal 50 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian terhadap jenis perjanjian atau tindakan tertentu namun sama sekali tidak menyebutkan sektor tertentu yang dikecualikan;
11)  Berdasarkan seluruh uraian di atas mengenai Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan maksud pembentukan, tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi, maka sama sekali tidak terlihat kehendak Undang-undang No. 5 Tahun 1999 untuk mengecualikan sektor-sektor tertentu dari aplikasi Undangundang No. 5 Tahun 1999, baik secara tersurat maupun tersirat;
12)   Oleh karena itu, kewenangan Komisi dalam melakukan pengawasan dan penegakan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 berlaku bagi seluruh pelaku usaha dalam sektor apa pun pelaku usaha tersebut melakukan kegiatan tanpa terkecuali para pelaku usaha di sektor telekomunikasi;
13)  Kedua, salah satu maksud pembentukan Undang-undang No. 36 Tahun 1999 sebagaimana terlihat dalam konsideran huruf d Undang-undang No. 36 Tahun 1999 adalah untuk mengatur dan menata kembali penyelenggaraan telekomunikasi;
14)  Salah satu pengaturan di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 1999 dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 36 tahun 1999, menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara jasa telekomunikasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dimaksud;
15)  Dalam penjelasan Pasal tersebut disebutkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya;
16)  Bahwa dengan demikian, norma persaingan di dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak dapat dilepaskan dari eksistensi dan aplikasi Undangundang No. 5 Tahun 1999;
17)  Hal ini konsisten dengan uraian yang telah dijelaskan oleh Majelis Komisi pada bagian pertama bahwa tidak terdapat sektor industri tertentu yang dikecualikan dari pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang dalam hal ini telah dipertegas kembali melalui Pasal 10 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 yang merujuk pada Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
18)  Penunjukan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sebagai norma persaingan dalam penyelenggaraan telekomunikasi tentunya tidak menunjuk hanya pada bagian tertentu di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, namun pada keseluruhan ketentuan di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, termasuk Bab VI mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang maksud pembentukan serta tugas dan wewenangnya telah dijelaskan oleh Majelis Komisi pada bagian pertama;
19)  Ketiga, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (“BRTI”) dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KM 31 Tahun 2003) sebagai perkembangan dari pelaksanaan Pasal 4 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 sebagaimana didalilkan oleh Telkomsel dan Telkom dalam pendapat atau pembelaannya;
20)  Lebih jauh dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel menyatakan tugas BRTI sebagaimana dalam Pasal 6 huruf b KM 31 Tahun 2003 adalah:------------ Pengawasan terhadap penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yaitu : 1) kinerja operasi; 2) persaingan usaha; 3) pengunaan alat dan perangkat telekomunikasi.”
21)  Majelis Komisi menilai kewenangan yang dimiliki oleh BRTI tersebut tidak bertentangan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi namun sejalan dan justru menciptakan konvergensi diantara keduanya. Agar lebih jelasnya, Majelis Komisi menyatakan bahwa Komisi tidak hanya memiliki tugas untuk mengawasi namun juga memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan hukum terhadap pelaku usaha yang melanggar Undang-undang No. 5 Tahun 1999, sedangkan BRTI sebagaimana ketentuan di dalam KM 31 Tahun 2003 tersebut hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi saja;
22)  Pernyataan Majelis Komisi ini juga didukung dengan fakta adanya kerjasama yang harmonis antara Komisi dengan BRTI selama ini terkait dengan isu persaingan usaha tidak sehat dalam sektor telekomunikasi, dan tidak pernah terdapat sengketa mengenai kewenangan diantara Komisi dan BRTI mengenai pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
23)  Berdasarkan uraian di atas maka Majelis Komisi menilai, KPPU adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sesuai dengan maksud pembentukan serta tugas dan wewenang yang telah ditentukan dalam Undang-undang No 5 Tahun 1999. Keberadaan BRTI sangat membantu tugas-tugas Komisi khususnya dalam mengawasi persaingan usaha dalam sektor telekomunikasi dan tidak pernah mengaburkan wewenang dari masing-masing lembaga dalam hal pelaksanaan Undangundang No. 5 Tahun 1999;
24)   Menimbang bahwa berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan mengenai kewenangan Komisi di atas, Majelis Komisi kemudian mempertimbangkan dugaan pelanggaran pada perkara ini sebagai berikut;

4.      Pasar Bersangkutan
1)      Sebelum melakukan penilaian mengenai ada tidaknya pelanggaran, Majelis Komisi terlebih dahulu menguraikan pembahasan mengenai pasar bersangkutan dalam perkara ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Bahwa dalam LHPL Tim Pemeriksa pada pokoknya menyatakan dalam melakukan analisis terjadinya pelanggaran Pasal 5 Undangundang No. 5 Tahun 1999, Tim Pemeriksa menilai setidak-tidaknya harus terdapat dua unsur yang terpenuhi, yaitu: 1) Unsur Pelaku Usaha 2) Unsur Perjanjian Harga dengan Pesaing. Sedangkan unsur pasar bersangkutan adalah unsur tambahan yang tidak mutlak untuk dibuktikan namun hanya bersifat menjelaskan dari unsur kedua yaitu perjanjian harga dengan pesaing;
2.      Terhadap pembahasan mengenai pasar bersangkutan di atas, dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel, Telkom dan Bakrie pada pokoknya menyatakan keberatan karena Tim Pemeriksa Lanjutan dalam LHPL tidak mencantumkan pembahasan mengenai pasar bersangkutan dalam menganalisis dugaan pelanggaran dalam perkara ini;
3.       Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya Telkomsel menyatakan Tim Pemeriksa KPPU dalam LHPL No. 26/KPPU-L/2007 halaman 19 butir 71 menyatakan bahwa unsur pasar yang bersangkutan adalah unsur tambahan yang tidak mutlak untuk dibuktikan. Hal ini merupakan pernyataan yang keliru secara fundamental. Pernyataan ini tidak sesuai dengan isi Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan tidak konsisten dengan putusan-putusan KPPU dalam perkara-perkara sebelumnya;
4.      Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya Telkom menyatakan Tim Pemeriksa telah memaksakan kehendaknya dengan cara mengurangi unsur yang harus dipenuhi/dibuktikan, karena sesungguhnya unsur pasar bersangkutan memang tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan untuk PT. Telekomunikasi Indonesia,Tbk;
5.      Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya Bakrie menyatakan dalam perkara ini KPPU perlu mendefinisikan mengenai unsur pasar bersangkutan. Karena jasa telekomunikasi yang ditawarkan Bakrie tidak saling bersubstitusi dengan yang ditawarkan oleh XL dan Telkomsel, sehingga Bakrie dan Telkomsel serta XL tidak berada pada pasar bersangkutan yang sama;
2)      Terkait dengan pembahasan mengenai pasar bersangkutan, Majelis Komisi berpendapat sebagai berikut:
1.      Bahwa unsur pasal dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang didalilkan oleh Tim Pemeriksa dalam LHPL adalah tepat;
2.      Namun demikian dalam unsur kedua, yaitu perjanjian harga dengan pesaingnya, maka untuk dapat menentukan bahwa pihak-pihak di dalam perjanjian tersebut adalah pesaing satu sama lain, maka pihakpihak tersebut harus berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
3.      Dengan demikian untuk dapat membuktikan unsur kedua tersebut, selain harus membuktikan adanya perjanjian, harus dapat didefinisikan terlebih dulu pasar bersangkutan sehingga dapat diidentifikasi apakah pihak-pihak di dalam perjanjian tersebut adalah pesaing yang satu dengan yang lainnya;
4.      Untuk lebih mudahnya, maka unsur kedua seharusnya dipisah antara “perjanjian harga” dengan “pesaing”, di mana pembuktian unsure pesaing adalah dengan melakukan analisis terhadap pasar bersangkutan;
5.      Dengan alur logika tersebut, maka pernyataan Tim Pemeriksa dalam LHPL menjadi lebih akurat, bahwa unsur pasar bersangkutan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah unsur tambahan, karena pembahasan unsur pasar bersangkutan bertujuan untuk membuktikan unsur “pesaing” sehingga tidak perlu lagi dilakukan untuk menghindari redudansi;
3)      Berdasarkan uraian tersebut, Majelis Komisi melakukan analisis pasar bersangkutan sebagai berikut:
1.      Pasar bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut;
2.      Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu dalam hukum persaingan usaha dikenal sebagai pasar geografis. Sedangkan barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut dikenal sebagai pasar produk. Karena itu analisis mengenai pasar bersangkutan dilakukan melalui analisis pasar produk dan pasar geografis;

Pasar Produk;
Analisis pasar produk pada intinya bertujuan untuk menentukan jenis barang dan atau jasa yang sejenis atau tidak sejenis tapi merupakan substitusinya yang saling bersaing satu sama lain. Untuk melakukan analisis ini maka suatu produk harus ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: kegunaan, karakteristik, dan harga;

Kegunaan;
1)      Short Messages Service atau SMS yang menjadi objek pada perkara ini adalah jasa layanan tambahan yang dimiliki oleh semua penyelenggara jasa telekomunikasi seluler dan Fixed Wireless Access (FWA);
2)      Kegunaan SMS adalah untuk mengirimkan pesan singkat satu arah dari satu pemilik handset kepada pemilik handset lainnya. Komunikasi suara (voice) memiliki kegunaan yang berbeda karena dalam komunikasi suara, terdapat pertukara pesan yang terjadi secara lansung atau dua arah dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan dalam penggunaan SMS, pesan yang disampaikan hanya bersifat satu arah. Fitur lain yang pada umumnya terdapat pada jasa telekomunikasi dan dapat berfungsi identik dengan SMS antara lain: voice mail, Multimedia Messaging Service (“MMS”) dan push e-mail, kesemuanya berfungsi untuk menyampaikan pesan singkat satu arah;
3)       Sehingga dari sisi kegunaan, SMS bersubstitusi dengan voice mail, MMS, dan push e-mail;

Karakteristik;
1)      Meskipun memiliki kegunaan yang sama, terdapat karakteristik yang berbeda secara signfikan antara SMS dengan fitur lainnya yang memiliki kegunaan yang identik. Fitur SMS adalah fitur yang dikirim dan diterima berupa pesan teks, sehingga berbeda dengan voice mail yang dikirim dan diterima sebagai pesan suara. Pesan SMS disalurkan melalui kanal signaling sedangkan MMS dan push e-mail menggunakan kanal data. Sebagai akibatnya, fitur SMS hanya dapat mengirim dan menerima pesan teks, sedangkan MMS memungkinkan untuk pengiriman dan penerimaan gambar, musik, rekaman suara, animasi, video, dan file-file multimedia lainnya. Sedangkan push e-mail disamping dapat mencakup pesan-pesan berisi multimedia, juga dapat melakukan pengiriman dan penerimaan pesan yang lebih luas dari pesan yang bersifat multimedia, seperti pengiriman dan penerimaan dokumen softcopy dalam berbagai format;
2)      Disamping itu, pola pentarifan SMS dihitung berdasarkan jumlah pengirimannya tanpa ada biaya yang dikeluarkan oleh penerima SMS, berbeda dengan voice mail yang menggunakan pola pentarifan berdasarkan durasi, sedangkan MMS dan push e-mail menggunakan pola pentarifan berdasarkan jumlah data yang dipergunakan, sehingga baik pengirim maupun penerima voice mail, MMS, dan push email juga harus membayar sesuai dengan pola pentarifannya. Perkecualian berlaku untuk pengguna SMS dari Bakrie yang menerapkan pola harga berdasarkan jumlah karakter teks yang dikirim yang baru diberlakukan, namun demikian tidak menghilangkan fakta bahwa hanya pengirim SMS yang membayar jasa tersebut sedangkan penerima SMS tidak mengeluarkan biaya apa pun sehingga meskipun terdapat pola pentarifan berbeda yang diterapkan oleh Bakrie, karakter fitur SMS memiliki perbedaan dengan fitur pengiriman pesan singkat lainnya sehingga tidak bisa saling mensubstitusi diantaranya;

Harga;
1)      Dari sisi harga, secara umum harga fitur SMS sekali kirim berada pada kisaran yang jauh lebih murah dibanding dengan voice mail, MMS, dan push e-mail. Perkecualian berlaku bagi layanan push e-mail, dengan mempertimbangkan size dari email yang dikirim dan harga data yang diterapkan oleh setiap operator, maka harga layanan push e-mail dapat bervariasi. Hal ini berbeda dengan harga SMS yang fix per sekali kirim dengan pengecualian berlaku bagi fitur SMS yang disediakan oleh Bakrie dengan harga bergantung pada jumlah karakter yang dipergunakan. Namun secara umum, dari sisi harga, SMS tidak dapat disubtitusi oleh voice mail, MMS, dan push e-mail;
2)      Dengan demikian, pasar produk pada perkara ini adalah layanan SMS, yang terpisah dari product market layanan voice, voice mail, MMS, maupun push e-mail;

Pasar Geografis;
1)      Analisis pasar geografis bertujuan untuk menjelaskan di area mana saja pasar produk yang telah didefinisikan saling bersaing satu sama lain.
2)       Sebagai satu layanan nilai tambah dari operator seluler maupun FWA, maka keberadaan layanan SMS akan mengikuti keberadaan dari ketersediaan jaringan operator yang bersangkutan;
3)      Berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran, tidak diketemukan adanya hambatan baik dari sisi teknologi maupun regulasi bagi para operator selular untuk memasarkan produknya di seluruh wilayah Indonesia selama operator bersangkutan telah memiliki ketersediaan jaringannya;.
Dengan demikian pasar geografis pada perkara ini adalah seluruh wilayah Indonesia;
4)      Dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel, Telkom, dan Bakrie pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat pemisahan pasar bersangkutan antara pasar telekomunikasi seluler dengan pasar FWA
5)      Majelis Komisi menilai, karena sifat layanan nilai tambahnya yang merupakan layanan pelengkap dari layanan suara sebagai layanan utama, maka analisis terhadap pasar produk suara berbeda dengan analisis pasar produk SMS;
6)      Sebagai layanan nilai tambah, SMS otomatis tersedia ketika operator membangun jaringan untuk menyediakan layanan suara. Oleh karena itu adanya perbedaan kegunaan, karakteristik, dan harga layanan suara dari operator yang merupakan penyelenggara telekomunikasi seluler dengan penyelenggara telekomunikasi FWA tidak berlaku ketika digunakan untuk melakukan analisis terhadap layanan SMS;
7)      Majelis Komisi menilai perbedaan telekomunikasi seluler dengan FWA tidak relevan di dalam penggunaaan layanan SMS yang disediakan oleh masing-masing operator, baik seluler maupun FWA. Berdasarkan analisis pasar produk di atas, perbedaan lisensi operator seluler dengan operator FWA tidak akan mempengaruhi analisis terhadap kegunaan, karakteristik, maupun harga terhadap layanan SMS;
8)      Dengan demikian, Majelis Komisi menilai bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah layanan SMS di seluruh wilayah Indonesia, baik yang disediakan oleh operator seluler maupun operator FWA;
9)      Hal ini menunjukkan setiap operator telepon yang menyediakan layanan SMS bagi pelanggannya, berada dalam pasar bersangkutan yang sama;

Aspek Materiil
1)      Tim Pemeriksa dalam LHPL menyimpulkan adanya pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999
2)      Ketentuan Pasal 5 Undang-undang No 5. Tahun 1999 secara lengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi; a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku;
3)      Dalam LHPL Tim Pemeriksa menyatakan bahwa XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart telah melanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Pendapat atau pembelaan dari seluruh Terlapor akan dipertimbangkan bersamaan di dalam analisis pemenuhan unsur yang dilakukan oleh Majelis Komisi berkut ini;
4)      Majelis Komisi menilai unsur-unsur Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun 1999 yang harus terpenuhi dalam menyatakan ada tidaknya pelanggaran adalah :
a)      Pelaku Usaha
b)      Perjanjian Penetapan Harga
c)      Pesaing
5)      Analisis pemenuhan unsur terhadap setiap unsur Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 di atas adalah sebagai berikut:
v  Pelaku Usaha
Pelaku usaha sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah: -“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi
Sesuai dengan pembahasan mengenai identitas para Terlapor dalam LHPL dan Identitas Terlapor pada bagian Tentang Hukum di atas, Majelis Komisi menilai bahwa XL, Telkomsel, Indosat, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, dan Smart adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi di wilayah hukum negara Republik Indonesia sehingga memenuhi definisi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
Bahwa tidak terdapat keraguan mengenai fakta para Terlapor adalah pelaku usaha sebagaimana juga diperlihatkan oleh tidak adanya pendapat atau pembelaan mengenai hal ini dari para Terlapor mengenai identitas maupun kegiatan usahanya dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang diterima oleh Majelis Komisi; Bahwa dengan demikian Majelis Komisi menilai unsur pelaku usaha terpenuhi;

v  Perjanjian Penetapan Harga;
Perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis
Dalam hukum persaingan, perjanjian tidak tertulis mengenai harga dapat disimpulkan apabila terpenuhinya dua syarat: 1) adanya harga yang sama atau paralel 2) adanya komunikasi antar pelaku usaha mengenai harga tersebut;
Tim Pemeriksa menemukan adanya beberapa perjanjian tertulis mengenai harga SMS off-net yang ditetapkan oleh operator sebagai satu kesatuan PKS Interkoneksi sebagaimana terlihat dalam Matrix Klausula Penetapan Harga SMS dalam PKS Interkoneksi berikut ini:
Matrix Klausula Penetapan Harga SMS
1.      Sehingga secara formal, hal ini sudah termasuk dalam kategori kartel yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, Smart, dan NTS;
2.      Tim Pemeriksa menilai perjanjian harga SMS yang dilakukan oleh operator efektif berlaku hanya bagi harga SMS off-net. Sedangkan Tim Pemeriksa menilai bahwa sejak tahun 2004 perjanjian yang menetapkan harga minimal SMS on-net tidak efektif berlaku, meskipun secara formal perjanjian penetapan harga SMS baru diamandemen pada tahun 2007 setelah terbitnya Surat Edaran ATSI No. 002/ATSI/JSS/VI/2007 tanggal 4 Juni 2007;
3.      Tim Pemeriksa menilai bahwa pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel harga SMS off-net;
4.      Berdasarkan keterangan dari operator-operator new entrant kepada Tim Pemeriksa, dalam melakukan negosiasi interkoneksi, operator new entrant tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk dapat memfasilitasi kepentingannya dalam perjanjian interkoneksi tersebut. Demikian pula ketika operator incumbent memasukkan klausul harga SMS minimal, operator new entrant tidak berada dalam posisi untuk menolak klausul tersebut;
5.       Berdasarkan keterangan operator incumbent, klausul penetapan harga minimal tersebut dilakukan guna menjaga tidak melonjaknya traffic SMS dari operator new entrant kepada operator incumbent;
6.      Tim Pemeriksa menilai kekhawatiran operator incumbent tidak seharusnya diantisipasi dengan menggunakan instrument harga karena hal tersebut mengakibatkan kerugian baik bagi operator new entrant maupun konsumen calon pengguna jasa SMS. Hal ini juga dibenarkan oleh Saksi Ahli Mas Wigrantoro yang menyatakan PKS Interkoneksi yang menetapkan harga akhir adalah keliru;
7.      Selanjutnya Tim Pemeriksa melihat tidak terdapat perubahan yang langsung terjadi pasca amandemen perjanjian harga SMS oleh masing-masing operator, harga SMS pasca amandemen masih sama dengan harga SMS sebelum ada amandemen. Tim Pemeriksa menilai terdapat dua kemungkinan yang mendasari hal tersebut terjadi: 1) bahwa kartel harga SMS masif efektif berlaku 2) harga SMS yang diperjanjikan adalah harga pada market equilibrium sehingga ada atau tidak ada perjanjian, harga SMS yang tercipta akan tetap sama;
8.       Pasca 1 April 2008, operator-operator menurunkan harga SMS tanpa ada perubahan biaya internal maupun biaya eksternal untuk layanan SMS. Oleh karena itu Tim Pemeriksa menilai, bahwa operator bisa mengenakan harga SMS yang lebih murah kepada konsumen jauh hari sebelum adanya penurunan harga interkoneksi oleh Pemerintah. Penundaan penurunan harga SMS tersebut semata-mata terjadi karena perjanjian kartel diantara operator masih efektif berlaku, sekali pun secara formal sudah diamandemen pada tahun 2007;
9.      Pada periode 2007 – April 2008 dari tiga layanan seluler baru (Hutchison, Smart, dan NTS-Axis), hanya Smart yang mematuhi perjanjian kartel. Hutchison, meskipun secara formil menandatangani perjanjian kartel, namun secara materil tidak pernah melaksanakannya. NTS-Axis meskipun secara formil telah menandatangani perjanjian kartel sejak tahun 2001, namun karena Axis baru diluncurkan tahun 2008, pasca pencabutan klausul kartel harga, maka secara materil juga tidak pernah melaksanakan perjanjian tersebut;
10.  Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, XL menyatakan motivasi XL menandatangani PKS yang mengandung klausula penetapan harga adalah untuk menjaga kestabilan jaringan, bukan untuk membentuk kartel;
11.  Bahwa meskipun XL menandatangani PKS yang mengandung klausula penetapan harga, hal itu dilakukan tanpa niat jahat ataupun niat untuk membentuk kartel harga. Adanya klausula harga semacam itu adalah untuk mencegah terjadinya spamming, yang tujuan pokoknya adalah menjaga kestabilan jaringan;
12.  Bahwa operator yang oleh Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5 Undang-undang No.5 Tahun 1999, memiliki alasan yang berbeda-beda dalam menetapkan harga dasar SMS mereka. Oleh karena itu, adalah tidak benar jika setelah periode amandemen PKS terdapat kartel harga SMS secara material, karena secara formal maupun material tidak ada kesepakatan apapun di antara para operator tersebut untuk menentukan harga SMS. Sebaliknya, lewat strategi promosi masing-masing, para operator ini justru melakukan “perang harga” untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya lewat program-program promosi yang pada akhirnya memberikan efective rate yang sangat murah untuk produk voice maupun SMS;
13.  Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel menyatakan klausul SMS interkoneksi (off-net) bukan perwujudan niat penetapan harga tetapi merupakan jalan keluar yang dipilih akibat tidak adanya ketentuan hokum mengenai SMS interkoneksi sehingga Telkomsel perlu untuk melakukan self-regulatory;
14.  Untuk mengatasi atau mencegah permasalahan SMS Broadcasting, SMS Spamming dan tindakan tele-marketing, Telkomsel menggunakan jalan keluar melalui klausul SMS interkoneksi dalam PKS Interkoneksinya dengan beberapa operator telekomunikasi. Pilihan ini sebenarnya lebih merupakan niat baik atau wujud itikad baik Telkomsel agar terjadi suatu kegiatan interkoneksi telekomunikasi yang benar, fair, seimbang dan yang tidak merugikan salah satu operator telekomunikasi yang ada. Pilihan tersebut dilakukan bukan dengan niat atau rencana untuk melakukan penetapan harga untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya. Telkomsel sama sekali tidak mempunyai niat atau motivasi yang melangar hukum;
15.  Klausul SMS interkoneksi dalam PKS Interkoneksi antara Telkomsel dengan 4 (empat) operator telekomunikasi bukan perjanjian penetapan harga, sehingga unsur Pasal 5 Undang-undangNo. 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi. Dengan demikian,Telkomsel tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
16.  Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, Telkommenyatakan maksud utama dan fokus dari PerjanjianInterkoneksi adalah menyepakati ketentuan-ketentuan teknisagar terjadi interkoneksi di antara jaringan telekomunikasidua pihak dan mengatur agar seluruh pelanggan dari masingmasingpihak dapat melakukan panggilan lintas operator,termasuk didalamnya panggilan lintas operator untuk SMSFlexi menuju SMS Seluler secara timbal balik;
17.  Bahwa Perjanjian Interkoneksi yang memuat klausula hargaSMS yang tidak boleh lebih rendah dari harga retailsebagaimana dimaksud dalam LHPL butir 61 adalahAmandemen Perjanjian Interkoneksi yang dibuat tahun 2002dan berlaku hingga tahun 2006 yang kemudian diubahdengan Perjanjian Interkoneksi yang dibuat pada akhir tahun2006 yang berlaku mulai Januari 2007;
18.  Dicantumkannya klausula harga SMS yang tidak boleh lebihrendah dari harga retail disepakati oleh PT TelekomunikasiIndonesia, Tbk dan PT Telkomsel dalam rangka menjagaagar tidak terjadi spamming trafik SMS di antara para pihaksehubungan dengan diberlakukannya pola SKA (SenderKeeps All), yaitu pola pembayaran biaya interkoneksi dimanapihak operator sisi penerima SMS tidak menerimapembayaran apapun dari pihak operator sisi pengirim. Tidakada niat sedikitpun di antara para pihak untuk membentukkartel harga baik secara formal maupun materialsebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5Tahun 1999;
19.  Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, Bakriemenyatakan PKS Interkoneksi antara Bakrie dengan semuaoperator bukan merupakan suatu pembentukan kartel hargaSMS mengingat Bakrie dan operator lainnya tetap dapatmenetapkan sendiri harga retail SMS kepada masing-masingpelanggan;
20.  Bakrie tidak pernah sekalipun berkeinginan untuk membuatperjanjian yang dapat dikategorikan sebagai praktekpenetapan harga yang dapat merestriksi persaingan dalampenyelenggaraan jasa telekomunikasi nirkabel di Indonesia.Ketentuan yang mengatur harga SMS off-net minimumsebesar Rp 250/SMS sejak awal sudah ditolak oleh Bakriekarena ketentuan tersebut dapat merugikan perkembangankegiatan usaha Bakrie. Namun, dengan posisi sebagaioperator baru dan jumlah pelanggan yang sangat kecil, makamau tak mau Bakrie harus menyepakati juga ketentuantersebut demi menjaga terselenggaranya kegiatan usahaBakrie;
21.  Penetapan harga minimum SMS hanya terdapat dalamPerjanjian Interkoneksi antara Bakrie dan XL sertaTelkomsel, dan tidak terdapat pada perjanjian interkoneksidengan Indosat, Telkom, Hutchison, NTS, Mobile-8, SmartTelecom, dan operator lainnya. Dengan tidak adanyapenetapan harga minimum SMS diantara Bakrie denganIndosat, Telkom, Hutchinson, NTS, Mobile-8, SmartTelecom, dan operator lainnya, maka Bakrie dan operatoroperatortersebut bebas untuk menetapkan harga retail SMSkepada pelanggannya masing-masing. Hal ini membuktikanbahwa tidak ada perjanjian di antara seluruh operator yangmengatur tentang penetapan harga SMS, ataupun tidak adakeseragaman/kesamaan ketentuan (penetapan harga) dalammasing-masing perjanjian interkoneksi antara setiap operator dengan operator lainnya;
22.  Dengan demikian keseluruhan Perjanjian Interkoneksi antaraBakrie dan setiap operator bukan atau tidak merupakan suatupembentukan kartel SMS, mengingat Bakrie dan operatorlainnya tetap dapat menetapkan sendiri harga retail SMS199kepadamasing-masing pelanggannya sehingga pasarmemiliki banyak pilihan untuk menentukan produk jasatelekomunikasi yang tersedia atau tidak terdapatpengontrolan/pengaturan harga di pasar;
23.  Smartmenyatakan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi yangdilakukan oleh Smart Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, Mobile-8 menyatakan Mobile-8 merupakan new entrant yang tidak memiliki market power ataupun menguasai essential facility sehingga berada pada posisi yang tidak dapat dan mampu mengendalikan berbagai negosiasi terkait interkoneksi termasuk ketentuan harga SMS off-net minimum;
24.  Bahwa ketentuan harga SMS minimum yang terdapat dalam PKS Interkoneksi antara Mobile-8 dengan XL tidak berasal atau setidaknya bukan merupakan inisiatif Mobile-8;
25.  Bahwa dalam pendapat atau pembelaannyadengan XL dan Telkomsel didasarioleh posisi Smart sebagai operator baru (new entrant) dipasar telekomunikasi Indonesia yang mau tidak mau harusmelakukan kerjasama dengan operator lain yang terlebihdahulu ada (incumbent) yang relatif telah menguasai pangsapasar untuk memperluas jaringan dan memberikan layananterbaik kepada pelanggan sehingga dapat menjadi alternative bagi masyarakat pada umumnya dan pelanggan padakhususnya dalam memanfaatkan teknologi komunikasi;
26.  Pertimbangan XL dan Telkomsel mewajibkan Smart untukmenyetujui klausula yang diduga melanggar Pasal 5 UndangundangNo. 5 Tahun 1999 tersebut adalah XL dan Telkomselberusaha mencegah dan/atau menghindari terjadinya alirantrafik SMS yang tidak seimbang yaitu aliran trafik SMS darioperator yang menetapkan harga SMS yang lebih murah kearah sebaliknya, mengingat kesepakatan harga SMS yangmasih SKA (Sender Keeps All);
27.  Smart telah melakukan perubahan atau AmandemenPerjanjian yang berisi tentang dihapuskannya klausul tentangpenetapan harga SMS/kartel harga dengan ditandatanganinya200perjanjian Amandemen Pertama Nomor Exelcomindo : 1321A/XXXII.5.4520/XL/VI/2007 dan Nomor Primasel :AMD.122/LO-BOD/IPM/RAI/VI/2007 dan AmandemenPertama Nomor Telkomsel : ADD.1246/LG.05/PD-00/VI/2007 dan Nomor Primasel : AMD.123/LOBOD/IPM/RAI/VI/2007 tertanggal 25 Juni 2007, yang berartitidak ada lagi perjanjian kartel harga yang dilakukan olehSmart dengan operator lain, dimana hal ini diperkuat olehTim Pemeriksa pada poin 108 yang menyatakan secaraformal kartel harga SMS sudah tidak berlaku sejak tahun2007;
28.  Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya, NTS menyatakantidak pernah berinisiatif sejak awal dalam suatu kesepakatanuntuk menetapkan harga SMS atau kartel SMS, karena hargaSMS yang diterapkan oleh NTS sebesar Rp.60/SMS beradadi luar interval Rp.250,- sampai Rp.350,- yang oleh KPPUdiduga sebagai penetapan harga (kartel SMS);
29.  Kalaupun NTS dianggap pernah menandatangani perjanjianyang mengandung klausul price fixing, hal tersebut semata-matakarena business necessity dan alasan teknis agar dapatsegera memperoleh interkoneksi dengan para incumbentoperators. Namun demikian, pada saat tahapan pemeriksaanlanjutan terhadap NTS oleh KPPU klausul yang mengandungunsur price fixing tersebut sudah dihapus lewat amandemenperjanjian interkoneksi;
30.  Terhadap unsur perjanjian harga sebagaimana digambarkanmelalui Matrix Klausula Penetapan Harga SMS di atas,Majelis Komisi menilai Tim Pemeriksa Lanjutan telahmembuat analisis yang benar bahwa terdapat perjanjian yangmengandung klausul penetapan harga SMS antara XL,Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart meskipunkemudian perjanjian tersebut telah diamandemen setelahterbitnya Surat Edaran ATSI No. 002/ATSI/JSS/VI/2007tanggal 4 Juni 2007;
31.  Majelis Komisi menilai bahwa motif XL dan Telkomselmencantumkan klausula harga dalam PKS Interkoneksiadalah untuk menghindari spamming yang dilakukan olehoperator new entrant, bukan untuk membentuk suatu kartel.Hal ini dilakukan karena Pemerintah tidak mengaturmengenai penghitungan harga SMS, sehingga Telkomselperlu untuk melakukan self-regulatory. Namun MajelisKomisi menilai tidak seharusnya kekhawatiran XL danTelkomsel tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian yangmencantumkan klausula penetapan harga;
32.  Majelis Komisi menilai bahwa Tim Pemeriksa Lanjutan telahbenar dalam analisisnya mengenai Bakrie, Mobile-8, danSmart yang menyatakan bahwa operator new entrant tidakmempunyai posisi tawar atau berada dalam posisi yang lemahpada saat penyusunan PKS Interkoneksi sehingga harusmematuhi apa yang telah ditetapkan oleh operator incumbent;
33.  Bahwa meskipun perjanjian yang mencantumkan klausulpenetapan tersebut telah diamandemen sehingga secaraformil sudah tidak ada lagi PKS Interkoneksi yangmencantumkan klausula penetapan harga, namun MajelisKomisi menilai bahwa secara materil, kartel/penetapan hargatersebut masih efektif berlaku. Hal ini terbukti daripenurunan harga SMS baru terjadi setelah Pemerintahmelalui Ditjen Postel mengumumkan penurunan hargainterkoneksi pada 1 April 2008;
34.  Bahwa dengan demikian, Majelis Komisi menilai TimPemeriksa Lanjutan telah tepat dalam hal menyatakan bahwatelah terjadi kartel harga SMS off-net pada periode 2004-2007 yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie,dan Mobile-8, dan secara materiil kartel tersebut masihefektif sampai tanggal 1 April 2008. Sedangkan Smart baruterlibat dalam kartel harga SMS ini pada saat melakukancommercial launching tanggal 3 September 2007;
35.  Selanjutnya Majelis Komisi menambahkan, bahwa posisi darimasing-masing operator di pasar tidak bisa dilepaskan danakan berpengaruh terhadap proses negosiasi yang melahirkanperjanjian interkoneksi. Sebagaimana telah diungkapkan olehTim Pemeriksa dan operator new entrant dalam pendapatatau pembelaannya, operator new entrant berada dalam posisitawar yang lemah sehingga harus mengikuti klausula yangditetapkan oleh operator incumbent yang dalam hal ini adalahharga minimum SMS;
36.  Dengan kata lain, pembentukan harga minimal dalam layananSMS off-net diciptakan oleh operator incumbent, dalam halini, XL dan Telkomsel, tanpa ada pilihan lain kecuali diturutioleh operator new entrant;
37.  Terlepas dari motif operator incumbent dan posisi yanglemah dari operator new entrant, secara formal maupunmateril, perjanjian harga telah dibentuk oleh para operatorpenyedia layanan SMS sebagaimana digambarkan dalamMatrix Klausula Penetapan Harga SMS, dalam kurunwaktu 2004 sampai dengan April 2008;
38.  Dengan demikian unsur perjanjian penetapan harga telahterpenuhi;
v  Pesaing;
Sesuai dengan definisi pasar bersangkutan yang telahditetapkan oleh Majelis Komisi di atas, yaitu layanan SMSdi seluruh wilayah Indonesia, maka Majelis Komisimengidentifikasi pelaku usaha yang berada pada pasarbersangkutan tersebut sebagai berikut:
1.       XL;
2.       Telkomsel;
3.        Indosat;
4.       Telkom;
5.       Hutchison;
6.       Bakrie;
7.       Mobile-8;
8.       Smart;
9.       NTS;
10.    Sampoerna Telecom Indonesia;

Berdasarkan uraian pada unsur perjanjian penetapan harga diatas, diketahui bahwa terdapat perjanjian harga secara materilyang dilakukan oleh :XL;Telkomsel; Telkom; Bakrie;Mobile-8;Smart; beradapada pasar bersangkutan yang sama sebagaimana telahdiidentifikasi oleh Majelis Komisi sebelumnya, sehinggamenunjukkan operator yang satu bersaing dengan operatoryang lainnya  Dengan demikian unsur pesaing telah terpenuhi;

v  Dampak;
Sebelum sampai pada diktum putusan, Majelis Komisimempertimbangkan dampak yang terjadi di pasar bersangkutansebagai akibat adanya kartel harga SMS yang dilakukan oleh operator sebagai berikut;
1.      Tim Pemeriksa dalam LHPL menyebutkan bahwa kartel yang terjadimerugikan operator new entrant dan konsumen, namun tidakmengelaborasi lebih dalam mengenai perhitungan kerugian yangditimbulkan akibat kartel tersebut;
2.      Dalam pendapat atau pembelaannya, XL menyatakan hasil penelitianOVUM mengenai harga interkoneksi tidak dapat diterapkan begitusaja untuk menentukan harga SMS, karena OVUM belummemperhitungkan parameter-parameter biaya lainnya;
3.      XL memohon dengan hormat kepada Majelis KPPU untukmenghindari timbulnya komplikasi atau masalah baru yang dapatmembebani dan mengganggu kegiatan operasional operator berupatimbulnya vexatious litigation (gugatan yang bersifat mengganggu),dengan tidak mengkaitkan masalah pelanggaran Pasal 5 Undang-undangNo. 5 Tahun 1999 yang sifatnya tidak disengaja tersebutdengan consumer loss (kerugian konsumen);
4.      Alasan XL mengajukan permohonan ini adalah didasarkan pada faktabahwa: (i) harga SMS yang diterapkan oleh XL adalah harga yangwajar dan tidak eksesif, dan hal ini didukung oleh penelitian ilmiahyang dilakukan oleh Tim ITB; (ii) konsumen pengguna produk XLmenikmati harga efektif yang sesuai dengan kebutuhan merekamasing-masing lewat program promosi yang dijalankan oleh XL; dan(iii) saat ini tidak ada parameter yang obyektif untuk mengukur wajartidak wajarnya suatu harga SMS, mengingat belum ada peraturanhukum yang mengatur mengenai harga SMS ini;
5.      XL tidak mendapatkan keuntungan yang “eksesif” dengan strukturharga SMS maupun voice yang ditetapkan untuk pelanggannya. Olehkarena itu, logikanya konsumen juga tidak menderita kerugian akibatstruktur harga XL tersebut. Harga yang ditetapkan oleh XL adalahharga yang wajar dan sesuai dengan kondisi obyektif yang berlaku untuk XL;
6.      Dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel menyatakanpenerimaan pendapatan SMS off-net rata-rata hanya sebesar 16% daritotal pendapatan SMS yang diperoleh Telkomsel, sedangkan 84%pendapatan berasal dari harga SMS on-net;
7.      Dalam pendapat atau pembelaannya, Bakrie menyatakan tidak terdapatkeuntungan berlebih (Excessive) dari layanan SMS;
8.      Penerapan harga SMS off-net sebesar Rp 250/SMS, yang merupakanbatas minimum harga SMS yang diharuskan oleh Telkomsel dan XLuntuk diterapkan oleh Bakrie melalui Perjanjian Interkoneksi, samasekali tidak memberikan keuntungan yang berlebihan, melainkanhanya memberikan keuntungan yang sewajarnya yang merefleksikankendala struktur biaya yang dihadapi oleh Bakrie;
9.      Dalam pendapat atau pembelaannya, Mobile-8 menyatakanperhitungan OVUM tidak mencerminkan biaya SMS Mobile-8. Hasilperhitungan OVUM dengan metode top-down LRIC terhadap biayaSMS Mobile-8 adalah Rp 208, belum termasuk biaya promosi danlain-lain sehingga harga dasar SMS Mobile-8 Rp 250 adalah hargayang wajar bagi Mobile-8;  Mobile-8 tidak mengakumulasi keuntungan yang eksesif sebagaimanaterlihat dalam ROE yang rendah sejak tahun 2005;
10.  Majelis Komisi menilai bahwa kartel yang terjadi tidak dapatmenghilangkan secara faktual kerugian yang nyata bagi konsumenpada pasar bersangkutan;
11.  Kerugian konsumen tersebut berupa (i) hilangnya kesempatankonsumen untuk memperoleh harga SMS yang lebih rendah, (ii)hilangnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan SMSyang lebih banyak pada harga yang sama, (iii) kerugian intangiblekonsumen lainnya, (iv) serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen,selama kurun waktu 2004 sampai dengan April 2008; 
12.  Majelis Komisi menjelaskan bahwa kerugian yang diderita konsumendisebabkan oleh perilaku operator dalam bentuk kartel harga dan tidakterkait dengan perhitungan keuntungan yang dinikmati oleh operatorbersangkutan. Sehingga argumen tidak adanya kerugian konsumenkarena tidak ada keuntungan eksesif yang didalilkan oleh XL, Bakrie,dan Mobile-8 adalah tidak relevan;
13.  Perhitungan aktual mengenai kerugian-kerugian konsumen tersebut diatas memerlukan analisis ekonomi yang mendalam dengan didukungoleh data yang memadai. Dalam hal ini LHPL hanya menyampaikanperkiraan biaya SMS berdasarkan penelitian harga interkoneksi yangdilakukan oleh OVUM serta formulasi perhitungan biaya SMS oleh BRTI;
14.  Majelis Komisi menegaskan bahwa ada tidaknya kerugian konsumenbukan merupakan unsur pembuktian ada tidaknya suatu kartelsehingga tanpa dibuktikan adanya dampak kerugian konsumensekalipun, kartel tetap merupakan tindakan anti persaingan;
15.  Meskipun demikian Majelis Komisi memandang perlu untukmemberikan gambaran mengenai kerugian konsumen sebagai akibatdari perilaku kartel tersebut sebagai berikut:
16.  Berdasarkan laporan keuangan dari 6 (enam) Terlapor, yaitu XL,Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart yang dimiliki olehMajelis Komisi diperoleh total pendapatan operator-operator tesebutsejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 adalah sebesarRp 133.885.000.000.000 (seratus tiga puluh tiga trilyun delapan ratusdelapan puluh lima miliar rupiah) dengan perincian sebagai berikut: -----206
Tabel.1. Pendapatan Operator Pelaku Kartel (dalam miliar rupiah)
17.  Berdasarkan data yang disampaikan oleh para Terlapor, MajelisKomisi menggunakan patokan terendah penerimaan SMS off-netsebesar 4,8% yang merupakan 16% dari pendapatan SMS Telkomseldimana penerimaan SMS adalah 30% dari total pendapatan pada tahun
Dari semua kerugian yang diderita oleh konsumen, Majelis Komisimemfokuskan pada perhitungan selisih antara penerimaan SMS off-netpada harga kartel SMS off-net dengan harga SMS off-net pada pasarkompetitif selama periode kartel (tahun 2004 sampai dengan tahun2007);
18.  Majelis Komisi menilai patokan harga SMS off-net yang kompetitifdicerminkan dari besaran harga yang semakin mendekati biayalayanan SMS. Dalam hal ini Majelis Komisi menggunakan tariff interkoneksi originasi (Rp 38) dan terminasi (Rp 38) hasil perhitunganOVUM, ditambah dengan biaya Retail Service Activities Cost (RSAC)sebesar 40% dari biaya interkoneksi dan margin keuntungan sebesar10% dari biaya interkoneksi yang merupakan pendekatan yangdisampaikan oleh pemerintah. Berdasarkan perhitungan tersebut makaperkiraan harga kompetitif layanan SMS off-net adalah Rp 114 (seratus empat belas rupiah);
19.  Dariperkiraan harga kompetitif layanan SMS off-net adalah Rp 114 (seratusempat belas rupiah);
20.  Dari kisaran harga kartel SMS off-net antara Rp 250 – Rp 350, MajelisKomisi menggunakan harga kartel terendah sebesar Rp 250 sebagaipatokan dalam penghitungan kerugian konsumen;
21.  Dengan menggunakan selisih antara pendapatan pada harga karteldengan pendapatan pada harga kompetitif SMS off-net dari keenamoperator, maka diperoleh kerugian konsumen sebesarRp 2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuhmiliar tujuh ratus juta rupiah).
22.  Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun1999 kegiatan Terlapor tidak termasuk dalam kegiatan yang dikecualikan;


Kesimpulan
1.      Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan uraian di atas, MajelisKomisi sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
2.      Bahwa XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, dan Mobile-8 telahmelakukan kartel harga SMS off-net pada range Rp 250 – Rp 350 padaperiode 2004 sampai dengan April 2008;
3.      Bahwa Smart telah mengikuti kartel harga SMS tersebut pada saatcommercial launching yaitu tanggal 3 September 2007;
4.      Bahwa Indosat, Hutchison dan NTS tidak terbukti melakukan kartelharga SMS off-net
5.      Bahwa sebagai akibat kartel yang dilakukan tersebut, terdapat kerugiankonsumen setidak-tidaknya sebesar Rp 2.827.700.000.000 (dua trilyundelapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus juta rupiah);
6.      Menimbang bahwa Majelis Komisi tidak berada pada posisi yang berwenang untukmenjatuhkan sanksi ganti rugi untuk konsumen;
7.      Menimbang bahwa perilaku kartel yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom,Bakrie, Mobile-8, dan Smart merupakan pelanggaran berat terhadap persainganyang sehat;
8.      Menimbang terhadap pelanggaran berat tersebut, Majelis Komisi memandang perluuntuk menjatuhkan denda kepada pelaku kartel tersebut;
9.      Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan denda, Majelis Komisimempertimbangkan hal-hal yang meringankan masing-masing Terlapor sebagaiberikut:
1)      Bakrie;
Bahwa Bakrie pernah menetapkan harga SMS dibawah hargaperjanjian namun mendapatkan teguran untuk menaikkannya lagi;
Bahwa Bakrie sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yanglemah;
Bahwa Bakrie telah menurunkan dan mengubah pola penetapan hargaSMS;
2)      Mobile-8;
Bahwa Mobile-8 sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yang lemah;
3)      Smart;
 Bahwa Smart sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yang lemah;
Bahwa periode keikutsertaan Smart dalam perjanjian harga SMSadalah yang paling pendek dibanding operator lain;
           
Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan beberapa Terlapor sebagai berikut: ---
1)      XL;
Bahwa XL adalah operator yang aktif untuk mendisiplinkan anggotakartel yang berupaya untuk memberikan harga SMS off net dibawahharga perjanjian kartel
Bahwa XL adalah operator yang memiliki klausul pernjanjian hargaSMS off net terbanyak dibanding operator lainnya;
2)      Telkomsel;
Bahwa Telkomsel dengan kekuatan pasar yang besar adalah pelakuusaha yang paling diuntungkan melalui kartel harga SMS;-
Bahwa Telkomsel tidak kooperatif dalam menyediakan data daninformasi yang diperlukan
3)      Telkom;
Bahwa Telkom tidak kooperatif dalam menyediakan data daninformasi yang diperlukan;
4)      Menimbang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Komisimenetapkan denda untuk masing-masing operator dengan memperhitungkan efekpenjera, keaktifan operator dalam mendisiplinkan anggota kartel lainnya, jumlahklausul penetapan harga dalam PKS Interkoneksi, pangsa pasar diantara anggotakartel, kooperatif tidaknya Terlapor dalam pemeriksaan, posisi tawar operator newentrant terhadap operator incumbent, adalah sebagai berikut:
a)      XL sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah);
b)      Telkomsel sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah);
c)      Telkom sebesar Rp 18.000.000.000 (delapan belas miliar delapan ratus tujuhpuluh juta rupiah);
d)     Bakrie sebesar Rp 4.000.000.000 (empat miliar rupiah);
e)      Mobile-8 sebesar Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah);
f)       Smart tidak dikenakan denda karena Smart merupakan new entrant yangterakhir masuk ke pasar sehingga memiliki posisi tawar yang paling lemah; ---
5)      Menimbang bahwa sebelum memutuskan perkara ini, Majelis Komisimempertimbangkan hal-hal sebagai berikut
a)      Bahwa sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur polaataupun formulasi perhitungan harga SMS dan pola interkoneksi SMS gunamencegah beban traffic yang tidak seimbang diantara para operator;
b)      Atas kondisi tersebut Telkomsel sebagai operator dengan pangsa pasarterbesar berinisiatif melakukan tindakan self-regulatory yang kemudian jugadiikuti oleh XL namun bertentangan dengan Undang-undang No 5 Tahun 1999;
c)      Tindakan Telkomsel dan XL tersebut dilekatkan sebagai bagian dariperjanjian interkoneksi antar operator, sehingga operator-operator new entranttidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti persyaratan harga minimal SMS tersebut;
d)     Meskipun dalam posisi tawar yang lemah, operator new entrant tetap memilikikewajiban untuk selalu mengikuti peraturan perundang-undangan yangberlaku, dalam hal ini Undang-undang No 5 Tahun 1999, sehingga posisitawar yang lemah tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas tindakan yang melanggar hukum;
6)      Menimbang bahwa sebagaimana tugas Komisi yang dimaksud dalam Pasal 35 hurufe Undang-undang No. 5 Tahun 1999, Majelis Komisi merekomendasikan kepadaKomisi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dan pihakterkait untuk segera menyusun peraturan mengenai interkoneksi SMS yang tidak merugikan konsumen;
7)      Menimbang bahwa berdasarkan fakta dan kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

3.3.Putusan Akhir Kppu

MajelisKomisi: Memutuskan sebagai berikut :
1.      Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor II:PT Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.,Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk.,Terlapor VIII: PT Smart Telecom terbukti secara sah dan meyakinkanmelanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
2.      Menyatakan bahwa Terlapor III: PT Indosat, Tbk, Terlapor V: PT HutchisonCP Telecommunication, Terlapor IX: PT Natrindo Telepon Seluler tidakterbukti melanggar Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun 1999;
3.       Menghukum Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk. dan Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular masing-masing membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor keKas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidangpersaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal SatuanKerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengankode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di BidangPersaingan Usaha)
4.      Menghukum Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Membayardenda sebesar Rp 18.000.000.000,00 miliar (delapan belas miliar rupiah) yangharus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggarandi bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat JenderalSatuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintahdengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di BidangPersaingan Usaha);
5.      Menghukum Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, membayar denda sebesarRp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negarasebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usahaDepartemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja KomisiPengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kodepenerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang PersainganUsaha);
6.      Menghukum Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk. membayar dendasebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke KasNegara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persainganusaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja KomisiPengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kodepenerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang PersainganUsaha);

Demikian putusan ini ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang Majelis Komisipada hari Selasa, tanggal 17 Juni 2008 dan dibacakan di muka persidangan yangdinyatakan terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 18 Juni 2008 yang sama olehMajelis Komisi yang terdiri dari Ir. Dedie S. Martadisastra, S.E., M.M. sebagai KetuaMajelis, Erwin Syahril, S.H. dan Ir. M. Nawir Messi, M.Sc. masing-masing sebagaiAnggota Majelis, dengan dibantu oleh Dinni Melanie, S.H. sebagai Panitera.



BAB IV
PEMBAHASAN

4.1  Hukum Persaingan Usaha  Yang Dilanggar Dalam Perkara Tersebut Adalah:
            Hukum Persaingan Usaha dalam perkara tersebut diatas adalah Kartel. Menurut pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Unsur-Unsur Kartel antara lain :
1.      Unsur Pelaku Usaha,
Menurut pasal 5 pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republic Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggrakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.Dalam kartel, pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua pelaku usaha. Agar kartel sukses, kartel membutuhkan keterlibatan sebagian besar pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan.
2.      Unsur Perjanjian
Perjanjian Menurut Pasal 1 Angka 7 Adalah Suatu Perbuatan Satu Atau Lebih Pelaku Usaha Untuk Mengikatkan Diri Terhadap Satu Atau Lebih Usaha Lain Dengan Nama Apapun, Baik Tertulis Maupun Tidak Tertulis;
3.      Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada didalam satu pasar bersangkutan.
4.      Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga
Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk mempengaruhi harga.Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.
5.      Unsur Mengatur Produksi atau Pemasaran
Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang bersangkutan. sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah di mana para anggota menjual produksinya.
6.      Unsur Barang
Barang menurut pasal 1 angka 6 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
7.      Unsur Jasa
Jasa menurut pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
8.      Unsur Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli
Praktek Monopoli menurut pasal 1 angka 2 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas  barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kertel maka produksi dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum.
9.      Unsur Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha.Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur.Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, misalnya dengan penetapan harga atau pembagian wilayah.
4.2. Unsur-Unsur  Kartel Yang Terpenuhi Dalam Perkara Tersebut Antara Lain:
Majelis Komisi dalam penilaiannya dalam kasus tersebut menyatakan bahwa unsur-unsur yang termasuk dalam kartel antara lain sebagai dimaksud dalam Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1)      Pelaku Usaha
Pelaku usaha sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah:

Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi

Sesuai dengan pembahasan mengenai identitas para Terlapor dalam LHPL dan Identitas Terlapor pada bagian Tentang Hukum di atas, Majelis Komisi menilai bahwa XL, Telkomsel, Indosat, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, dan Smart adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi di wilayah hukum negara Republik Indonesia sehingga memenuhi definisi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
Bahwa tidak terdapat keraguan mengenai fakta para Terlapor adalah pelaku usaha sebagaimana juga diperlihatkan oleh tidak adanya pendapat atau pembelaan mengenai hal ini dari para Terlapor mengenai identitas maupun kegiatan usahanya dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang diterima oleh Majelis Komisi;  Bahwa dengan demikian Majelis Komisi menilai unsur pelaku usaha terpenuhi;

2)      Perjanjian Penetapan Harga;
Perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah:
Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis

Dalam hukum persaingan, perjanjian tidak tertulis mengenai harga dapat disimpulkan apabila terpenuhinya dua syarat:
a)      adanya harga yang sama atau paralel
b)      adanya komunikasi antar pelaku usaha mengenai harga tersebut;
Tim Pemeriksa menemukan adanya beberapa perjanjian tertulis mengenai harga SMS off-net yang ditetapkan oleh operator sebagai satu kesatuan PKS Interkoneksi sebagaimana terlihat dalam Matrix Klausula Penetapan Harga SMS dalam PKS Interkoneksi: Sehingga secara formal, hal ini sudah termasuk dalam kategori kartel yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, Smart, dan NTS;  Tim Pemeriksa menilai perjanjian harga SMS yang dilakukan oleh operator efektif berlaku hanya bagi harga SMS off-net. Sedangkan Tim Pemeriksa menilai bahwa sejak tahun 2004 perjanjian yang menetapkan harga minimal SMS on-net tidak efektif berlaku, meskipun secara formal perjanjian penetapan harga SMS baru diamandemen pada tahun 2007 setelah terbitnya Surat Edaran ATSI No. 002/ATSI/JSS/VI/2007 tanggal 4 Juni 2007;
Tim Pemeriksa menilai bahwa pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel harga SMS off-net; Berdasarkan keterangan dari operator-operator new entrant kepada Tim Pemeriksa, dalam melakukan negosiasi interkoneksi, operator new entrant tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk dapat memfasilitasi kepentingannya dalam perjanjian interkoneksi tersebut. Demikian pula ketika operator incumbent memasukkan klausul harga SMS minimal, operator new entrant tidak berada dalam posisi untuk menolak klausul tersebut;

3)      Pesaing;
Sesuai dengan definisi pasar bersangkutan yang telah ditetapkan oleh Majelis Komisi di atas, yaitu layanan SMS di seluruh wilayah Indonesia, maka Majelis Komisi mengidentifikasi pelaku usaha yang berada pada pasar bersangkutan tersebut sebagai berikut: XL;Telkomsel;Indosat; Telkom;Hutchison;Bakrie; Mobile-8; Smart;NTS; dan Sampoerna Telecom Indonesia; Berdasarkan uraian pada unsur perjanjian penetapan harga di atas, diketahui bahwa terdapat perjanjian harga secara materil yang dilakukan oleh :XL;Telkomsel; Telkom;Bakrie;Mobile-8;Smart, yang berada pada pasar bersangkutan yang sama sebagaimana telah diidentifikasi oleh Majelis Komisi sebelumnya, sehingga menunjukkan operator yang satu bersaing dengan operator yang lainnya  Dengan demikian unsur pesaing telah terpenuhi;
Selain unsur-unsur sebagaimana ditetapkan oleh KPPU tersebut diatas harusnya unsur persaingan usaha tidak sehat juga masuk karena di sini operator yang menetapkan tarif harga sms sendiri ( dilakukan oleh Bakrie ) yang jauh lebih rendah malah ditegur oleh operator yang memilki pangsa pasar yang besar seperti Telkomsel dan XL, hal tersebut menandakan bahwa ada kekhawatiran sendiri atau takut mengalami kerugian. Jika ada operator yang menetapkan harga tarif SMS yang lebih murah kemungkinan akan mengakibatkan antar pelaku usaha akan kalah bersaing atau mengalami kerugian karena konsumen pasti akan memilih harga tarif SMS yang lebih murah.
4.3. Pertimbangan Hukum Dan Keputusan Kppu Dalam Perkara Tersebut Adalah :

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan uraian di atas, Majelis Komisi sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
1.      Bahwa XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, dan Mobile-8 telah melakukan kartel harga SMS off-net pada range Rp 250 – Rp 350 pada periode 2004 sampai dengan April 2008;
2.      Bahwa Smart telah mengikuti kartel harga SMS tersebut pada saat commercial launching yaitu tanggal 3 September 2007;
3.      Bahwa Indosat, Hutchison dan NTS tidak terbukti melakukan kartel harga SMS off-net
4.      Bahwa sebagai akibat kartel yang dilakukan tersebut, terdapat kerugian konsumen setidak-tidaknya sebesar Rp 2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus juta rupiah);
5.      Menimbang bahwa Majelis Komisi tidak berada pada posisi yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk konsumen;
6.      Menimbang bahwa perilaku kartel yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart merupakan pelanggaran berat terhadap persaingan yang sehat;
7.      Menimbang terhadap pelanggaran berat tersebut, Majelis Komisi memandang perlu untuk menjatuhkan denda kepada pelaku kartel tersebut;
8.      Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan masing-masing Terlapor sebagai berikut:
9.      Bakrie;
Bahwa Bakrie pernah menetapkan harga SMS dibawah harga perjanjian namun mendapatkan teguran untuk menaikkannya lagi;
Bahwa Bakrie sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yang lemah;
Bahwa Bakrie telah menurunkan dan mengubah pola penetapan hargaSMS;
10.  Mobile-8;
Bahwa Mobile-8 sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yang lemah;
11.  Smart;
Bahwa Smart sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yang lemah;
Bahwa periode keikutsertaan Smart dalam perjanjian harga SMS adalah yang paling pendek dibanding operator lain;

Majelis Komisi: Memutuskan sebagai berikut :
1.      Menyatakan bahwa Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT Smart Telecom terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
2.      Menyatakan bahwa Terlapor III: PT Indosat, Tbk, Terlapor V: PT Hutchison CP Telecommunication, Terlapor IX: PT Natrindo Telepon Seluler tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun 1999;
3.       Menghukum Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk. dan Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular masing-masing membayar denda sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha)
4.      Menghukum Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Membayar denda sebesar Rp 18.000.000.000,00 miliar (delapan belas miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
5.      Menghukum Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, membayar denda sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
6.      Menghukum Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk. membayar denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha
7.      Smart tidak dikenakan denda karena merupakan new intrant yang terakhir masuk kepasar sehingga berada pada posisi tawar yang paling lemah.

Dari pertimbangan hukum yang diberikan oleh KPPU menurut pendapat saya adalah :
1.      Telkomsel
Keputusan yang diberikan oleh KPPU adalah sangat adil mengingat Telkomsel merupakan salah operator selular yang memiliki pasar yang sangat besar sehingga Telkomsel merupakan salah satu pelaku usaha yang sangat di untungkan dalam perjanjian kartel tariff sms. Namun ada benang merah diantara keputusan yang dijatuhi oleh KPPU kepada Telkomsel Karena pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang khusus mengatur tentang formulasi perhitungan harga sms sehingga Telokomsel merasa perlu melakukan self regulatory.  Namun kebijakan tersebut membawa implikasi bagi operator new intrant  yang belum memilki pangsa pasar yang luas sehingga mau tidak mau harus mematuhi perjanjian tersebut. Karena umumnya mereka berada pada posisi tawar yang lemah.
2.      XL, juga merupakan salah satu operator yang memilki kekuatan pangsa pasar kedua setelah Telkomsel, dan XL juga yang sangat mendukung kebijakan Telkomsel untuk melakukan PKS dan sangat aktif mendisiplinkan anggota kartel yang berupaya untuk memberikan harga sms dibawah harga kartel. Sehingga keputusan KPPU tersebut juga patut diberikan kepada XL karena mendapatkan keuntungan yang cukup signifikan setelah Telkomsel.
3.      Mobile-8, mengikuti perjanjian kartel semata-mata karena berada pada posisi tawar yang rendah. Namun terbukti melanggar undang-undang hingga patut juga diberikan denda.
4.      Bakrie, pernah menetapkan harga dibawah harga kartel namun setelah mendapat teguran akhirnya menaikkan lagi tarifnya karena berada pada posisi tawar yang lemah. Namun denda yang diberikan kepada Bakri juga merupakan patut karena melanggar ketentuan undang-undang.
5.      Telkom Indonesia juga terbukti melakukan praktik kartel dengan mendukung kebijakan Telkomsel dan dalam memberikan data dinilai tidak kooperatif sehingga patut diberikan denda.
6.      Smart, mematuhi ketentuan kartel tetapi, merupakn new intrant  yang paling singkat terikat dengan tariff kartel yaitu pada 2007-april 2008, dan karena berada pada posisi tawar yang sangat lemah sehingga oleh KPPU tidak diberikan denda.
7.      Sedangkan tiga operator lain adalah Indosat, Hutchison,dan Nts tidak terbukti melakukan praktik kartel karena operator selular tersebut menetapkan sendiri tariff smsnya yang jauh dibawah tariff kartel yaitu sekitar Rp 60/sms, sehingga dibebaskan dari denda.

4.4.Pendekatan Hukum Yang Digunakan Oleh KPPU Dalam Memutus Perkara Tersebut Diatas Adalah :

Kartel sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 umumnya diatur secara per se rule atau per se illegal. Didalam per se illegal  pelaku usaha tidak diberikan kesempatan untuk menjastifikasi perilakunya,  Namun demikian tidak semua perkara kartel di berlakukan dengan per se illegal, seperti perkara Sembilan operator dalam kartel tarif sms. Dalam kasus ini KPPU menggunakan pendekatan rule of reason. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan dengan menggunakan analisis berdasarkan detail faktanya.[4] Hakim KPPU mengevaluasi dan menganalisis bukti-bukti dalam praktik perjanjian kartel. Bukti yang digunakan oleh KPPU dalam kasus ini antara lain:
1.      Surat bukti perjanjian Interkoneksi ( PKS )
2.      Data Perkembangan Tarif SMS
3.      Data laporan keuangan operator
4.      Keterangan para saksi ( saksi ahli Roy Suryo dan beberapa Operator Selular itu sendiri)

4.5.Akibat Dari Pelanggaran Ketentuan Hukum Persaingan Usaha Dalam Perkara Tersebut Adalah:
Majelis Komisi mempertimbangkan dampak yang terjadi di pasar bersangkutan sebagai akibat adanya kartel harga SMS yang dilakukan oleh operator sebagai berikut;
1.      Tim Pemeriksa dalam LHPL menyebutkan bahwa kartel yang terjadi merugikan operator new entrant dan konsumen, namun tidak mengelaborasi lebih dalam mengenai perhitungan kerugian yang ditimbulkan akibat kartel tersebut;
2.      Majelis Komisi menilai bahwa kartel yang terjadi tidak dapat menghilangkan secara faktual kerugian yang nyata bagi konsumen pada pasar bersangkutan;
3.      Kerugian konsumen tersebut berupa :
a)      hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga SMS yang lebih rendah,
b)      hilangnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan SMS yang lebih banyak pada harga yang sama,
c)      kerugian intangible konsumen lainnya,
d)     serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen, selama kurun waktu 2004 sampai dengan April 2008; 
4.      Majelis Komisi menjelaskan bahwa kerugian yang diderita konsumen disebabkan oleh perilaku operator dalam bentuk kartel harga dan tidak terkait dengan perhitungan keuntungan yang dinikmati oleh operator bersangkutan. Sehingga argumen tidak adanya kerugian konsumen karena tidak ada keuntungan eksesif yang didalilkan oleh XL, Bakrie, dan Mobile-8 adalah tidak relevan; karena berdasarkan laporan keuangan dari 6 (enam) Terlapor, yaitu XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart yang dimiliki oleh Majelis Komisi diperoleh total pendapatan operator-operator tesebut sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 adalah sebesar Rp 133.885.000.000.000 (seratus tiga puluh tiga trilyun delapan ratus delapan puluh lima miliar rupiah).

BAB V
PENUTUP

5.1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka yang dapat disimpulkan adalah :
1.      Bahwa dalam Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007, sebagaimana telah disebutkan diatas maka Hukum persaingan usaha yang dilanggar adalah Kartel ( kartel tariff sms antara Sembilan operator selular di Indonesia )
2.      Unsur-unsur yang dilanggar dalam praktik yaitu unsur pelaku usaha, unsur perjanjian penetapan harga, dan  unsur pelaku usaha.
3.      Dari perkara tersebut ada lima operator selular diantaranya yaitu XL. Telkomsel,Telkom Indonesia, dan Bakrie dikenakan denda dengan pembayaran sejumlah uang sedangkan empat lainnya dibebaskan dari denda karena tidak terbukti melakukan kartel.
4.      Pendekatan hukum yang digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara tersebut adalah rule of reason, yaitu melalui analisa fakta dan bukti-bukti.
5.      Dampak dari praktik kartel tersebut adalah menyebabkan kerugian kepada konsumen, dimana konsumen dituntut untuk membayar tarif sms yang lebih mahal, dan juga tidak ada kebebasa memilih karena  tariff sms di antara operator semuanya sama. Disamping  itu juga menyebabkan para operator new intrant atau operator baru tidak punya pilihan karena berada pada posisi tawar yang rendah sehingga mau tidak mau harus mengikuti kebijakan operator terdahulu yang telah memilki pangsa pasar yang besar.
5.2.Saran



DAFTAR PUSTAKA
Irna Nurhayati, 2011, Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik, Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.2-Tahun 2011
Cenuk Widyastrisna Sayekti, 2011, Pembuktian Dugaan Kartel Dengan Indirect Evidence Berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.04 Tahun 2010,  Jurnal Hukum Bisnis Volume 30-N0.2-Tahun 2011
Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007, Tentang Kartel Tarif SMS antara Sembilan Operator Selular di Indonesia
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010, Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat





















[1]  Irna Nurhayati, 2011, Kajian Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik, Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.2-Tahun 2011, Hlm.6
[2]Ibid
[3] Cenuk Widyastrisna Sayekti, 2011, Pembuktian Dugaan Kartel Dengan Indirect Evidence Berdasarkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.04 Tahun 2010,  Jurnal Hukum Bisnis Volume 30-N0.2-Tahun 2011, Hlm.19
[4]Irna Nurhayati, Op.Cit.Hlm.10