BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Undang-undang sebagaimana kaidah pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karena itu harus dilaksanakan atau ditegakkan. Untuk dapat melaksanakannya undang-undang harus diketahui orang. Agar dapat memenuhi asas” setiap orang dianggap tahu akan undang-undang”, maka undang-undang harus tersebar luas dan harus pula jelas. Kejelasan undang-undang ini sangat penting. Oleh karena itu, setiap undang-undang selalu dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara.[1] Meskipun penjelasan ini pada kenyataannya tidak jelas dan masih membutuhkan penjelasan lagi.
Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwa yang konkret dan khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwa konkretnya, kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk diterapkan.[2] Bolehlah dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Penjelasan merupakan suatu penafsiran/penjelasan resmi yang dibuat oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk mengetahui maksud latar belakang peraturan perundang-undangan itu diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan. Naskah Penjelasan peraturan perundang-undangan, harus disiapkan bersama-sama dengan Rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penamaan dari Penjelasan suatu peraturan perundang-undangan, ditulis sesuai dengan nama peraturan perundang-undangan yang dijelaskan.
Sebuah kata dalam bahasa peraturan perundang-undangan (yang tercantum dalam ketentuan umum maupun pasal demi pasal ) mengandung arti dan implikasi. Oleh karena itu agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dalam perumusan atau tatabahasa yang dibentuk oleh para legislatif atau pembuat peraturan perundang-undangan, maka diperlukan sebuah penjelasan yang sifatnya otentik. Meskipun dalam sebuah penjelasan peraturan perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya jelas dalam proses pelaksanaan atau pemberlakuannya. Dalam hal ini misalnya hakim yang diberi kewenangan untuk menafsirkan sebuah peraturan perundang-undangan, dalam hal apabila dalam memutus sebuah perkara yang memang membutuhkan sebuah penjelasan sendiri atau penafsiran sendiri karena tidak dijelaskan secara otentik didalam peraturan perundang-undangan tersebut. Seperti antara lain : penafsiran gramatikal, sitematis, historis, analogis, acontario, teleologis, nasional, ektensif, restriktif dan perbandingan.[3]
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis akan mencoba membahas makalah singkat ini dengan judul “ FUNGSI PENJELASAN DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM ( Peraturan PerUndang-Undangan Dalam Praktik Ketatanegaraan Di Indonesia ) “
II. RUMUSAN MASALAH
Penjelasan ( explanation) berfungsi sebagai pemberi keterangan mengenai kata-kata tertentu atau beberapa aspek atau konsep yang terdapat dalam suatu ketentuan ayat atau pasal yang dinilai belum terang atau belum jelas atau yang karena itu dikhawatirkan oleh perumusnya akan dapat menimbulkan salah penafsiran dikemudian hari. Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum Civil Law ( berkiblat ke Belanda ) yang mana dalam pembentukkan peraturan perundang-undangannya selalu disertai dengan penjelasan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka yang menjadi permasalahannya adalah “ Sejauhmanakah Fungsi Penjelasan Dalam Pembentukan Produk Hukum ( Peraturan PerUndang-Undangan Dalam Praktik Ketatanegaraan Di Indonesia ) ? ”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Asas-Asas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebutkannya dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan menyangkut:[4]
1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung);
2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung);
3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung); dan
4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der Regelung).
Montesquieu dalam karyanya “ L’Esprit des Lois “ mengemukakan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi didalam pembentukkan perundang-undangan yakni:
1. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Ini mengandung arti bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan kebesaran ( grandiose ) dan retorik hanya merupakan tambahan yang menyesatkan dan mubazir;
2. Istilah-istilah yang dipilih sebaiknya bersifat mutlak dan tidak relatif, sehingga dengan demikian memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan pendapat yang individual;
3. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual, dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesis;
4. Hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi, oleh karena ia ditujukan kepada rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata, bahasa hukum bukan untuk latihan penggunaan logika, melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa dipahami oleh orang rata-rata;
5. Hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan atau pengubahan; gunakan semua itu hanya apabila benar-benar diperlukan;
6. Hukum hendaknya tidak bersifat debatable ( argumentatif ), adalah berbahaya merinci alasan-alasan, karena hal itu akan menimbulakan konflik;
7. Lebih dari itu semua, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis, dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan, dan hakekat permasalahan; sebab hukum yang lemah, tidak perlu dan tidak adil akan membawa seluruh sistem perundang-undangan mendapat citra buruk dan menggoyahkan legitimasi negara.[5]
Sementara itu Lon Fuller menekankan bahwa hukum positif yang berlaku harus memnuhi delapan persyaratan antara lain :[6]
1. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc, dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan umum;
2. Aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan.
3. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan dikemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut;
4. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat;
5. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
6. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang diluar kemampuan pihak-pihak yang terkena , artinya hukum tidak boleh memrintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;
7. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu;
8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang dimumkan dengan pelaksanaan kenyataannya.
Menurut I.C. van der Vlies di dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, asas-asas pembentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) dibagi dalam asas-asas yang formal dan material. [7]
Asas-asas yang formal meliputi:
a) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c) Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d) Asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e) Asas consensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a) Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi en duidelijke systemetiek);
b) Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
d) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e) Asas pelaksanaan sesuai dengan kemampuan individu (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
II. Pola Pikir Pembentukkan Hukum Khususnya Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Harus Disesuaikan Dengan Prinsip-Prinsip Sebagai Berikut :
1. Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan.
2. Tidak semua aspek kehidupan masyarakat dan bernegara harus diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, asas yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum nasional dank arena itu mempunyai kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan.
3. Pembentukkan perundang-undangan selain mempunyai dasar yuridis, harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar filosofi dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku.
4. Pembentukkan peraturan perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada harus mempunyai jangkauan masa depan.
5. Pembentukkan peraturan peundang-undangan bukan sekedar menciptakan instrument kepastian hukum, tetapi instumen keadilan dan kebenaran.
6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didadarkan pada partisipasi langsung atau tidak langsung masyrakat[8]
7. Pembentukkan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi langsung atau tidak langsung masyarakat.[9]
III. Kekuatan Berlakunya Undang-Undang
a) Kekuatan Berlaku Yuridis ( Juristische Geltung )
Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu terpenuhi. Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, kaidah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaidah hukum merupakan system hierarchies. Didalam Grundnorm ( norma dasar ) terdapat dasar berlakunya semua kaidah yang berasal dari satu tata hukum. dari Grundnorm itu hanya dapat dijabarkan berlakunya kaidah hukum dan bukan isinya. Pertanyaan mengenai berlakunya kaidah hukum itu berkaitan dengan das sollen , sedangkan das sein itu berhubungan dengan pengertian hukum.
b) Kekuatan Berlaku Sosiologis
Kekuatan berlakunya hukum didalam masyarakat ini ada dua macam yaitu:
Ø Menurut teori kekuatan ( Machttheori ), hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan oleh penguasa , terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
Ø Menurut teori pengakuan ( Anerkennugstheorie ) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat.
c) Kekuatan Berlaku Filosofis
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum ( Rechtsdee ) sebagai nilai positif yang tertinggi ( uberpositiven Werte : Pancasila, masyarakat adil dan makmur).[10]
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai “gerund-norm”atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang “staatsfundamentalnorm”, pada setiap negara ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.[11]
d) Keberlakuan Politis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele machtsfactoren). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan yiridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theori) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.
BAB III
PEMBAHASAN
I. Fungsi Penjelasan Dalam Pembentukkan Produk Hukum ( Peraturan Perundang-Undangan)
Penjelasan undang-undang merupakan kebiasaan negara-negara yang menganut “ Civil Law” gaya Eropa continental. Tradisi membuat penjelasan ini berasal dari Belanda yang biasanya membuat penjelasan undang-undang dalam bentuk “ Memori Van Toelichting”. Bahkan setelah Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945), atas ini siatif Soepomo dibuat pula naskah “ Penjelasan Tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Tahun 1945” sebagaimana diumumkan dalam Berita Negara Repoeblik Indonesia pada 1946. Kebiasaan ini tidak lazim dikalangan negara-negara yang menganut tradisi “ Common Law”. Namun demikian karena kebutuhan, akhir-akhir ini penjelasan undang-undang juga dikenal luas seperti missalnya di India dan berbagai negara yang menganut tradisi “ Common Law “ lainnya. [12]
Penjelasan ( explanation) berfungsi sebagai pemberi keterangan mengenai kata-kata tertentu atau beberapa aspek atau konsep yang terdapat dalam suatu ketentuan ayat atau pasal yang dinilai belum terang atau belum jelas atau yang karena itu dikhawatirkan oleh perumusnya akan dapat menimbulkan salah penafsiran dikemudian hari. Jika diuraikan tujuan adanya penjelasan atau explanation adalah untuk :
1. Menjelaskan pengertian atau maksud dari suatu ketentuan ( to explain the meaning and intention of the main provision);
2. Apabila terdapat ketidakjelasan ( obscurity ) atau kekaburan ( Vagueness ) dalam suatu undang-undang, maka penjelasan dimaksudkan untuk memperjelas sehingga ketentuan dimaksud konsisten dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pengaturan yang bersangkutan ( to classify the same so as to make it consistent with the dominant object which it seeks to suserve );
3. Menyediakan tambahan uraian pendukung terhadap tujuan utama dari undang-undang agar keberadaannya semakin bermakna dan semaki berguna ( to provide an additional support to the dominant object in the main statue in order to make it meaningful and purposeful );
4. Apabila terdapat perbedaan yang relevan dengan maksud penjelasan untuk menekan kesalahan dalam mengedepankan objek undang-undang, penjelasan dapat membantu pengadilan dalam menafsirkan” the true purport and object of the enactment” ;dan
5. ( it cannot take away statutory right with which any person under a statute has been clothed, or set at nought the working of an Act by becoming a hindrance in the interpretation of the same )[13]
II. Fungsi Penjelasan Dalam Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, setiap undang-undang selalu diberi penjelasan. Didalamnya terkandung penjelasan yang bersifat umum dan penjelasan atas setiap rumusan pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan. Mengenai pasal atau ayat yang dianggap tidak memerlukan penjelasan biasanya dalam penjelasan ditulis dengan perkataan “ cukup jelas “. Sementara itu untuk peraturan perudang-undangan dibawah undang-undang, hanya diberi penjelasan apabila dipandang perlu. Jika tidak dianggap perlu, peraturan perundang-undangn dibawah undang-undang tidak dilengkapi dengan penjelasan sama sekali.
Seperti yang diuraikan diatas, pada pokoknya, penjelasan suatu perudang-undangan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan itu atas norma-norma hukum tertentu yang diberi penjelasan. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau elaborasi lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh peraturan yang dijelaskan. Dengan demikian penjelasan yang diberikan tidak boleh menyebabkan timbulnya ketidakjelasan atau malah kebingungan. Selain itu penjelasan juga tidak boleh berisi norma hukum baru ataupun yang berisi ketentuan lebih lanjut dari apa yang sudah diatur dalam batang tubuh. Apalagi jika penjelasan itu memuat ketentuan-ketentuan baru yang bersifat terselubung yang bermaksud mengubah atau mengurangi substansi norma yang terdapat didalam batang tubuh. Untuk menghindari jangan sampai penjelasan itu berisi norma-norma hukum baru yang berbeda dari batang tubuh ketentuan yang dijelaskannnya. Maka pembahasan rancangan penjelasan haruslah dilakukan secara integral dengan keseluruhan naskah rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[14]
Dalam praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya mempunyai dua macam Penjelasan yaitu:
1. Penjelasan Umum berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakangpemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
2. Penjelasan Pasal demi Pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Penjelasan pasal demi pasal hendaknya dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Isi penjelasan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b) Isi penjelasan tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh;
c) Isi penjelasan tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d) Isi penjelasan tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam Ketentuan Umum.
e) Apabila suatu pasal tidak memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan “Cukup Jelas”.[15]
Jika Lembaran Negara digunakan sebagai tempat mengundangkan “isi” atau teks peraturan perundang-undangan, maka Tambahan Lembaran Negara untuk memuat Penjelasan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah. [16]
Diatas telah dijelaskan bahwa umumnya peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia semua peraturan perundang-undangan selalu diberi penjelasan. Namun UUD 1945 hasil amandemen tidak lagi mempunyai penjelasan ( autentik ) sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Tambahan Pasal II yang menyatakan bahwa “ Dengan ditetapkannnya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal”
Meskipun banyak yang mempermasalahkan bahwa penjelasan didalam UUD 1945 harus tetap dicantumkan karena penjelasan masih menempel di naskah yang asli maka penjelasan itu masih berlaku, namun Moh. Mahfud MD tidak sependapat dengan hal tersebut, alasannay antara lain sebagai berikut :[17]
1. Jika hanya karena terlampir didalam naskah UUD 1945 yang asli kemudian penjelasan itu dianggap masih berlaku maka hal ini tak masuk akal. Sebab yang lain-lain pun masih ada dalam naskah yang asli, tetapi tidak berlaku lagi karena sudah diamandemen; misalnya tentang Pemilihan Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) dan tentang kedudukan dan unsur-unsur MPR itu masih ada didalam UUD 1945 yang asli tapi nyatanya tidak berlaku lagi karena sudah diamandemen.
2. Didalam ketentuan Aturan Peralihan Pasal II itu sudah jelas bahwa UUD sekarang hanya terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal. Lalu apa artinya ketentuan ini jika masih akan dikatakan bahwa penjelasan itu berlaku ?
3. Konsensus MPR pada awal persetujuan untuk dilakukannya amandemen adalah pemindahan isi penjelasan yang bersifat normatif kedalam pasal-pasal UUD. Ini sudah menjelaskan mengapa kemudian dicantumkan aturan tambahan Pasal II tersebut. Jadi sejak awal sudah ada konsensus di MPR untuk meniadakan penjelasan dan memasukkan isinya yang bersifat normative kedalam pasal-pasal UUD tersebut. Dapat disebut sebagai contoh masuknya prinsip negara hukum kedalam pasal 1 ayat ( 3 ) yang berbunyi : “ Negara Indonesia adalah Negara hukum “ ayat ini merupakan pemindahan dari butir pertama sistem Pemerintahan Negara yang semula ada didalam penjelasan UUD 1945 yang asli.
4. Jika dilihat dari latar belakang yang lain maka peniadaan penjelasan itu sejalan dengan pandangan yang dominan ketika itu bahwa seharusnya sebuah UUD tidak perlu penjelasan, sebab tak lazim adanya penjelasan pada UUD. UUD memang berbeda dengan UU yang memang biasa memilki penjelasan atau memorie van toelichting. Pandangan ini kemudian diterima dan dijadikan konsensus MPR yang kemudian dituangkan juga di dalam Aturan Tambahan.
Dari penjelasan diatas nampaknya setelah mengalami amandemen UUD 1945 tidak lagi memerlukan sebuah penjelasan sebagaimana yang telah diuraikan oleh Mahfud MD diatas. Namun untuk peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang harus mencantumkan sebuah penjelasan karena undang-undang itu sifatnya berlaku secara umum; agar jangan sampai di kemudian hari menimbulkan penafsiran yang salah apabila tidak diberi penjelasan secara otentik.
Contoh konkrit adalah pasal 33 UUD 1945 yang sebelum diamandemen menyatakan bahwa : “bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Dalam penjelasannya : kata “dikuasai” bukan bearti negara menjadi pemilik atas semua smuber daya alam tetapi mengandung makna : diatur dengan sebaik-baiknya, kemudian ditujukan untuk kemakmuran rakyat.
Lain halnya dengan peraturan yang tingkatannya dibawah undang-undang, tidak mesti harus disertai dengan penjelasan secara otentik. Kalaupun ada peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu diberi penjelasan yang otentik, maka kemungkinan hal tersebut dipandang perlu oleh pembuatnya.
BAB IV
PENUTUP
I. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas maka yang dapat penulis simpulkan antara lain :
1. Penjelasan ( explanation) berfungsi sebagai pemberi keterangan mengenai kata-kata tertentu atau beberapa aspek atau konsep yang terdapat dalam suatu ketentuan ayat atau pasal yang dinilai belum terang atau belum jelas atau yang karena itu dikhawatirkan oleh perumusnya akan dapat menimbulkan salah penafsiran dikemudian hari.
2. Dalam praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia biasanya mempunyai dua macam Penjelasan yaitu: Penjelasan Umum berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. dan Penjelasan Pasal demi Pasal, yang merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
II. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Asshidqie, Jimly dan Ali Safa’at, Muchamad, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta
Kelsen, Hans, 2007, General Theory Of Law And State ( Teori Hukum Tentang Hukum Dan Negara, Bee Media Indonesia, Jakarta
Dimyati, Khuzaifah, 2010, Teorisasi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
Latif, Abdul Latif dan Ali, Hasbi , 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
Mertokusumo Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
Mahfud MD, Moh., 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pacaamandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta
Modeon Supardan, 2003, Teknik Perundang-Undangan Di Indonesia, PT. Perca, Jakarta
Sumali, 2003, Reduksi Kekuasaan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,
ARTIKEL INTERNET
Deliarnoor, Nandang Alamsyah, dan Nurhayati, Ratna, 2008, Proses Dan Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, http://Massofa Wordpress.Com/2008/04/29
Ikhwan, Muhammad, 2010, Urgensi Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Daerah ), www.google.com
[1] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal.217
[2] Ibid.hal. 218
[3] Supardan Modeon, 2003, Teknik Perundang-Undangan Di Indonesia, PT. Perca, Jakarta, hal.32
[4] Muhammad Ikhwan, 2010, Urgensi Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Daerah ), www.google.com
[5] Sumali, 2003, Reduksi Kekuasaan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, hal.124-125
[6] Khuzaifah Dimyati, 2010, Teorisasi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 70
[7] Sumali, Op.Cit, hal.126
[8] Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.186-187
[10] Sudikno Mertokusmo, Op.Cit.hal.123-125
[11] Jimly Asshidqie dan Muchamad Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta
[12] Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, hal.133-134
[13] Ibid.hal.134
[14] Ibid.hal.135
[15] Nandang Alamsyah Deliarnoor, dan Ratna Nurhayati, 2008,l Proses Dan Teknik Penyusunan Perundang-Undangan, Sumber:Http://Massofa.Wordpress.Com/2008/04/29/Perundang-Undangan-Di-Indonesia)
[16] Ibid
[17] Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pacaamandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar