(Analisis Pembentukan Karakter Produk Hukum)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Politik hukum dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah termasuk pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat cara konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Hukum tidak hanya di pandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperative atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Jika konfigurasi politik otoriter akan melahirkan karakter hukum yang konservatif atau ortodoks. Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik.
Jika konfigurasi politik demokratis maka akan melahirkan karakter hukum yang responsif. Konfigurasi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum, partisipasi ini dapat di tentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan di selenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.
Dalam mengidentifikasi apakah suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter, maka indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, kebebasan pers dan peranan pemerintah. Untuk mengidentifikasi apakah suatu produk hukum resfonsif atau ortodoks, maka indikator-indikatornya yang dipergunakan adalah proses pembuatannya sifat dan fungsinya dan kemungkinan penafsirannya. Perundang-undangan di bidang politik dalam hal ini Undang-undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Negara kita mempunyai peraturan hak cipta nasional setelah 37 tahun merdeka, yaitu dibentuknya undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta. UU tersebut pada prinsipnya peraturannya sama dengan auteurswet 1912 dan disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat itu. Dengan berlakunya UU nomor 6 tahun 1982 tersebut, maka auteurswet dinyatakan tidak berlaku lagi.
Setalah lima tahun berjalan UU nomor 6 tahun 1982 diubah dengan UU nomor 7 tahun 1987 tentang perubahan atas UU nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta. Perubahan undang-undang dilatarbelakangi oleh adanya peristiwa-peristiwa pelanggaran hak cipta terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan yang mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini muncul sebagai dampak dari keberhasilan kegiatan pelaksanaan pembangunan dibidang teknologi industry yang semakin meningkat waktu itu.
Salah satu kelemahan dalam UU nomor 6 tahun 1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penagkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak korban. Oleh karena itu dalam UU nomor 7 tahun 1987 peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga masyarakat dapat melaporkan adanya pelanggaran hak cipta, tanpa perlu adanya pengaduan dari korban penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya.
Perubahan UU tersebut tidak sampai penggantian UU karena UU nomor 7 tahun 1987 tidak mengubah seluruh pasal-pasalnya melainkan hanya mengubah sebagian pasal-pasal dari UU nomor 6 tahun 1982. Pasal-pasal yang tidak diubah dinyatakan tetap berlaku. Kemudian setelah berjalan hampir 10 tahun UU nomor 6 tahun 1982 jo. UU nomor 7 tahun 1987 diubah dengan UU nomor 12 tahun 1997. Produk hukum tentang hak cipta telah dibentuk dalam konfigurasi politik yang otoriter yaitu masa pemerintahan orde baru, yaitu ditandai dengan ( undang-undang nomor 6 tahun 1982 jo undang-undang nomor 7 tahun 1987). Pada konfigurasi politik otoriter menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam Penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proposional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan parpol tidak befungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak memeiliki kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan bayang-bayang pembredelan.
Kemudian pada tahun 2002 undang-undang tentang Hak Cipta diganti lagi dengan undang-undang nomor 19 tahun 2002 yang di buat pada era reformasi yang menjunjung tinggi semangat kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi baik pada tataran eksekutif, legislatif serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun untuk megetahui apakah undang-undang ini berkarakter responsive, ortodoks ataupun represif maka akan penulis coba uraikan secara singkat dalam tulisan ini.
B. Permasalahan
Fungsi dan peranan hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Di Indonesia konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokeratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum mengikutinya dalam tolak-tarik antara yang responsive dan yang konservatif. Sementara itu untuk membangun tata tertib hukum dan meminimalisir pengaruh politik, judicial review sebenarnya dapat dijadikan alat control yang baik, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan ternyata mengandung pula kekacauan teoritis sehingga tidak dapat dioperasionalkan.
Berangkat dari penjelasan diatas maka oleh penulis mencoba merumuskan suatu permasalahan untuk dapat dikaji adalah :”sejauhmana pengaruh konfigurasi Politik dalam pembentukan suatu karakter produk hukum?”.( undang-undang nomor 19 tahun 2002 ).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Terbentuknya Undang-Undang Hak Cipta
Negara kita mempunyai peraturan hak cipta nasional setelah 37 tahun merdeka, yaitu dibentuknya undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta. UU tersebut pada prinsipnya peraturannya sama dengan auteurswet 1912 dan disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat itu. Dengan berlakunya UU nomor 6 tahun 1982 tersebut, maka auteurswet dinyatakan tidak berlaku lagi.
Setalah lima tahun berjalan UU nomor 6 tahun 1982 diubah dengan UU nomor 7 tahun 1987 tentang perubahan atas UU nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta. Perubahan undang-undang dilatarbelakangi oleh adanya peristiwa-peristiwa pelanggaran hak cipta terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan yang mencapai tingkat yang membahayakan dan dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini muncul sebagai dampak dari keberhasilan kegiatan pelaksanaan pembangunan dibidang teknologi industry yang semakin meningkat waktu itu.
Salah satu kelemahan dalam UU nomor 6 tahun 1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penagkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak korban. Oleh karena itu dalam UU nomor 7 tahun 1987 peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga masyarakat dapat melaporkan adanya pelanggaran hak cipta, tanpa perlu adanya pengaduan dari korban penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya.
Perubahan UU tersebut tidak sampai penggantian UU karena UU nomor 7 tahun 1987 tidak mengubah seluruh pasal-pasalnya melainkan hanya mengubah sebagian pasal-pasal dari UU nomor 6 tahun 1982. Pasal-pasal yang tidak diubah dinyatakan tetap berlaku. Kemudian setelah berjalan hampir 10 tahun UU nomor 6 tahun 1982 jo. UU nomor 7 tahun 1987 diubah dengan UU nomor 12 tahun 1997.
Perubahan UU tersebut dikarenakan negara kita ikut serta dalam persetujuan tentang aspek-aspek dagang hak atas kekayaan intelektual ( agreement on trade related aspect of intellectual property rights, including trade counterfeit goods/ TRIPS ) yang merupakan bagian dari persetujuan pembentukan organisasi pedagangan dunia ( agreement estabilishing the world Trade Organization ). Dengan keterikatan tersebut negara kita telah meratifikasi dengan UU nomor 7 tahun 1994 dan melanjutkan dengan menerapkan dalam undang-undang yang salah satunya adalah undang-undang hak cipta. Selain itu Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the protection of artistic and literary works ( konvensi Berne tentang perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui keputusan presiden nomor 18 tahun 1997 dan World Intelectual Property Organization Copyrights Treaty ( perjanjian hak cipta WIPO ) dengan keputusan Presiden nomor 19 tahun 1997 ).
Meskipun UU hak cipta telah diubah dengan mengikuti ketentuan TRIPs, namun lima tahun kemudian undang-undang tersebut diganti dengan undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Penggantian undang-undang membawa pengaruh untk memudahkan membaca dan memahami ketentuan hak cipta karena apabila dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya maka seseorang harus membaca ketiga undang-undang yang telah berubah-ubah dan menemui kesulitan untuk memahami pasal-pasal yang telah mengalami perubahan dan yang masih tetap.
Selain itu dalam UU hak cipta yang baru yaitu UU nomr 19 tahun 2002 di masukkan beberapa ketentuan baru, antara lain sebagai berikut :
1. Data base merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi
2. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel mapun tanpa kabel, termasuk media intenet, untuk pemutaran produk-produk cakram optic ( optical disk) melalui media audio, media audiovisual, dan atau sarana telekomunikasi.
3. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga, arbitrase, atau alternative penyelesaian sengketa.
4. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak.
5. Batas waktu proses perkara peerdata dibidang perdata dan hak terkait baik dipengadilan niaga maupun mahkamah agung
6. Pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan dan sarana control teknologi.
7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi.
8. Ancaman pidana atas pelanggaran hak terkait.
9. Ancaman pidana dan denda minimal
10. Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program computer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
B. Faktor –faktor yang Melatarbelakangi terbentuknya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
1. Faktor Internal
Faktor internal terpenting yang mempengaruhi proses pembuatan UU No.19 tahun 2002 adalah sebagai berikut :
1. Adanya penemuan-penemuan baru dibidang hak cipta yang belum tersentuh oleh undang-undang hak cipta sebelumnya, sehingga perlu perlindungan lebih lanjut didalam undang-undang hak cipta yang baru, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari dengan ciptaan yang semakin spektakuler.
2. Maraknya aksi pembajakan, penjipakan, atau pemalsuan karya cipta dengan berbagai motif yang belum diatur dalam undang-undang sebelumnya,sehingga perlu untuk memberlakukan undang-undang ini dengan berbagai sanksi pidana maupun perdata yang lebih tegas lagi terhadap pelaku kejahatan dibidang hak cipta.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal terpenting yang mempengaruhi proses pembuatan UU Nomor 19 tahun 2002 tahun 2003 adalah sebagai berikut :
1. Menarik simpati dunia internasional.
Marak aksi pembajakan di Indonesia membuat negara kita dituding sebagai negara pembajak di dunia, sehingga dengan adanya undang-undang yang baru diharapkan dapat membangkitkan kepercayaan dunia internasional khusus dalam bidang hak cipta.
2. Melakukan Harmonisasi dalam bidang hukum hak cipta di Indonesia.
Selama ini Harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu hal yang penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjerumus pada keseragaman di bidang infrastruktur hukum akan berdampak pada kenyaman untuk berinvestasi dari pelaku usaha negara maju di Indonesia yang sedang berkembang.
3. Merespon Kebutuhan Masyarakat.
Dalam banyak kesempatan, negara-negara donor mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu Undang-undang. Kepentingan asing tersebut ”membungkus” kepentingannya dengan mengatakan bahwa apa yang di lakukan adalah kebutuhan masyarakat Indonesia. Bahkan pesan-pesan sponsor asing itu telah menyusup menjadi agenda kerja para pejabat dan politisi, dan tidak menutup kemngkinan undang-undang nomor 19 tahun 2002 terkontaminasi akan hal tersebut.
C. Peranan Negara Di Bidang Hak Cipta
Di bidang hak cipta diperlukan campur tangan negara dengan tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pencipta dengan kepentingan masyarakat dan juga kepentingan negara itu sendiri. Seperti diketahui bahwa pencipta mempunyai hak untuk mengontrol masyarakat dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, dilain pihak warga masyarakat dapat menggunakan ciptaan secara resmi dan menghindari peredaran barang bajakan, sedangkan negara kepentingannya dapat menjaga kelancaran dan keamanan masyarakat di bidang ciptaan.
Untuk kepentingan tersebut alat yang dipergunakan adalah dengan cara membentuk undang-undang yang mengatur bidang ciptaan. Undang-undang pada hakikatnya adalah perjanjian antara rakyat dengan pemerintah termasuk kepada para pejabatnya, sehingga siapapun yang melaggar undang-undang wajib dilakukan penindakan. Hal ini sejalan dengan negara kita yang menganut paham negara hukum, bahwa semua tingkah laku warga negara dan para pejabatnya wajib dilandasi atas hukum yang berlaku.
- Mengapa Karya Intelektual Harus Dihargai?
Karya-karya intelektual yang dilahirkan seseorang dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan memiliki nilai, apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kepemilikan terhadap karya-karya intelektual tadi. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai assets perusahaan.
- Mengapa Karya Intelektual Harus Dilindungi ?
Karya Intelektual merupakan Hak-hak alami, berdasarkan ketentuan pasal 27 (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia sedunia “Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusasteraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta. Perlindungan Reputasi, perlindungan Karya Intelektual merupakan wujud dari perlindungan reputasi perusaahaan dari pihak lain yang menggunakan karya Intelektual yang dimiliki secara tanpa hak/ijin. Dorongan dan imbalan dari Inovasi dan Penciptaan, HKI merupakan bentuk kompensasi dan dorongan bagi orang untuk mencipta, hal ini dapat menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang
BAB III
PEMBAHASAN
- Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap pembentukan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002
Hukum sebagai produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkanya. Hal tersebut merupakan sebuah fakta dimana setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dari kalangan para politisi. Undang-undang nomor 19 tahun 2002 merupakan undang-undang yang di buat dalam era reformasi yang mengagungkan demokratisasi. Dengan tujuan tidak lain adalah sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap karya cipta anak bangsa.
Meskipun beberapa kali mengalami perubahan undang-undang hak cipta ini nampaknya masih belum banyak dipahami oleh masyarakat Indonesia. Sehingga proses pembajakan, penjiplakan, atau pemalsuan karya cipta makin marak terjadi dewasa ini. Kenapa sampai hal itu bisa terus terjadi? Karena Konsep demokratis dan otoriter (non-demokratis) diidentifikasikan berdasarkan dalam pembuatannya diera yang katanya demokratis tetapi masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembuatannya. Mengakibatkan bahwa konsep res nullius ( hak milik perseorangan) dalam undang-undang hak cipta tidak berlaku efektif, karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa konsep hak cipta merupakan res communis ( hak milik bersama).
Konfigurasi politik demokrasi adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut serta aktif menentukan kebijakan Negara. Dalam konteks ini Negara merupakan komite yang harus melaksanakan kehendak rakyat yang dirumuskan secara demokratis. Dalam proses pembuatan undang-undang ini masyarakat tidak dilibatkan sehingga banyak yang masyarakat yang minim pengetahuannya tentang konsep hak cipta masih terasa begitu asing dibanyak kalangan masyarakat Indonesia.
Hal ini disebabkan Pembentukan hukum dalam suatu system hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu.
Negara Indonesia sebagai Negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislative (DPR). Kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislative didasarkan pada landasan juridis pertama yaitu : pasal 20 UUD 1945:
1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang
2) setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama
3) Dalam hal rancangan undangundang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang tersebut disetujui rancangan undangundang tersebut sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan”.
Landasan Juridis yang kedua,adalah UU No. 10 tahun 2004 tentang peraturan pembentukan perundang-undangan. Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang diatur dalam BAB IV tentang “perencanaan penyusunan undang-undang” dan BAB V tentang “pembentukan peraturan perundang-undangan”.
Dengan melihat landasan yuridis yang ada konsep demokrasi yang diharapkan dalam pembentukan undang-undang hak cipta terasa jauh. Namun apabila dilihat dari isinya undang-undang nomor 19 tahun 2002 ini memiliki muatan yang responsive tapi dalam proses pembuatannya cenderung otonom, karena proses pembuatannya tidak partisipatif atau tidak melibatkan masyarakat. Sehingga kepentingan rakyat tidak sepenuhnya terwakili, dan yang memprihatinkan adalah banyak masyarakat yang tidak tahu isi atau muatan dari undang-undang itu, meskpun telah dituangkan dalam lembaran negara. Dengan azaz ini semua warga masyarakat dianggap mengetahui akan undang-undang ini, padahal dalam realitnaya tidak berjalan sebagaimana mestinya mengakibatkan kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam memahami konsep hak cipta ( perlu adanya sosialisasi ). Sehingga masih banyak terjadi aksi pembajakan atau penjiplakan karya cipta tanpa tahu kalau hal tersebut meupakan suatu perbuatan yang telah melanggar hukum. Namun materi muatan daripada undang-undang hak cipta ini bisa dikatakan sangat responsive karena merespon perubahan social dalam masyarakat. Ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknonologi dan adanya arus globalisasi. Untuk mengetahui apakah undang-undang hak cipta sifatnya responsive perlu pendekatan dengan teori.
B. Pendekatan Teori Nonet dan Selnick
Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik masyarakat. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Untuk menjelaskan perkembangan evolutif tersebut, menurut pandangan penulis tahapan ini dapat disandarkan pada momentum-momentum sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah suatu negara, yang membingkai secara kontekstual terhadap muncul dan berlakunya suatu peraturan hukum dalam masyarakat.
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan III (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya resiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih maju.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 Tahun 2009 tentang hak cipta dibuat tidak semata-mata untuk kepentingan masyarakat tapi juga untuk negara itu sendiri sebagai pemegang kekuasaan dalam melindungi karya budaya bangsa ditengah maraknya pencurian hasil karya cipta anak negeri ini oleh bangsa asing. Dan dalam pemberlakuannya undang-undang hak cipta dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam melindungi karya-karya cipta sebagai pemilik hak cipta dan juga memotivasi warga masyarakat untuk memiliki kesadaran hukum atas hak cipta atau dengan kata lainnya hukum sebagai rekayasa social.
Karena hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya. Undang-undang nomor 19 tahun 2002 bisa dikatakan sebagai undang-undang yang memiliki muatan yang sifatnya responsive.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian singkat ini maka penulis dapat menyimpulkan bahwa undang-undang hak cipta nomor 19 tahun 2002 merupakan undang-undang yang dibuat dalam era reformasi demokratis. Umumnya konfigurasi politik yang demokratis biasanya melahirkan produk hukum yang responsive. Namun dalam pembuatannya undang-undang ini cenderung otonom karena tidak partisipatif atau melibatkan masyarakat dalam proses pembuatannya. Meskipun demikian penulis berkesimpulan bahwa undang-undang ini materi muatannya lebih bersifat responsive karena lebih menekankan pada perlindungan kepantingan masyarakat sebagai pemilik karya cipta.
B. SARAN
System pemerintahan demokrasi adalah menghendaki adanya hukum yang responsive maka seyogyanya dalam pembuatan produk hukum sebaiknya mengedapankan aspirasi masyarakat, agar hukum itu tetap memiliki keberlakuan secara yuridis, sosiologis dan juga filosof
DAFTAR REFERENSI
· Arianto, Satya. Kumpulan Materi Kuliah Politik Hukum. 2002, Jakarta. Universitas Indonesia. .
· Dimyati, khuzaifah, Teorisasi Hukum,2010, Genta Publishing, Yogyakarta,
- Mahfud MD, Muhammad, Politik Hukum di Indonesia, 2009, Rajawali Pers, Jakarta.
- Aria Herjon, Konfigurasi Politik Dan Karakter Politik Hukum, www.blogger.com
· Supramono, Gatot, Hak Cipta dan Aspek Hukumnya, 2009, Rineka Cipta, Jakarta
· Konsultasi seputar Hak Kekayaan Intelektual, www.google.com
· Wikimedia Commons memiliki galeri mengenai: Hak cipta Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
· Tanya jawab hak cipta di situs Ditjen HKI Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
· Masa berlaku hak cipta di berbagai negara, beserta pranala ke rangkuman atau salinan hukum yang mengaturnya, www.wikipedia.com
- RI. Undang-undang Dasar 1945 Amandemen
· Undang-Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002, tentang HAK CIPTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar