BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Persaingan usaha merupakan ekspresi kebebasan yang
dimilki setiap individu dalam rangka bertindak untuk melakukan transaksi
perdagangan dipasar.Persaingan usaha diyakini sebagai mekanisme untuk dapat
mewujudkan efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Bila persaingan dipelihara
secara konsisten, akan tercipta kemanfaatan bagi masyarakat konsumen, yaitu
berupa pilihan produk yang bervariatif dengan harga pasar serta dengan kualitas
tinggi. Sebaliknya, bila persaingan dibelenggu oleh peraturan-peraturan, atau
dihambat oleh perilaku-perilaku usaha tidak sehat dari perilaku pasar, maka
akan muncul dampak kerugian pada konsumen.[1]
Hukum persaingan ( hukum anti monopoli )diperlukan
tidak hanya dalam rangka menjamin kebebasan untuk bertindak seluas mungkin bagi
pelaku usaha, tetapi juga menentukan garis pembatas antara pelaksanaan
kebebasan pelaku usaha tersebut dengan penyalahgunaan kebebasannya itu ( freedom paradox ).Jadi hukum anti
monopoli membangun kerangka kerja dalam upaya mengatur keseimbangan kepentingan
diantara para pelaku usaha, juga keseimbangan kepentingan pelaku usaha dengan
kepentingan masyarakat konsumen.Agar hokum anti monopoli dapat tetap terjaga
keharmonisan kepentingan diantara pelaku usaha dengan masyarakat, maka hukum
anti monopoli harus dapat menjaga efektivitas dari persaingan usaha.Hal ini
patut diperhatikan Karena seringkali kebijakan persaingan usaha justru
mengancam persaingan dengan aturan-aturan yang membelenggu dan menghambat
persaingan.Ancaman persaingan usaha lainnya juga dating dari para pelaku usaha
sendiri yang secara sengaja melakukan berbagai strategi bisnis yang menghambat
persaingan.[2]
Salah satu ancaman dari pelaku usaha tersebut adalah
dengan melakukan praktik kartel. Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
anti terhadap persaingan. Para pelaku usaha ini melakukan perjanjian untuk
mempengaruhi harga melalui pengaturan proses produksi maupun pengaturan wilayah pemasaran produk, sebagai
akibat daripada perjanjian tersebut dapat menimbulkan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan konsumen selaku pemakai
barang dan jasa juga kepada pemerintah dan terlebih bagi pelaku usaha lainnnya
yang tidak termasuk dalam Cartellist.Padahal
kegiatan kartel merupakan sebuah perjanjian yang jelas-jelas dilarang dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.Dan tindakan para pelaku usaha yang melakukan
praktik kartel tersebut adalah merupakan tindakan yang melanggar etika dalam
kegiatan hukum bisnis.
Mendasari hal tersebut diatas pada kesempatan kali
ini penulis akan mencoba menganalisis sebuah kasus yang telah di putus oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ). Kasus tersebut adalah kartel tariff
SMS ( short message service ) oleh
Sembilan operator selular di Indonesia yang telah terbukti melakukan praktek
perjanjian kartel yang telah merugikan konsumen
pemakai selular di Indonesia, yaitu
Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007. Kasus tersebut akan di sajikan secara
singkat dengan sistematika antara lain : Bagaimana Perkaranya, bagaimana
pertimbangan hukum hakim ( KPPU ), dan bagaimana putusan akhir dari KPPU.
1.2.Rumusan Masalah
Yang menjadi masalah pokok yang akan dianalisis dalam putusan KPPU
tersebut antara lain :
1.
Kemukakan hukum
persaingan usaha ( sebutkan pasal dan unsur-unsurnya) mana yang dilanggar dalam
perkara tersebut?
2.
Kemukakan apakah semua
unsur tersebut terpenuhi dalam perkara tersebut menurut pendapat saudara ?
3.
Kemukakan tentang
pertimbangan hukum dan keputusan KPPU dalam perkara tersebut ?
4.
Kemukakan tentang
pendekatan hukum yang digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara tersebut?
5.
Kemukakan apa akibat
dari pelanggaran ketentuan hukum persaingan usaha dalam perkara tersebut?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.Pengertian
Kartel
Kartel dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal
11 disebutkan bahwa “ pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat “
Konstruksi kartel sebagaimana disebutkan dalam pasal
11 tersebut antara lain meliputi :
1. Kartel
merupakan suatu perjanjian;
2. Perjanjian
dilakukan diantara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
3. Tujuan
dilakukan perjanjian adalah untuk mempengaruhi harga suatu produk;
4. Perjanjian
dilakukan dengan cara mengatur produksi atau pemasaran suatu produk;
5. Perjanjian
dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usah tidak sehat.
Menurut Posner karakteristik kartel adalah jika
hanya terdapat sedikit penjual dengan pembagian wilayah yang sangat
tinggi.Semakin banyak pelaku usaha dipasar semakin sulit untuk terbentuknya
kartel.Tidak ada barang substitusi; produk dipasar sifatnya homogen;dan adanya
kolusi.[3]
2.2.Syarat-Syarat
Terjadinya Kartel
Didalam Peraturan KPPU( PERKOM ) Nomor 4 Tahun 2010
disebutkan bahwa salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada
perjanjian atau kolusi antara para pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam
kartel yaitu :
1. Kolusi
eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara
langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai
audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis data penjualan
dan data-data lainnya.
2. Kolusi
diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara
langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang
dipakai sebagai media adalah asosiasi industry, sehingga pertemuan-pertemuan
anggotan kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti
pertemuan asosiasi.
Lebih lanjut dalam PERKOM No. 10 2010 disebutkan
bahwa suatu kartel pada umumnya mempunyai bebarapa karakteristik diantaranya
adalah :
1. Terdapat
konspirasi diantara beberapa pelaku
usaha
2. Melibatkan
para senior eksekutif dariperusahaan yang terlibat.
3. Biasnya
dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka
4. Melakukan
price fixing atau penetapan harga.
Agar penetapan harga berjalan efektif, maka diikuti dengan alokasi konsumen
atau pembagian wilayah atau alokasi produksi.
5. Adanya
ancaman sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian
6. Adanya
distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel
7. Adanya
mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau
melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta
mengentikan kegiatan usahanya.
Terdapat beberapa persayaratan agar suatu kartel
dapat berjalan efektif, diantaranya adalah :
1. Jumlah
pelaku usaha. Semakin banyak pelaku usaha dipasar semakin sulit terbentuknya
suatu kartel. Kartel akan mudah dibentuk dan berjalan efektif apabila jumlah
pelaku usaha sedikit atau pasar terkonsentrasi;
2. Produk
dipasar bersifat homogen. Karena produk homogen maka lebih mudah untuk mencapai
kesepakatan mengenai harga;
3. Elastisitas
terhadap permintaan barang. Permintaan akan produk tersebut tidak berfluktuasi.
Apabila permintaan sangat fluktuatif, maka akan sulit mencapai kesepakatan baik
mengenai jumlah produksi maupun harga;
4. Pencegahan
masuknya pelaku usaha baru kepasar;
5. Tindakan-tindakan
anggota kartel mudah untuk diamati.
6. Penyesuaian
terhadap pasar dapat segera dilakukan. Kartel membutuhkan komitmen dari
anggota-anggotanya untuk menjalankan kesepakatan kartel sesuai dengan
permintaan dan penawaran dipasar.
7. Investasi
yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk kepasarnya membtuhkan investasi
yang besar, maka tidak akan banyak pelaku usaha yang akan masuk kepasar. Oleh
karena itu, kartel diantara pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan.
2.3.
Dampak terjadinya Kartel
Secara umum para ahli sepakat bahwa kartel
mengakibatkan kerugian baik perekonomian suatu Negara maupun bagi konsumen.
1. Kerugian
bagi perekonomian suatu Negara antara lain:
a) Dapat
menyebabkan terjadinya inefisiensi alokasi
b) Dapat
mengakibatkan terjadinya inefisiensi produksi
c) Dapat
menghambat inovasi dan penemuan teknologi baru
d) Menghambat
masuknya investor baru
e) Dapat
menyebabkan kondisi perekonomian yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang
kompetitif dibandingkan Negara-negara lain yang menerapkan system persaingan
usaha yang sehat
2. Kerugian
bagi konsumen antara lain :
a) Konsumen
membayar harga suatu barang atau jasa lebih mahal daripada harga pasar yang
kompetitif
b) Barang
atau jasa yang diproduksi dapat terbatas baik dari sisi jumlah dan atau mutu
daripada kalau terjadi persaingan yang sehat diantara pelaku usaha
c) Terbatasnya
pilihan pelaku usaha
BAB III
PUTUSAN KPPU
3.1.
Duduk Perkara
Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007. Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (selanjutnya
disebut Komisi) yang memeriksa dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999.Tentang duduk
Perkaranya adalah sebagai berikut :
1. Menimbang
Komisi menerima laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran Pasal 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh PT Excelcomindo Pratama,
Tbk., PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat, Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia,
Tbk., PT Hutchison CP Telecommunications, PT Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-8
Telecom, Tbk., dan PT Smart Telecom; --
2. Menimbang
bahwa setelah Komisi melakukan penelitian dan klarifikasi, laporan dinyatakan
lengkap dan jelas;
3. Menimbang
bahwa atas laporan yang lengkap dan jelas tersebut, Rapat Komisi tanggal 01
November 2007 menetapkan laporan tersebut ditindaklanjuti ke tahap Pemeriksaan
Pendahuluan;
4. Menimbang
bahwa selanjutnya, Komisi menerbitkan Penetapan Nomor 68/PEN/KPPU/XI/2007
tanggal 01 November 2007 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor
26/KPPU-L/2007, terhitung sejak tanggal 02 November 2007 sampai dengan 13
Desember 2007 (vide bukti A1);
5. Menimbang
bahwa untuk melaksanakan Pemeriksaan Pendahuluan, Komisi menerbitkan Keputusan
Nomor 184/KEP/KPPU/XI/2007 tanggal 01 November 2007 tentang Penugasan Anggota
Komisi sebagai Tim Pemeriksa dalam Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor
26/KPPU-L/2007 (vide bukti A2);
6. Menimbang
bahwa selanjutnya Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi menerbitkan Surat Tugas
Nomor 607/SET/DE/ST/XI/2007 tanggal 01 November 2007 yang menugaskan
Sekretariat Komisi untuk membantu Tim Pemeriksa dalam Pemeriksaan Pendahuluan (vide
bukti A3);
7. Menimbang
bahwa dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa telah mendengar keterangan
dari Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VII, dan Terlapor VIII (vide
bukti B1, B2, B3, B4, B5) ;
8. Menimbang
bahwa setelah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa menemukan adanya
bukti awal yang cukup terhadap dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 yang dilakukan oleh para Terlapor (vide bukti A22);
9. Menimbang
bahwa berdasarkan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan, Tim Pemeriksa merekomendasikan
kepada Komisi agar pemeriksaan dilanjutkan ke tahap Pemeriksaan Lanjutan dan
menetapkan PT Natrindo Telepon Seluler sebagai Terlapor (vide bukti
A22);
10. Menimbang bahwa atas dasar rekomendasi Tim
Pemeriksa Pendahuluan tersebut, Komisi menyetujui melalui Rapat Komisi pada
tanggal 13 Desember 2007 dan menerbitkan Penetapan Komisi Nomor
86/PEN/KPPU/XII/2007 tanggal 13 Desember 2007 tentang Pemeriksaan Lanjutan
Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007, terhitung sejak tanggal 14 Desember 2007 sampai
dengan 26 Maret 2008 (vide bukti A24);
11. Menimbang
bahwa untuk melaksanakan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi menerbitkan Keputusan
Nomor 217/KEP/KPPU/XII/2007 tanggal 13 Desember 2007 tentang Penugasan Anggota
Komisi sebagai Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor
26/KPPU-L/2007 (vide bukti A25);
12. Menimbang bahwa selanjutnya Direktur Eksekutif
Sekretariat Komisi menerbitkan Surat Tugas Nomor 727/SET/DE/ST/XII/2007 tanggal
13 Desember 2007 yang menugaskan Sekretariat Komisi untuk membantu Tim
Pemeriksa Lanjutan dalam Pemeriksaan Lanjutan (vide bukti A26);
13. Menimbang bahwa sehubungan dengan
ditetapkannya cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1428 H diterbitkan Penetapan
Komisi Nomor 21/KPPU/PEN/II/2008 tentang Penyesuaian Jangka Waktu Kegiatan
Pemberkasan dan Penanganan Perkara di KPPU, jangka waktu Penanganan Perkara
Nomor 26/KPPU-L/2007 yang semula adalah tanggal 14 Desember 2007 sampai dengan
26 Maret 2008 disesuaikan menjadi 14 Desember 2007 sampai dengan 25 Maret 2008;
14. Menimbang
bahwa setelah melakukan Pemeriksaan Lanjutan, Tim Pemeriksa Lanjutan menilai
perlu untuk melakukan Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan; ----
15. Menimbang
bahwa selanjutnya Komisi menerbitkan Keputusan Nomor 120/KPPU/KEP/III/2008
tanggal 25 Maret 2008 tentang Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Nomor
26/KPPU-L/2007, terhitung sejak tanggal 26 Maret 2008 sampai dengan 07 Mei 2008
(vide bukti A72);
16. Menimbang
bahwa untuk melaksanakan Perpanjangan Pemeriksaan Lanjutan, Komisi menerbitkan
Keputusan Nomor 121/KPPU/KEP/III/2008 tanggal 25 Maret 2008 tentang Penugasan
Anggota Komisi sebagai Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Perpanjangan Pemeriksaan
Lanjutan Perkara Nomor 26/KPPU-L/2007 (vide bukti A73);
17. Menimbang
bahwa selanjutnya Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi menugaskan Sekretariat
Komisi untuk membantu Tim Pemeriksa Lanjutan dalam Perpanjangan Pemeriksaan
Lanjutan dengan menerbitkan Surat Tugas Nomor 173/SET/DE/ST/III/2008 tanggal 25
Maret 2008 sebagaimana kemudian diubah dengan Surat Tugas Nomor
303/SET/DE/ST/IV/2008 tanggal 22 April 2008 (vide bukti A74, A89);
18. Menimbang
bahwa dalam masa Pemeriksaan Lanjutan dan perpanjangannya, Tim Pemeriksa telah
mendengar keterangan para Terlapor, para Saksi, para Ahli dan Pemerintah;
19. Menimbang
bahwa identitas dan keterangan para Terlapor, para Saksi, para Ahli dan
Pemerintah telah dicatat dalam BAP yang telah diakui kebenarannya serta telah
ditandatangani oleh yang bersangkutan;
20. Menimbang
bahwa dalam Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan, Tim Pemeriksa
telah mendapatkan, meneliti dan menilai sejumlah surat dan atau dokumen, BAP serta
bukti-bukti lain yang telah diperoleh selama pemeriksaan dan penyelidikan;
21. Menimbang bahwa setelah melakukan Pemeriksaan
Lanjutan, Tim Pemeriksa membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan sebagai
berikut:
Identitas
Terlapor;
1. Terlapor
I, PT Excelkomindo Pratama, Tbk; selanjutnya disebut XL, beralamat
kantor di Graha XL, Jl. Mega Kuningan Lot. E4-7 No. 1, Jakarta 12710, adalah
pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia, berupa suatu Perseroan Terbatas, yang
seluruh anggaran dasarnya sebagaimana telah diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia tanggal 1 September 2005, No. 70, tambahan No. 9425 dan
perubahannya sebagaimana telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
tanggal 27 Desember 2005, No. 103, Tambahan No. 1218 dan merujuk pada susunan
pengurus terakhir perseroan yang termuat dalam akta No. 121 tanggal 23 November
2007 yang dibuat di hadapan Sutjipto, SH, yang melakukan kegiatan usaha di
bidang jasa telekomunikasi;
2.
Terlapor II, PT Telekomunikasi Selular
(Telkomsel); selanjutnya disebut Telkomsel, beralamat kantor
di Jl. Gatot Subroto No. 42, Jakarta 12710, adalah pelaku usaha yang berbentuk
badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia, berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Poerbaningsih
Adi Warsito, SH, No. 181, tanggal 26 Mei 1995 sebagaimana diubah terakhi dengan
Akta No. 21 tanggal 21 April 2005, yang dibuat di hadapan Ny. Djumini Setyoadi,
SH, MKN, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
3.
Terlapor III, PT Indosat, Tbk;
selanjutnya disebut Indosat, beralamat kantor di Jl. Medan Merdeka
Barat No. 21, Jakarta 10110, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang
didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa
suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris MS Tadjoeddin No. 55, tanggal 10
November 1967, sebagaimana terakhir diubah dengan Akta Notaris Sutjipto, SH,
No. 31, tanggal 5 Mei 2006, yang melakukan kegiatan usaha di bidang jasa
telekomunikasi;
4.
Terlapor IV, PT Telekomunikasi
Indonesia; selanjutnya disebut Telkom, beralamat kantor
di Jl. Japati No. 1, Bandung - 40133, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan
hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Anggaran Dasarnya telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 5, tanggal 17 Januari
1992, Tambahan No. 210, sebagaimana telah diubah dan terakhir telah diumumkan
dalam Berita Negara RI No. 45 tanggal 4 Mei 2002, tambahan No. 5495, yang
melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
5.
Terlapor V, PT Hutchison CP
Telecommunication; selanjutnya disebut Hutchison, beralamat kantor
di Menara Mulia lantai 10, Jl. Gatot Subroto Kav. 9-11, Jakarta 12930, adalah
pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan
Akta Notaris Rachmad Umar, SH, No. 18 tanggal 18 Maret 2000, sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Pemegang Saham PT Hutchison CP
Telecommunications, Notaris Muhammad Ridha, SH, yang melakukan kegiatan usaha
di bidang jasa telekomunikasi;
6.
Terlapor VI, PT Bakrie Telecom;
selanjutnya disebut Bakrie, beralamat kantor di Wisma Bakrie lantai
2, Jl. HR Rasuna Said Kav. B-1, Jakarta 10350, adalah pelaku usaha yang
berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundangundangan
Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Muhani
Salim, SH, No. 94 tanggal 13 Agustus 1993, sebagaimana telah disesuaikan dalam
Akta Notaris Sovyedi Adasasmita, SH, No. 5 tanggal 24 September 1998 yang telah
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal 30 Maret 1999,
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1934 tahun 1999, yang anggaran
dasarnya telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Akta Notaris Agus
Madjid, SH, No. 6 tanggal 3 Februari 2006, yang melakukan kegiatan usaha di
bidang jasa telekomunikasi;
7.
Terlapor VII, PT Mobile-8 Telecom, Tbk;
selanjutnya disebut Mobile-8, beralamat kantor di Menara Kebon
Sirih lantai 18-19, Jl. Kebon Sirih No. 17-19 Jakarta 10340, adalah pelaku
usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu Perseroan Terbatas dengan
Anggaran Dasar sebagaimana termuat dalam Akta Notaris No. 202 tanggal 27 Juli
2005, yang dibuat oleh Notaris Sutjipto, SH, yang melakukan kegiatan usaha di
bidang jasa telekomunikasi;
8.
Terlapor VIII, PT Smart Telecom;
selanjutnya disebut Smart, beralamat kantor di Jl. H. Agus Salim
No. 45 Jakarta Pusat, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang
didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa
suatu Perseroan Terbatas dengan Akta Notaris Sutjipto, SH No. 60 tanggal 16
Agustus 1996, yang telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Akta Notaris
Sri Hidianingsih Adi Sugijanto, SH, No. 32, tanggal 29 September 2006, yang
melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
9. Terlapor
IX, PT Natrindo Telepon Seluler; selanjutnya disebut NTS, beralamat
kantor di Gedung Citra Graha Lt.3, Jl. Jend. Gatot Subroto kav. 35-36 Jakarta
12950, adalah pelaku usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia berupa suatu
Perseroan Terbatas dengan Anggaran Dasarnya telah diumumkan dalam Tambahan
Lembaran Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) No. 5820, tanggal 10 Juni 2005
oleh Aulia Taufani, SH, sebagai pengganti dari Notaris Sutjipto, SH, yang
melakukan kegiatan usaha di bidang jasa telekomunikasi;
3.2.Tentang
Pertimbangan Hukumnya
Berdasarkan
Laporan Hasil Pemeriksaan Lanjutan (selanjutnya disebut “LHPL”), Pendapat atau
Pembelaan para Terlapor, surat, dokumen dan alat bukti lainnya Majelis Komisi
menilai dan menyimpulkan ada tidaknya pelanggaran oleh para Terlapor dalam
perkara a quo. Dalam melakukan penilaian Majelis Komisi menguraikan
dalam beberapa bagian yaitu pertama, LHPL mengenai pelanggaran; kedua,
identitas para Terlapor; ketiga, aspek formal; keempat, pasar bersangkutan;
kelima, aspek materiil; keenam, kesimpulan; ketujuh, hal- hal lain yang
dipertimbangkan; dan kedelapan, diktum putusan dan penutup.
1. LHPL Mengenai
Pelanggaran
Mengenai pelanggaran oleh para Terlapor, Tim
Pemeriksa dalam LHPL pada pokoknya menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II,
Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII, dan Terlapor VIII telah membuat
perjanjian yang mengakibatkan terjadinya kartel harga SMS off-net pada
periode 2004 sampai April 2008. Atas dasar tersebut Tim Pemeriksa menyimpulkan
bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor IV, Terlapor VI, Terlapor VII, dan
Terlapor VIII telah melanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999
2. Identitas
Terlapor: ( sudah di sebutkan di atas)
3. Aspek
Formil
1) Selanjutnya
sebelum menilai dan menyimpulkan pokok perkara (aspek materiil) Majelis Komisi
terlebih dahulu menilai aspek formal yang ditanggapi oleh Terlapor, yaitu tentang Yurisdiksi
Komisi dalam menangani perkara persaingan usaha di bidang telekomunikasi;
2) Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel dan Telkom menyatakan Pemeriksaan
yang dilakukan oleh KPPU dalam perkara No. 26/KPPU-L/2007 ini bertentangan
dengan peraturan perundangan yang khusus berlaku tentang wewenang absolut BRTI
karena tugas pengawasan persaingan usaha dalam bidang jasa telekomunikasi
merupakan kewenangan khusus BRTI;
3) Untuk
menilai apakah Komisi mempunyai yurisdiksi dalam menangani perkara persaingan
usaha di bidang telekomunikasi, Majelis Komisi melihat, Pertama,
mengenai isi ketentuan umum Undang-undang No. 5 Tahun 1999, Kedua mengenai
Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“Undang-undang No 36
Tahun 1999”), dan Ketiga, mengenai KM. 31 Tahun 2003 tentang Penetapan
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KM 31 Tahun 2003);
4) Pertama,
maksud dari ditetapkannya Undang-undang No 5 Tahun 1999 sebagaimana terlihat
dalam konsideran huruf b dan c adalah untuk memberikan kesempatan yang sama
bagi setiap warga negara untuk berparitisipasi dalam proses produksi dan
pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi
pasar yang wajar. Serta sebagai jaminan bagi setiap orang yang berusaha di
Indonesia selalu berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar sehingga
tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi kepada pelaku usaha
tertentu;
5) Konsideran
tersebut dijabarkan dalam Pasal 3 Undang-undang No 5 Tahun 1999 mengenai tujuan
dari pembentukan Undang-undang No 5 Tahun 1999 yaitu untuk menjaga kepentingan
umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang
kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, mencegah praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, serta menciptakan efektivitas
dan efisiensi dalam kegiatan usaha;
6) Operasionalisasi
dari konsideran dan tujuan tersebut kemudian diuraikan dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 29 Undang-undang No 5 Tahun 1999 yang berisi norma-norma yang
bersifat restriktif terhadap pelaku usaha dalam melakukan kegiatannya
7) Untuk
menjamin efektivitas pelaksanaan suatu undang-undang maka harus terdapat
lembaga yang diberi kewenangan untuk menegakkan norma-norma yang telah
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Hal ini berlaku juga bagi
Undang-undang No 5 Tahun 1999 sebagaimana terlihat dalam Pasal 30 ayat (1)
Undang-undang No 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa untuk mengawasi pelaksanaan
Undang-undang No 5 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
8) Hal
tersebut juga dipertegas melalui Pasal 1 angka 18 Undang-undang No. 5 tahun
1999 yang menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang
dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar
tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
9) Selanjutnya
tugas yang dibebankan kepada Komisi secara detil dijabarkan dalam Pasal 35
Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Untuk dapat melaksanakan tugasnya tersebut
secara efektif, Komisi dibekali dengan kewenangan yang dijabarkan dalam Pasal
36 Undang-undang No 5 Tahun 1999.
10) Pasal
50 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian terhadap jenis
perjanjian atau tindakan tertentu namun sama sekali tidak menyebutkan sektor
tertentu yang dikecualikan;
11) Berdasarkan
seluruh uraian di atas mengenai Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan maksud
pembentukan, tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Komisi, maka sama sekali
tidak terlihat kehendak Undang-undang No. 5 Tahun 1999 untuk mengecualikan
sektor-sektor tertentu dari aplikasi Undangundang No. 5 Tahun 1999, baik secara
tersurat maupun tersirat;
12) Oleh karena itu, kewenangan Komisi dalam
melakukan pengawasan dan penegakan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 berlaku bagi
seluruh pelaku usaha dalam sektor apa pun pelaku usaha tersebut melakukan
kegiatan tanpa terkecuali para pelaku usaha di sektor telekomunikasi;
13) Kedua,
salah satu maksud pembentukan Undang-undang No. 36 Tahun 1999 sebagaimana
terlihat dalam konsideran huruf d Undang-undang No. 36 Tahun 1999 adalah untuk
mengatur dan menata kembali penyelenggaraan telekomunikasi;
14) Salah
satu pengaturan di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 1999 dalam Pasal 10 ayat
(1) dan (2) Undang-undang No. 36 tahun 1999, menyatakan bahwa dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di
antara penyelenggara jasa telekomunikasi, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang dimaksud;
15) Dalam
penjelasan Pasal tersebut disebutkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
tersebut adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya;
16) Bahwa
dengan demikian, norma persaingan di dalam penyelenggaraan telekomunikasi tidak
dapat dilepaskan dari eksistensi dan aplikasi Undangundang No. 5 Tahun 1999;
17) Hal
ini konsisten dengan uraian yang telah dijelaskan oleh Majelis Komisi pada
bagian pertama bahwa tidak terdapat sektor industri tertentu yang dikecualikan
dari pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang dalam hal ini telah
dipertegas kembali melalui Pasal 10 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 yang
merujuk pada Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
18) Penunjukan
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sebagai norma persaingan dalam penyelenggaraan
telekomunikasi tentunya tidak menunjuk hanya pada bagian tertentu di dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999, namun pada keseluruhan ketentuan di dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999, termasuk Bab VI mengenai Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang maksud pembentukan serta tugas dan wewenangnya telah
dijelaskan oleh Majelis Komisi pada bagian pertama;
19) Ketiga,
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (“BRTI”) dibentuk berdasarkan Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor: KM. 31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (KM 31 Tahun 2003) sebagai perkembangan dari
pelaksanaan Pasal 4 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 sebagaimana didalilkan oleh
Telkomsel dan Telkom dalam pendapat atau pembelaannya;
20) Lebih
jauh dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel menyatakan tugas BRTI
sebagaimana dalam Pasal 6 huruf b KM 31 Tahun 2003 adalah:------------ Pengawasan
terhadap penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan penyelenggaraan jasa
telekomunikasi, yaitu : 1) kinerja operasi; 2) persaingan usaha; 3) pengunaan
alat dan perangkat telekomunikasi.”
21) Majelis
Komisi menilai kewenangan yang dimiliki oleh BRTI tersebut tidak bertentangan
dengan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi namun sejalan dan justru
menciptakan konvergensi diantara keduanya. Agar lebih jelasnya, Majelis Komisi
menyatakan bahwa Komisi tidak hanya memiliki tugas untuk mengawasi namun juga
memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan hukum terhadap pelaku usaha yang melanggar
Undang-undang No. 5 Tahun 1999, sedangkan BRTI sebagaimana ketentuan di dalam
KM 31 Tahun 2003 tersebut hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi saja;
22) Pernyataan
Majelis Komisi ini juga didukung dengan fakta adanya kerjasama yang harmonis
antara Komisi dengan BRTI selama ini terkait dengan isu persaingan usaha tidak
sehat dalam sektor telekomunikasi, dan tidak pernah terdapat sengketa mengenai
kewenangan diantara Komisi dan BRTI mengenai pelaksanaan Undang-undang No. 5
Tahun 1999;
23) Berdasarkan
uraian di atas maka Majelis Komisi menilai, KPPU adalah lembaga yang berwenang
untuk melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran ketentuan Undang-undang
No. 5 Tahun 1999 dan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku usaha yang terbukti
melanggar Undang-undang No. 5 Tahun 1999 sesuai dengan maksud pembentukan serta
tugas dan wewenang yang telah ditentukan dalam Undang-undang No 5 Tahun 1999.
Keberadaan BRTI sangat membantu tugas-tugas Komisi khususnya dalam mengawasi
persaingan usaha dalam sektor telekomunikasi dan tidak pernah mengaburkan
wewenang dari masing-masing lembaga dalam hal pelaksanaan Undangundang No. 5
Tahun 1999;
24) Menimbang bahwa berdasarkan
penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan mengenai kewenangan Komisi di
atas, Majelis Komisi kemudian mempertimbangkan dugaan pelanggaran pada perkara
ini sebagai berikut;
4. Pasar
Bersangkutan
1)
Sebelum melakukan penilaian mengenai ada
tidaknya pelanggaran, Majelis Komisi terlebih dahulu menguraikan pembahasan
mengenai pasar bersangkutan dalam perkara ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa
dalam LHPL Tim Pemeriksa pada pokoknya menyatakan dalam melakukan analisis
terjadinya pelanggaran Pasal 5 Undangundang No. 5 Tahun 1999, Tim Pemeriksa
menilai setidak-tidaknya harus terdapat dua unsur yang terpenuhi, yaitu: 1) Unsur
Pelaku Usaha 2) Unsur Perjanjian Harga dengan Pesaing. Sedangkan unsur pasar
bersangkutan adalah unsur tambahan yang tidak mutlak untuk dibuktikan namun
hanya bersifat menjelaskan dari unsur kedua yaitu perjanjian harga dengan
pesaing;
2. Terhadap
pembahasan mengenai pasar bersangkutan di atas, dalam pendapat atau
pembelaannya, Telkomsel, Telkom dan Bakrie pada pokoknya menyatakan keberatan
karena Tim Pemeriksa Lanjutan dalam LHPL tidak mencantumkan pembahasan mengenai
pasar bersangkutan dalam menganalisis dugaan pelanggaran dalam perkara ini;
3. Bahwa dalam pendapat atau pembelaannya
Telkomsel menyatakan Tim Pemeriksa KPPU dalam LHPL No. 26/KPPU-L/2007 halaman
19 butir 71 menyatakan bahwa unsur pasar yang bersangkutan adalah unsur
tambahan yang tidak mutlak untuk dibuktikan. Hal ini merupakan pernyataan yang
keliru secara fundamental. Pernyataan ini tidak sesuai dengan isi Pasal 5
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 dan tidak konsisten dengan putusan-putusan KPPU
dalam perkara-perkara sebelumnya;
4. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya Telkom menyatakan Tim Pemeriksa telah
memaksakan kehendaknya dengan cara mengurangi unsur yang harus
dipenuhi/dibuktikan, karena sesungguhnya unsur pasar bersangkutan memang tidak
terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan untuk PT. Telekomunikasi Indonesia,Tbk;
5. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya Bakrie menyatakan dalam perkara ini KPPU perlu
mendefinisikan mengenai unsur pasar bersangkutan. Karena jasa telekomunikasi
yang ditawarkan Bakrie tidak saling bersubstitusi dengan yang ditawarkan oleh
XL dan Telkomsel, sehingga Bakrie dan Telkomsel serta XL tidak berada pada
pasar bersangkutan yang sama;
2)
Terkait dengan pembahasan mengenai pasar
bersangkutan, Majelis Komisi berpendapat sebagai berikut:
1. Bahwa
unsur pasal dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang didalilkan oleh
Tim Pemeriksa dalam LHPL adalah tepat;
2. Namun
demikian dalam unsur kedua, yaitu perjanjian harga dengan pesaingnya, maka
untuk dapat menentukan bahwa pihak-pihak di dalam perjanjian tersebut adalah
pesaing satu sama lain, maka pihakpihak tersebut harus berada dalam pasar
bersangkutan yang sama;
3. Dengan
demikian untuk dapat membuktikan unsur kedua tersebut, selain harus membuktikan
adanya perjanjian, harus dapat didefinisikan terlebih dulu pasar bersangkutan
sehingga dapat diidentifikasi apakah pihak-pihak di dalam perjanjian tersebut
adalah pesaing yang satu dengan yang lainnya;
4. Untuk
lebih mudahnya, maka unsur kedua seharusnya dipisah antara “perjanjian harga”
dengan “pesaing”, di mana pembuktian unsure pesaing adalah dengan melakukan
analisis terhadap pasar bersangkutan;
5. Dengan
alur logika tersebut, maka pernyataan Tim Pemeriksa dalam LHPL menjadi lebih
akurat, bahwa unsur pasar bersangkutan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun
1999 adalah unsur tambahan, karena pembahasan unsur pasar bersangkutan
bertujuan untuk membuktikan unsur “pesaing” sehingga tidak perlu lagi dilakukan
untuk menghindari redudansi;
3)
Berdasarkan uraian tersebut, Majelis
Komisi melakukan analisis pasar bersangkutan sebagai berikut:
1. Pasar
bersangkutan sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang-undang No. 5 Tahun 1999
adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang dan atau jasa tersebut;
2. Pasar
yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu dalam hukum
persaingan usaha dikenal sebagai pasar geografis. Sedangkan barang dan atau
jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut
dikenal sebagai pasar produk. Karena itu analisis mengenai pasar bersangkutan
dilakukan melalui analisis pasar produk dan pasar geografis;
Pasar
Produk;
Analisis pasar produk pada intinya bertujuan untuk
menentukan jenis barang dan atau jasa yang sejenis atau tidak sejenis tapi
merupakan substitusinya yang saling bersaing satu sama lain. Untuk melakukan
analisis ini maka suatu produk harus ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:
kegunaan, karakteristik, dan harga;
Kegunaan;
1) Short
Messages Service atau SMS yang menjadi objek pada perkara
ini adalah jasa layanan tambahan yang dimiliki oleh semua penyelenggara jasa
telekomunikasi seluler dan Fixed Wireless Access (FWA);
2)
Kegunaan SMS adalah untuk mengirimkan
pesan singkat satu arah dari satu pemilik handset kepada pemilik handset
lainnya. Komunikasi suara (voice) memiliki kegunaan yang berbeda
karena dalam komunikasi suara, terdapat pertukara pesan yang terjadi secara
lansung atau dua arah dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan dalam penggunaan
SMS, pesan yang disampaikan hanya bersifat satu arah. Fitur lain yang pada
umumnya terdapat pada jasa telekomunikasi dan dapat berfungsi identik dengan
SMS antara lain: voice mail, Multimedia Messaging Service (“MMS”)
dan push e-mail, kesemuanya berfungsi untuk menyampaikan pesan singkat
satu arah;
3) Sehingga dari sisi kegunaan, SMS bersubstitusi
dengan voice mail, MMS, dan push e-mail;
Karakteristik;
1) Meskipun
memiliki kegunaan yang sama, terdapat karakteristik yang berbeda secara
signfikan antara SMS dengan fitur lainnya yang memiliki kegunaan yang identik.
Fitur SMS adalah fitur yang dikirim dan diterima berupa pesan teks, sehingga
berbeda dengan voice mail yang dikirim dan diterima sebagai pesan suara.
Pesan SMS disalurkan melalui kanal signaling sedangkan MMS dan push e-mail menggunakan
kanal data. Sebagai akibatnya, fitur SMS hanya dapat mengirim dan menerima
pesan teks, sedangkan MMS memungkinkan untuk pengiriman dan penerimaan gambar,
musik, rekaman suara, animasi, video, dan file-file multimedia lainnya. Sedangkan
push e-mail disamping dapat mencakup pesan-pesan berisi multimedia, juga
dapat melakukan pengiriman dan penerimaan pesan yang lebih luas dari pesan yang
bersifat multimedia, seperti pengiriman dan penerimaan dokumen softcopy dalam
berbagai format;
2) Disamping
itu, pola pentarifan SMS dihitung berdasarkan jumlah pengirimannya tanpa ada
biaya yang dikeluarkan oleh penerima SMS, berbeda dengan voice mail yang
menggunakan pola pentarifan berdasarkan durasi, sedangkan MMS dan push
e-mail menggunakan pola pentarifan berdasarkan jumlah data yang
dipergunakan, sehingga baik pengirim maupun penerima voice mail, MMS,
dan push email juga harus membayar sesuai dengan pola pentarifannya.
Perkecualian berlaku untuk pengguna SMS dari Bakrie yang menerapkan pola harga
berdasarkan jumlah karakter teks yang dikirim yang baru diberlakukan, namun
demikian tidak menghilangkan fakta bahwa hanya pengirim SMS yang membayar jasa
tersebut sedangkan penerima SMS tidak mengeluarkan biaya apa pun sehingga
meskipun terdapat pola pentarifan berbeda yang diterapkan oleh Bakrie, karakter
fitur SMS memiliki perbedaan dengan fitur pengiriman pesan singkat lainnya
sehingga tidak bisa saling mensubstitusi diantaranya;
Harga;
1) Dari
sisi harga, secara umum harga fitur SMS sekali kirim berada pada kisaran yang
jauh lebih murah dibanding dengan voice mail, MMS, dan push e-mail.
Perkecualian berlaku bagi layanan push e-mail, dengan mempertimbangkan size
dari email yang dikirim dan harga data yang diterapkan oleh setiap
operator, maka harga layanan push e-mail dapat bervariasi. Hal ini
berbeda dengan harga SMS yang fix per sekali kirim dengan pengecualian
berlaku bagi fitur SMS yang disediakan oleh Bakrie dengan harga bergantung pada
jumlah karakter yang dipergunakan. Namun secara umum, dari sisi harga, SMS
tidak dapat disubtitusi oleh voice mail, MMS, dan push e-mail;
2) Dengan
demikian, pasar produk pada perkara ini adalah layanan SMS, yang terpisah dari product
market layanan voice, voice mail, MMS, maupun push e-mail;
Pasar
Geografis;
1) Analisis
pasar geografis bertujuan untuk menjelaskan di area mana saja pasar produk yang
telah didefinisikan saling bersaing satu sama lain.
2) Sebagai satu layanan nilai tambah dari
operator seluler maupun FWA, maka keberadaan layanan SMS akan mengikuti
keberadaan dari ketersediaan jaringan operator yang bersangkutan;
3) Berkaitan
dengan jangkauan atau daerah pemasaran, tidak diketemukan adanya hambatan baik
dari sisi teknologi maupun regulasi bagi para operator selular untuk memasarkan
produknya di seluruh wilayah Indonesia selama operator bersangkutan telah
memiliki ketersediaan jaringannya;.
Dengan demikian pasar geografis pada perkara ini
adalah seluruh wilayah Indonesia;
4) Dalam
pendapat atau pembelaannya, Telkomsel, Telkom, dan Bakrie pada pokoknya
menyatakan bahwa terdapat pemisahan pasar bersangkutan antara pasar
telekomunikasi seluler dengan pasar FWA
5) Majelis
Komisi menilai, karena sifat layanan nilai tambahnya yang merupakan layanan
pelengkap dari layanan suara sebagai layanan utama, maka analisis terhadap
pasar produk suara berbeda dengan analisis pasar produk SMS;
6) Sebagai
layanan nilai tambah, SMS otomatis tersedia ketika operator membangun jaringan
untuk menyediakan layanan suara. Oleh karena itu adanya perbedaan kegunaan,
karakteristik, dan harga layanan suara dari operator yang merupakan
penyelenggara telekomunikasi seluler dengan penyelenggara telekomunikasi FWA
tidak berlaku ketika digunakan untuk melakukan analisis terhadap layanan SMS;
7) Majelis
Komisi menilai perbedaan telekomunikasi seluler dengan FWA tidak relevan di
dalam penggunaaan layanan SMS yang disediakan oleh masing-masing operator, baik
seluler maupun FWA. Berdasarkan analisis pasar produk di atas, perbedaan
lisensi operator seluler dengan operator FWA tidak akan mempengaruhi analisis
terhadap kegunaan, karakteristik, maupun harga terhadap layanan SMS;
8) Dengan
demikian, Majelis Komisi menilai bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini
adalah layanan SMS di seluruh wilayah Indonesia, baik yang disediakan
oleh operator seluler maupun operator FWA;
9) Hal
ini menunjukkan setiap operator telepon yang menyediakan layanan SMS bagi
pelanggannya, berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
Aspek
Materiil
1) Tim
Pemeriksa dalam LHPL menyimpulkan adanya pelanggaran terhadap Pasal 5
Undang-undang No. 5 Tahun 1999
2)
Ketentuan Pasal 5 Undang-undang No 5.
Tahun 1999 secara lengkapnya berbunyi sebagai berikut: (1) “Pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi; a. suatu perjanjian yang dibuat
dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan
undang-undang yang berlaku;
3)
Dalam LHPL Tim Pemeriksa menyatakan
bahwa XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart telah melanggar Pasal
5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Pendapat atau pembelaan dari seluruh Terlapor
akan dipertimbangkan bersamaan di dalam analisis pemenuhan unsur yang dilakukan
oleh Majelis Komisi berkut ini;
4)
Majelis Komisi menilai unsur-unsur Pasal
5 Undang-undang No 5 Tahun 1999 yang harus terpenuhi dalam menyatakan ada
tidaknya pelanggaran adalah :
a) Pelaku
Usaha
b) Perjanjian
Penetapan Harga
c) Pesaing
5)
Analisis pemenuhan unsur terhadap setiap
unsur Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 di atas adalah sebagai berikut:
v Pelaku Usaha
Pelaku
usaha sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun
1999 adalah: -“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan
usaha dalam bidang ekonomi”
Sesuai dengan pembahasan mengenai identitas para
Terlapor dalam LHPL dan Identitas Terlapor pada bagian Tentang Hukum di atas,
Majelis Komisi menilai bahwa XL, Telkomsel, Indosat, Telkom, Hutchison, Bakrie,
Mobile-8, dan Smart adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi di wilayah hukum
negara Republik Indonesia sehingga memenuhi definisi pelaku usaha sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
Bahwa tidak terdapat keraguan mengenai fakta para
Terlapor adalah pelaku usaha sebagaimana juga diperlihatkan oleh tidak adanya
pendapat atau pembelaan mengenai hal ini dari para Terlapor mengenai identitas
maupun kegiatan usahanya dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang
diterima oleh Majelis Komisi; Bahwa dengan demikian Majelis Komisi menilai
unsur pelaku usaha terpenuhi;
v Perjanjian Penetapan Harga;
Perjanjian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1
angka 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah: “Suatu perbuatan satu atau
lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha
lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis”
Dalam hukum persaingan, perjanjian tidak tertulis
mengenai harga dapat disimpulkan apabila terpenuhinya dua syarat: 1) adanya
harga yang sama atau paralel 2) adanya komunikasi antar pelaku usaha mengenai
harga tersebut;
Tim Pemeriksa menemukan adanya beberapa perjanjian
tertulis mengenai harga SMS off-net yang ditetapkan oleh operator
sebagai satu kesatuan PKS Interkoneksi sebagaimana terlihat dalam Matrix
Klausula Penetapan Harga SMS dalam PKS Interkoneksi berikut ini:
Matrix Klausula Penetapan Harga SMS
1. Sehingga
secara formal, hal ini sudah termasuk dalam kategori kartel yang dilakukan oleh
XL, Telkomsel, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, Smart, dan NTS;
2. Tim
Pemeriksa menilai perjanjian harga SMS yang dilakukan oleh operator efektif
berlaku hanya bagi harga SMS off-net. Sedangkan Tim Pemeriksa menilai
bahwa sejak tahun 2004 perjanjian yang menetapkan harga minimal SMS on-net tidak
efektif berlaku, meskipun secara formal perjanjian penetapan harga SMS baru
diamandemen pada tahun 2007 setelah terbitnya Surat Edaran ATSI No.
002/ATSI/JSS/VI/2007 tanggal 4 Juni 2007;
3. Tim
Pemeriksa menilai bahwa pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel harga SMS off-net;
4. Berdasarkan
keterangan dari operator-operator new entrant kepada Tim Pemeriksa,
dalam melakukan negosiasi interkoneksi, operator new entrant tidak
memiliki posisi tawar yang cukup untuk dapat memfasilitasi kepentingannya dalam
perjanjian interkoneksi tersebut. Demikian pula ketika operator incumbent memasukkan
klausul harga SMS minimal, operator new entrant tidak berada dalam
posisi untuk menolak klausul tersebut;
5. Berdasarkan keterangan operator incumbent,
klausul penetapan harga minimal tersebut dilakukan guna menjaga tidak
melonjaknya traffic SMS dari operator new entrant kepada operator
incumbent;
6. Tim
Pemeriksa menilai kekhawatiran operator incumbent tidak seharusnya
diantisipasi dengan menggunakan instrument harga karena hal tersebut
mengakibatkan kerugian baik bagi operator new entrant maupun konsumen
calon pengguna jasa SMS. Hal ini juga dibenarkan oleh Saksi Ahli Mas Wigrantoro
yang menyatakan PKS Interkoneksi yang menetapkan harga akhir adalah keliru;
7. Selanjutnya
Tim Pemeriksa melihat tidak terdapat perubahan yang langsung terjadi pasca
amandemen perjanjian harga SMS oleh masing-masing operator, harga SMS pasca
amandemen masih sama dengan harga SMS sebelum ada amandemen. Tim Pemeriksa
menilai terdapat dua kemungkinan yang mendasari hal tersebut terjadi: 1) bahwa
kartel harga SMS masif efektif berlaku 2) harga SMS yang diperjanjikan adalah
harga pada market equilibrium sehingga ada atau tidak ada perjanjian,
harga SMS yang tercipta akan tetap sama;
8. Pasca 1 April 2008, operator-operator
menurunkan harga SMS tanpa ada perubahan biaya internal maupun biaya eksternal
untuk layanan SMS. Oleh karena itu Tim Pemeriksa menilai, bahwa operator bisa
mengenakan harga SMS yang lebih murah kepada konsumen jauh hari sebelum adanya
penurunan harga interkoneksi oleh Pemerintah. Penundaan penurunan harga SMS
tersebut semata-mata terjadi karena perjanjian kartel diantara operator masih
efektif berlaku, sekali pun secara formal sudah diamandemen pada tahun 2007;
9. Pada
periode 2007 – April 2008 dari tiga layanan seluler baru (Hutchison, Smart, dan
NTS-Axis), hanya Smart yang mematuhi perjanjian kartel. Hutchison, meskipun
secara formil menandatangani perjanjian kartel, namun secara materil tidak
pernah melaksanakannya. NTS-Axis meskipun secara formil telah menandatangani
perjanjian kartel sejak tahun 2001, namun karena Axis baru diluncurkan tahun 2008,
pasca pencabutan klausul kartel harga, maka secara materil juga tidak pernah
melaksanakan perjanjian tersebut;
10. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya, XL menyatakan motivasi XL menandatangani PKS
yang mengandung klausula penetapan harga adalah untuk menjaga kestabilan
jaringan, bukan untuk membentuk kartel;
11. Bahwa
meskipun XL menandatangani PKS yang mengandung klausula penetapan harga, hal
itu dilakukan tanpa niat jahat ataupun niat untuk membentuk kartel harga.
Adanya klausula harga semacam itu adalah untuk mencegah terjadinya spamming,
yang tujuan pokoknya adalah menjaga kestabilan jaringan;
12. Bahwa
operator yang oleh Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5
Undang-undang No.5 Tahun 1999, memiliki alasan yang berbeda-beda dalam
menetapkan harga dasar SMS mereka. Oleh karena itu, adalah tidak benar jika
setelah periode amandemen PKS terdapat kartel harga SMS secara material, karena
secara formal maupun material tidak ada kesepakatan apapun di antara para
operator tersebut untuk menentukan harga SMS. Sebaliknya, lewat strategi
promosi masing-masing, para operator ini justru melakukan “perang harga” untuk
menarik konsumen sebanyak-banyaknya lewat program-program promosi yang pada
akhirnya memberikan efective rate yang sangat murah untuk produk voice
maupun SMS;
13. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya, Telkomsel menyatakan klausul SMS interkoneksi
(off-net) bukan perwujudan niat penetapan harga tetapi merupakan jalan
keluar yang dipilih akibat tidak adanya ketentuan hokum mengenai SMS
interkoneksi sehingga Telkomsel perlu untuk melakukan self-regulatory;
14. Untuk
mengatasi atau mencegah permasalahan SMS Broadcasting, SMS Spamming dan
tindakan tele-marketing, Telkomsel menggunakan jalan keluar melalui
klausul SMS interkoneksi dalam PKS Interkoneksinya dengan beberapa operator
telekomunikasi. Pilihan ini sebenarnya lebih merupakan niat baik atau wujud
itikad baik Telkomsel agar terjadi suatu kegiatan interkoneksi telekomunikasi
yang benar, fair, seimbang dan yang tidak merugikan salah satu operator
telekomunikasi yang ada. Pilihan tersebut dilakukan bukan dengan niat atau
rencana untuk melakukan penetapan harga untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar besarnya. Telkomsel sama sekali tidak mempunyai niat atau motivasi yang
melangar hukum;
15. Klausul
SMS interkoneksi dalam PKS Interkoneksi antara Telkomsel dengan 4 (empat)
operator telekomunikasi bukan perjanjian penetapan harga, sehingga unsur Pasal
5 Undang-undangNo. 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi. Dengan demikian,Telkomsel
tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 5Undang-undang No. 5 Tahun 1999;
16. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya, Telkommenyatakan maksud utama dan fokus dari
PerjanjianInterkoneksi adalah menyepakati ketentuan-ketentuan teknisagar
terjadi interkoneksi di antara jaringan telekomunikasidua pihak dan mengatur
agar seluruh pelanggan dari masingmasingpihak dapat melakukan panggilan lintas
operator,termasuk didalamnya panggilan lintas operator untuk SMSFlexi menuju
SMS Seluler secara timbal balik;
17. Bahwa
Perjanjian Interkoneksi yang memuat klausula hargaSMS yang tidak boleh lebih
rendah dari harga retailsebagaimana dimaksud dalam LHPL butir 61
adalahAmandemen Perjanjian Interkoneksi yang dibuat tahun 2002dan berlaku
hingga tahun 2006 yang kemudian diubahdengan Perjanjian Interkoneksi yang
dibuat pada akhir tahun2006 yang berlaku mulai Januari 2007;
18. Dicantumkannya
klausula harga SMS yang tidak boleh lebihrendah dari harga retail disepakati
oleh PT TelekomunikasiIndonesia, Tbk dan PT Telkomsel dalam rangka menjagaagar
tidak terjadi spamming trafik SMS di antara para pihaksehubungan dengan
diberlakukannya pola SKA (SenderKeeps All), yaitu pola pembayaran biaya
interkoneksi dimanapihak operator sisi penerima SMS tidak menerimapembayaran
apapun dari pihak operator sisi pengirim. Tidakada niat sedikitpun di antara
para pihak untuk membentukkartel harga baik secara formal maupun
materialsebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-undang No. 5Tahun 1999;
19. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya, Bakriemenyatakan PKS Interkoneksi antara
Bakrie dengan semuaoperator bukan merupakan suatu pembentukan kartel hargaSMS
mengingat Bakrie dan operator lainnya tetap dapatmenetapkan sendiri harga
retail SMS kepada masing-masingpelanggan;
20. Bakrie
tidak pernah sekalipun berkeinginan untuk membuatperjanjian yang dapat dikategorikan
sebagai praktekpenetapan harga yang dapat merestriksi persaingan
dalampenyelenggaraan jasa telekomunikasi nirkabel di Indonesia.Ketentuan yang
mengatur harga SMS off-net minimumsebesar Rp 250/SMS sejak awal sudah
ditolak oleh Bakriekarena ketentuan tersebut dapat merugikan
perkembangankegiatan usaha Bakrie. Namun, dengan posisi sebagaioperator baru
dan jumlah pelanggan yang sangat kecil, makamau tak mau Bakrie harus
menyepakati juga ketentuantersebut demi menjaga terselenggaranya kegiatan
usahaBakrie;
21. Penetapan
harga minimum SMS hanya terdapat dalamPerjanjian Interkoneksi antara Bakrie dan
XL sertaTelkomsel, dan tidak terdapat pada perjanjian interkoneksidengan
Indosat, Telkom, Hutchison, NTS, Mobile-8, SmartTelecom, dan operator lainnya.
Dengan tidak adanyapenetapan harga minimum SMS diantara Bakrie denganIndosat,
Telkom, Hutchinson, NTS, Mobile-8, SmartTelecom, dan operator lainnya, maka
Bakrie dan operatoroperatortersebut bebas untuk menetapkan harga retail
SMSkepada pelanggannya masing-masing. Hal ini membuktikanbahwa tidak ada
perjanjian di antara seluruh operator yangmengatur tentang penetapan harga SMS,
ataupun tidak adakeseragaman/kesamaan ketentuan (penetapan harga)
dalammasing-masing perjanjian interkoneksi antara setiap operator dengan
operator lainnya;
22. Dengan
demikian keseluruhan Perjanjian Interkoneksi antaraBakrie dan setiap operator
bukan atau tidak merupakan suatupembentukan kartel SMS, mengingat Bakrie dan
operatorlainnya tetap dapat menetapkan sendiri harga retail SMS199kepadamasing-masing
pelanggannya sehingga pasarmemiliki banyak pilihan untuk menentukan produk
jasatelekomunikasi yang tersedia atau tidak terdapatpengontrolan/pengaturan
harga di pasar;
23. Smartmenyatakan
Perjanjian Kerjasama Interkoneksi yangdilakukan oleh Smart Bahwa dalam pendapat
atau pembelaannya, Mobile-8 menyatakan Mobile-8 merupakan new entrant yang
tidak memiliki market power ataupun menguasai essential facility sehingga
berada pada posisi yang tidak dapat dan mampu mengendalikan berbagai negosiasi
terkait interkoneksi termasuk ketentuan harga SMS off-net minimum;
24. Bahwa
ketentuan harga SMS minimum yang terdapat dalam PKS Interkoneksi antara
Mobile-8 dengan XL tidak berasal atau setidaknya bukan merupakan inisiatif
Mobile-8;
25. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannyadengan XL dan Telkomsel didasarioleh posisi
Smart sebagai operator baru (new entrant) dipasar telekomunikasi
Indonesia yang mau tidak mau harusmelakukan kerjasama dengan operator lain yang
terlebihdahulu ada (incumbent) yang relatif telah menguasai pangsapasar
untuk memperluas jaringan dan memberikan layananterbaik kepada pelanggan
sehingga dapat menjadi alternative bagi masyarakat pada umumnya dan pelanggan
padakhususnya dalam memanfaatkan teknologi komunikasi;
26. Pertimbangan
XL dan Telkomsel mewajibkan Smart untukmenyetujui klausula yang diduga
melanggar Pasal 5 UndangundangNo. 5 Tahun 1999 tersebut adalah XL dan
Telkomselberusaha mencegah dan/atau menghindari terjadinya alirantrafik SMS
yang tidak seimbang yaitu aliran trafik SMS darioperator yang menetapkan harga
SMS yang lebih murah kearah sebaliknya, mengingat kesepakatan harga SMS
yangmasih SKA (Sender Keeps All);
27. Smart
telah melakukan perubahan atau AmandemenPerjanjian yang berisi tentang
dihapuskannya klausul tentangpenetapan harga SMS/kartel harga dengan
ditandatanganinya200perjanjian Amandemen Pertama Nomor Exelcomindo :
1321A/XXXII.5.4520/XL/VI/2007 dan Nomor Primasel :AMD.122/LO-BOD/IPM/RAI/VI/2007
dan AmandemenPertama Nomor Telkomsel : ADD.1246/LG.05/PD-00/VI/2007 dan Nomor
Primasel : AMD.123/LOBOD/IPM/RAI/VI/2007 tertanggal 25 Juni 2007, yang
berartitidak ada lagi perjanjian kartel harga yang dilakukan olehSmart dengan
operator lain, dimana hal ini diperkuat olehTim Pemeriksa pada poin 108 yang
menyatakan secaraformal kartel harga SMS sudah tidak berlaku sejak tahun2007;
28. Bahwa
dalam pendapat atau pembelaannya, NTS menyatakantidak pernah berinisiatif sejak
awal dalam suatu kesepakatanuntuk menetapkan harga SMS atau kartel SMS, karena
hargaSMS yang diterapkan oleh NTS sebesar Rp.60/SMS beradadi luar interval
Rp.250,- sampai Rp.350,- yang oleh KPPUdiduga sebagai penetapan harga (kartel
SMS);
29. Kalaupun
NTS dianggap pernah menandatangani perjanjianyang mengandung klausul price
fixing, hal tersebut semata-matakarena business necessity dan alasan
teknis agar dapatsegera memperoleh interkoneksi dengan para incumbentoperators.
Namun demikian, pada saat tahapan pemeriksaanlanjutan terhadap NTS oleh KPPU
klausul yang mengandungunsur price fixing tersebut sudah dihapus lewat
amandemenperjanjian interkoneksi;
30. Terhadap
unsur perjanjian harga sebagaimana digambarkanmelalui Matrix Klausula
Penetapan Harga SMS di atas,Majelis Komisi menilai Tim Pemeriksa Lanjutan
telahmembuat analisis yang benar bahwa terdapat perjanjian yangmengandung
klausul penetapan harga SMS antara XL,Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan
Smart meskipunkemudian perjanjian tersebut telah diamandemen setelahterbitnya
Surat Edaran ATSI No. 002/ATSI/JSS/VI/2007tanggal 4 Juni 2007;
31. Majelis
Komisi menilai bahwa motif XL dan Telkomselmencantumkan klausula harga dalam
PKS Interkoneksiadalah untuk menghindari spamming yang dilakukan
olehoperator new entrant, bukan untuk membentuk suatu kartel.Hal ini dilakukan
karena Pemerintah tidak mengaturmengenai penghitungan harga SMS, sehingga
Telkomselperlu untuk melakukan self-regulatory. Namun MajelisKomisi
menilai tidak seharusnya kekhawatiran XL danTelkomsel tersebut dituangkan dalam
bentuk perjanjian yangmencantumkan klausula penetapan harga;
32. Majelis
Komisi menilai bahwa Tim Pemeriksa Lanjutan telahbenar dalam analisisnya
mengenai Bakrie, Mobile-8, danSmart yang menyatakan bahwa operator new
entrant tidakmempunyai posisi tawar atau berada dalam posisi yang lemahpada
saat penyusunan PKS Interkoneksi sehingga harusmematuhi apa yang telah
ditetapkan oleh operator incumbent;
33. Bahwa
meskipun perjanjian yang mencantumkan klausulpenetapan tersebut telah diamandemen
sehingga secaraformil sudah tidak ada lagi PKS Interkoneksi yangmencantumkan
klausula penetapan harga, namun MajelisKomisi menilai bahwa secara materil,
kartel/penetapan hargatersebut masih efektif berlaku. Hal ini terbukti
daripenurunan harga SMS baru terjadi setelah Pemerintahmelalui Ditjen Postel
mengumumkan penurunan hargainterkoneksi pada 1 April 2008;
34. Bahwa
dengan demikian, Majelis Komisi menilai TimPemeriksa Lanjutan telah tepat dalam
hal menyatakan bahwatelah terjadi kartel harga SMS off-net pada periode
2004-2007 yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie,dan Mobile-8, dan
secara materiil kartel tersebut masihefektif sampai tanggal 1 April 2008.
Sedangkan Smart baruterlibat dalam kartel harga SMS ini pada saat melakukancommercial
launching tanggal 3 September 2007;
35. Selanjutnya
Majelis Komisi menambahkan, bahwa posisi darimasing-masing operator di pasar
tidak bisa dilepaskan danakan berpengaruh terhadap proses negosiasi yang
melahirkanperjanjian interkoneksi. Sebagaimana telah diungkapkan olehTim
Pemeriksa dan operator new entrant dalam pendapatatau pembelaannya,
operator new entrant berada dalam posisitawar yang lemah sehingga harus
mengikuti klausula yangditetapkan oleh operator incumbent yang dalam hal
ini adalahharga minimum SMS;
36. Dengan
kata lain, pembentukan harga minimal dalam layananSMS off-net diciptakan
oleh operator incumbent, dalam halini, XL dan Telkomsel, tanpa ada
pilihan lain kecuali diturutioleh operator new entrant;
37. Terlepas
dari motif operator incumbent dan posisi yanglemah dari operator new
entrant, secara formal maupunmateril, perjanjian harga telah dibentuk oleh
para operatorpenyedia layanan SMS sebagaimana digambarkan dalamMatrix
Klausula Penetapan Harga SMS, dalam kurunwaktu 2004 sampai dengan April 2008;
38. Dengan
demikian unsur perjanjian penetapan harga telahterpenuhi;
v Pesaing;
Sesuai
dengan definisi pasar bersangkutan yang telahditetapkan oleh Majelis Komisi di
atas, yaitu layanan SMSdi seluruh wilayah Indonesia, maka Majelis
Komisimengidentifikasi pelaku usaha yang berada pada pasarbersangkutan tersebut
sebagai berikut:
1. XL;
2. Telkomsel;
3. Indosat;
4. Telkom;
5. Hutchison;
6. Bakrie;
7. Mobile-8;
8. Smart;
9. NTS;
10. Sampoerna
Telecom Indonesia;
Berdasarkan
uraian pada unsur perjanjian penetapan harga diatas, diketahui bahwa terdapat
perjanjian harga secara materilyang dilakukan oleh :XL;Telkomsel; Telkom; Bakrie;Mobile-8;Smart;
beradapada pasar bersangkutan yang sama sebagaimana telahdiidentifikasi oleh
Majelis Komisi sebelumnya, sehinggamenunjukkan operator yang satu bersaing
dengan operatoryang lainnya Dengan
demikian unsur pesaing telah terpenuhi;
v Dampak;
Sebelum
sampai pada diktum putusan, Majelis Komisimempertimbangkan dampak yang terjadi
di pasar bersangkutansebagai akibat adanya kartel harga SMS yang dilakukan oleh
operator sebagai berikut;
1. Tim
Pemeriksa dalam LHPL menyebutkan bahwa kartel yang terjadimerugikan operator new
entrant dan konsumen, namun tidakmengelaborasi lebih dalam mengenai
perhitungan kerugian yangditimbulkan akibat kartel tersebut;
2. Dalam
pendapat atau pembelaannya, XL menyatakan hasil penelitianOVUM mengenai harga
interkoneksi tidak dapat diterapkan begitusaja untuk menentukan harga SMS,
karena OVUM belummemperhitungkan parameter-parameter biaya lainnya;
3. XL
memohon dengan hormat kepada Majelis KPPU untukmenghindari timbulnya komplikasi
atau masalah baru yang dapatmembebani dan mengganggu kegiatan operasional
operator berupatimbulnya vexatious litigation (gugatan yang bersifat
mengganggu),dengan tidak mengkaitkan masalah pelanggaran Pasal 5 Undang-undangNo.
5 Tahun 1999 yang sifatnya tidak disengaja tersebutdengan consumer loss (kerugian
konsumen);
4. Alasan
XL mengajukan permohonan ini adalah didasarkan pada faktabahwa: (i) harga SMS
yang diterapkan oleh XL adalah harga yangwajar dan tidak eksesif, dan hal ini
didukung oleh penelitian ilmiahyang dilakukan oleh Tim ITB; (ii) konsumen
pengguna produk XLmenikmati harga efektif yang sesuai dengan kebutuhan
merekamasing-masing lewat program promosi yang dijalankan oleh XL; dan(iii)
saat ini tidak ada parameter yang obyektif untuk mengukur wajartidak wajarnya
suatu harga SMS, mengingat belum ada peraturanhukum yang mengatur mengenai
harga SMS ini;
5. XL
tidak mendapatkan keuntungan yang “eksesif” dengan strukturharga SMS maupun
voice yang ditetapkan untuk pelanggannya. Olehkarena itu, logikanya konsumen
juga tidak menderita kerugian akibatstruktur harga XL tersebut. Harga yang
ditetapkan oleh XL adalahharga yang wajar dan sesuai dengan kondisi obyektif
yang berlaku untuk XL;
6. Dalam
pendapat atau pembelaannya, Telkomsel menyatakanpenerimaan pendapatan SMS off-net
rata-rata hanya sebesar 16% daritotal pendapatan SMS yang diperoleh
Telkomsel, sedangkan 84%pendapatan berasal dari harga SMS on-net;
7. Dalam
pendapat atau pembelaannya, Bakrie menyatakan tidak terdapatkeuntungan berlebih
(Excessive) dari layanan SMS;
8. Penerapan
harga SMS off-net sebesar Rp 250/SMS, yang merupakanbatas minimum harga
SMS yang diharuskan oleh Telkomsel dan XLuntuk diterapkan oleh Bakrie melalui Perjanjian
Interkoneksi, samasekali tidak memberikan keuntungan yang berlebihan,
melainkanhanya memberikan keuntungan yang sewajarnya yang merefleksikankendala
struktur biaya yang dihadapi oleh Bakrie;
9. Dalam
pendapat atau pembelaannya, Mobile-8 menyatakanperhitungan OVUM tidak
mencerminkan biaya SMS Mobile-8. Hasilperhitungan OVUM dengan metode top-down
LRIC terhadap biayaSMS Mobile-8 adalah Rp 208, belum termasuk biaya promosi
danlain-lain sehingga harga dasar SMS Mobile-8 Rp 250 adalah hargayang wajar
bagi Mobile-8; Mobile-8 tidak
mengakumulasi keuntungan yang eksesif sebagaimanaterlihat dalam ROE yang rendah
sejak tahun 2005;
10. Majelis
Komisi menilai bahwa kartel yang terjadi tidak dapatmenghilangkan secara
faktual kerugian yang nyata bagi konsumenpada pasar bersangkutan;
11. Kerugian
konsumen tersebut berupa (i) hilangnya kesempatankonsumen untuk memperoleh
harga SMS yang lebih rendah, (ii)hilangnya kesempatan konsumen untuk
menggunakan layanan SMSyang lebih banyak pada harga yang sama, (iii) kerugian intangiblekonsumen
lainnya, (iv) serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen,selama kurun waktu
2004 sampai dengan April 2008;
12. Majelis
Komisi menjelaskan bahwa kerugian yang diderita konsumendisebabkan oleh
perilaku operator dalam bentuk kartel harga dan tidakterkait dengan perhitungan
keuntungan yang dinikmati oleh operatorbersangkutan. Sehingga argumen tidak
adanya kerugian konsumenkarena tidak ada keuntungan eksesif yang didalilkan
oleh XL, Bakrie,dan Mobile-8 adalah tidak relevan;
13. Perhitungan
aktual mengenai kerugian-kerugian konsumen tersebut diatas memerlukan analisis
ekonomi yang mendalam dengan didukungoleh data yang memadai. Dalam hal ini LHPL
hanya menyampaikanperkiraan biaya SMS berdasarkan penelitian harga interkoneksi
yangdilakukan oleh OVUM serta formulasi perhitungan biaya SMS oleh BRTI;
14. Majelis
Komisi menegaskan bahwa ada tidaknya kerugian konsumenbukan merupakan unsur
pembuktian ada tidaknya suatu kartelsehingga tanpa dibuktikan adanya dampak
kerugian konsumensekalipun, kartel tetap merupakan tindakan anti persaingan;
15. Meskipun
demikian Majelis Komisi memandang perlu untukmemberikan gambaran mengenai
kerugian konsumen sebagai akibatdari perilaku kartel tersebut sebagai berikut:
16. Berdasarkan
laporan keuangan dari 6 (enam) Terlapor, yaitu XL,Telkomsel, Telkom, Bakrie,
Mobile-8, dan Smart yang dimiliki olehMajelis Komisi diperoleh total pendapatan
operator-operator tesebutsejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 adalah
sebesarRp 133.885.000.000.000 (seratus tiga puluh tiga trilyun delapan ratusdelapan
puluh lima miliar rupiah) dengan perincian sebagai berikut: -----206
Tabel.1.
Pendapatan Operator Pelaku Kartel (dalam miliar rupiah)
17. Berdasarkan
data yang disampaikan oleh para Terlapor, MajelisKomisi menggunakan patokan
terendah penerimaan SMS off-netsebesar 4,8% yang merupakan 16% dari
pendapatan SMS Telkomseldimana penerimaan SMS adalah 30% dari total pendapatan
pada tahun
Dari
semua kerugian yang diderita oleh konsumen, Majelis Komisimemfokuskan pada
perhitungan selisih antara penerimaan SMS off-netpada harga kartel SMS off-net
dengan harga SMS off-net pada pasarkompetitif selama periode kartel
(tahun 2004 sampai dengan tahun2007);
18. Majelis
Komisi menilai patokan harga SMS off-net yang kompetitifdicerminkan dari
besaran harga yang semakin mendekati biayalayanan SMS. Dalam hal ini Majelis
Komisi menggunakan tariff interkoneksi originasi (Rp 38) dan terminasi (Rp 38)
hasil perhitunganOVUM, ditambah dengan biaya Retail Service Activities Cost (RSAC)sebesar
40% dari biaya interkoneksi dan margin keuntungan sebesar10% dari biaya
interkoneksi yang merupakan pendekatan yangdisampaikan oleh pemerintah.
Berdasarkan perhitungan tersebut makaperkiraan harga kompetitif layanan SMS off-net
adalah Rp 114 (seratus empat belas rupiah);
19. Dariperkiraan
harga kompetitif layanan SMS off-net adalah Rp 114 (seratusempat belas
rupiah);
20. Dari
kisaran harga kartel SMS off-net antara Rp 250 – Rp 350, MajelisKomisi
menggunakan harga kartel terendah sebesar Rp 250 sebagaipatokan dalam
penghitungan kerugian konsumen;
21. Dengan
menggunakan selisih antara pendapatan pada harga karteldengan pendapatan pada
harga kompetitif SMS off-net dari keenamoperator, maka diperoleh
kerugian konsumen sebesarRp 2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua
puluh tujuhmiliar tujuh ratus juta rupiah).
22. Menimbang
bahwa berdasarkan Pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun1999 kegiatan Terlapor
tidak termasuk dalam kegiatan yang dikecualikan;
Kesimpulan
1. Menimbang
bahwa berdasarkan pertimbangan dan uraian di atas, MajelisKomisi sampai pada
kesimpulan sebagai berikut:
2.
Bahwa XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, dan
Mobile-8 telahmelakukan kartel harga SMS off-net pada range Rp 250 – Rp
350 padaperiode 2004 sampai dengan April 2008;
3.
Bahwa Smart telah mengikuti kartel harga
SMS tersebut pada saatcommercial launching yaitu tanggal 3 September
2007;
4.
Bahwa Indosat, Hutchison dan NTS tidak
terbukti melakukan kartelharga SMS off-net
5.
Bahwa sebagai akibat kartel yang
dilakukan tersebut, terdapat kerugiankonsumen setidak-tidaknya sebesar Rp
2.827.700.000.000 (dua trilyundelapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus
juta rupiah);
6.
Menimbang bahwa Majelis Komisi tidak
berada pada posisi yang berwenang untukmenjatuhkan sanksi ganti rugi untuk
konsumen;
7.
Menimbang bahwa perilaku kartel yang
dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom,Bakrie, Mobile-8, dan Smart merupakan
pelanggaran berat terhadap persainganyang sehat;
8.
Menimbang terhadap pelanggaran berat
tersebut, Majelis Komisi memandang perluuntuk menjatuhkan denda kepada pelaku
kartel tersebut;
9.
Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan
denda, Majelis Komisimempertimbangkan hal-hal yang meringankan masing-masing
Terlapor sebagaiberikut:
1)
Bakrie;
Bahwa Bakrie pernah menetapkan harga SMS dibawah
hargaperjanjian namun mendapatkan teguran untuk menaikkannya lagi;
Bahwa Bakrie sebagai new entrant berada dalam
posisi tawar yanglemah;
Bahwa Bakrie telah menurunkan dan mengubah pola
penetapan hargaSMS;
2)
Mobile-8;
Bahwa Mobile-8 sebagai new entrant berada
dalam posisi tawar yang lemah;
3)
Smart;
Bahwa Smart
sebagai new entrant berada dalam posisi tawar yang lemah;
Bahwa periode keikutsertaan Smart dalam perjanjian
harga SMSadalah yang paling pendek dibanding operator lain;
Menimbang
bahwa sebelum menjatuhkan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan beberapa Terlapor sebagai berikut: ---
1) XL;
Bahwa XL adalah operator yang aktif untuk
mendisiplinkan anggotakartel yang berupaya untuk memberikan harga SMS off net
dibawahharga perjanjian kartel
Bahwa XL adalah operator yang memiliki klausul
pernjanjian hargaSMS off net terbanyak dibanding operator lainnya;
2)
Telkomsel;
Bahwa Telkomsel dengan kekuatan pasar yang besar
adalah pelakuusaha yang paling diuntungkan melalui kartel harga SMS;-
Bahwa Telkomsel tidak kooperatif dalam menyediakan
data daninformasi yang diperlukan
3)
Telkom;
Bahwa Telkom tidak kooperatif dalam menyediakan data
daninformasi yang diperlukan;
4)
Menimbang berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Komisimenetapkan denda untuk
masing-masing operator dengan memperhitungkan efekpenjera, keaktifan operator
dalam mendisiplinkan anggota kartel lainnya, jumlahklausul penetapan harga
dalam PKS Interkoneksi, pangsa pasar diantara anggotakartel, kooperatif
tidaknya Terlapor dalam pemeriksaan, posisi tawar operator newentrant terhadap
operator incumbent, adalah sebagai berikut:
a) XL
sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah);
b) Telkomsel
sebesar Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah);
c) Telkom
sebesar Rp 18.000.000.000 (delapan belas miliar delapan ratus tujuhpuluh juta
rupiah);
d) Bakrie
sebesar Rp 4.000.000.000 (empat miliar rupiah);
e) Mobile-8
sebesar Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah);
f) Smart
tidak dikenakan denda karena Smart merupakan new entrant yangterakhir
masuk ke pasar sehingga memiliki posisi tawar yang paling lemah; ---
5)
Menimbang bahwa sebelum memutuskan
perkara ini, Majelis Komisimempertimbangkan hal-hal sebagai berikut
a) Bahwa
sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur polaataupun
formulasi perhitungan harga SMS dan pola interkoneksi SMS gunamencegah beban traffic
yang tidak seimbang diantara para operator;
b) Atas
kondisi tersebut Telkomsel sebagai operator dengan pangsa pasarterbesar
berinisiatif melakukan tindakan self-regulatory yang kemudian
jugadiikuti oleh XL namun bertentangan dengan Undang-undang No 5 Tahun 1999;
c) Tindakan
Telkomsel dan XL tersebut dilekatkan sebagai bagian dariperjanjian interkoneksi
antar operator, sehingga operator-operator new entranttidak memiliki
pilihan lain kecuali mengikuti persyaratan harga minimal SMS tersebut;
d) Meskipun
dalam posisi tawar yang lemah, operator new entrant tetap
memilikikewajiban untuk selalu mengikuti peraturan perundang-undangan
yangberlaku, dalam hal ini Undang-undang No 5 Tahun 1999, sehingga posisitawar
yang lemah tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas tindakan yang
melanggar hukum;
6)
Menimbang bahwa sebagaimana tugas Komisi
yang dimaksud dalam Pasal 35 hurufe Undang-undang No. 5 Tahun 1999, Majelis
Komisi merekomendasikan kepadaKomisi untuk memberikan saran dan pertimbangan
kepada Pemerintah dan pihakterkait untuk segera menyusun peraturan mengenai
interkoneksi SMS yang tidak merugikan konsumen;
7) Menimbang
bahwa berdasarkan fakta dan kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43
ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
3.3.Putusan
Akhir Kppu
MajelisKomisi:
Memutuskan sebagai berikut :
1.
Menyatakan
bahwa Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor II:PT Telekomunikasi
Selular, Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.,Terlapor VI: PT Bakrie
Telecom, Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk.,Terlapor VIII: PT Smart
Telecom terbukti secara sah dan meyakinkanmelanggar Pasal 5 Undang-undang No. 5
Tahun 1999;
2.
Menyatakan
bahwa Terlapor III: PT Indosat, Tbk, Terlapor V: PT HutchisonCP
Telecommunication, Terlapor IX: PT Natrindo Telepon Seluler tidakterbukti
melanggar Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun 1999;
3.
Menghukum Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama,
Tbk. dan Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular masing-masing membayar denda
sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor
keKas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidangpersaingan
usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal SatuanKerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengankode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di BidangPersaingan Usaha)
4.
Menghukum
Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Membayardenda sebesar Rp
18.000.000.000,00 miliar (delapan belas miliar rupiah) yangharus disetor ke Kas
Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggarandi bidang persaingan usaha
Departemen Perdagangan Sekretariat JenderalSatuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintahdengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di BidangPersaingan Usaha);
5.
Menghukum
Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, membayar denda sebesarRp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negarasebagai setoran
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usahaDepartemen Perdagangan
Sekretariat Jenderal Satuan Kerja KomisiPengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kodepenerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang
PersainganUsaha);
6.
Menghukum
Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk. membayar dendasebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke KasNegara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persainganusaha Departemen
Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja KomisiPengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kodepenerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang PersainganUsaha);
Demikian
putusan ini ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang Majelis Komisipada hari Selasa,
tanggal 17 Juni 2008 dan dibacakan di muka persidangan yangdinyatakan
terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 18 Juni 2008 yang sama
olehMajelis Komisi yang terdiri dari Ir. Dedie S. Martadisastra, S.E., M.M.
sebagai KetuaMajelis, Erwin Syahril, S.H. dan Ir. M. Nawir Messi, M.Sc.
masing-masing sebagaiAnggota Majelis, dengan dibantu oleh Dinni Melanie, S.H.
sebagai Panitera.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hukum Persaingan
Usaha Yang Dilanggar Dalam Perkara
Tersebut Adalah:
Hukum Persaingan Usaha dalam perkara
tersebut diatas adalah Kartel. Menurut pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 berbunyi sebagai berikut :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan
pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.
Unsur-Unsur Kartel antara lain
:
1. Unsur
Pelaku Usaha,
Menurut pasal 5 pelaku usaha adalah
setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
republic Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggrakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.Dalam kartel,
pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian ini harus lebih dari dua pelaku
usaha. Agar kartel sukses, kartel membutuhkan keterlibatan sebagian besar
pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan.
2. Unsur
Perjanjian
Perjanjian Menurut Pasal 1 Angka 7
Adalah Suatu Perbuatan Satu Atau Lebih Pelaku Usaha Untuk Mengikatkan Diri
Terhadap Satu Atau Lebih Usaha Lain Dengan Nama Apapun, Baik Tertulis Maupun Tidak
Tertulis;
3. Unsur
Pelaku Usaha Pesaingnya
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha
lain yang berada didalam satu pasar bersangkutan.
4. Unsur
Bermaksud Mempengaruhi Harga
Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11
bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk mempengaruhi harga.Untuk mencapai tujuan
tersebut anggota kartel setuju mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang atau jasa.
5. Unsur
Mengatur Produksi atau Pemasaran
Mengatur produksi artinya adalah
menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara keseluruhan maupun bagi
setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari kapasitas
produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang bersangkutan.
sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau
wilayah di mana para anggota menjual produksinya.
6. Unsur
Barang
Barang menurut pasal 1 angka 6 adalah
setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha.
7. Unsur
Jasa
Jasa menurut pasal 1 angka 17 adalah
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
8. Unsur
Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli
Praktek Monopoli menurut pasal 1 angka 2
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat. Dengan kertel maka produksi dan pemasaran atas
barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena tujuan akhir
dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel,
maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum.
9. Unsur
Dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa
persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan
dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para
pelaku usaha.Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk
kepentingan para anggotanya saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini
dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur.Dalam hal ini misalnya dengan
mengurangi produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha,
misalnya dengan penetapan harga atau pembagian wilayah.
4.2.
Unsur-Unsur Kartel Yang Terpenuhi Dalam Perkara Tersebut
Antara Lain:
Majelis
Komisi dalam penilaiannya dalam kasus tersebut menyatakan bahwa unsur-unsur
yang termasuk dalam kartel antara lain sebagai dimaksud dalam Pasal 5
Undang-undang No 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1) Pelaku
Usaha
Pelaku usaha
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 5 Tahun 1999
adalah:
“Setiap
orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi”
Sesuai
dengan pembahasan mengenai identitas para Terlapor dalam LHPL dan Identitas
Terlapor pada bagian Tentang Hukum di atas, Majelis Komisi menilai bahwa XL,
Telkomsel, Indosat, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8, dan Smart adalah badan
usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi di wilayah hukum negara Republik Indonesia sehingga
memenuhi definisi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang-undang No. 5 Tahun 1999.
Bahwa
tidak terdapat keraguan mengenai fakta para Terlapor adalah pelaku usaha
sebagaimana juga diperlihatkan oleh tidak adanya pendapat atau pembelaan
mengenai hal ini dari para Terlapor mengenai identitas maupun kegiatan usahanya
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang diterima oleh Majelis
Komisi; Bahwa dengan demikian Majelis
Komisi menilai unsur pelaku usaha terpenuhi;
2) Perjanjian
Penetapan Harga;
Perjanjian sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 adalah:
“Suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu
atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis”
Dalam hukum persaingan, perjanjian
tidak tertulis mengenai harga dapat disimpulkan apabila terpenuhinya dua
syarat:
a) adanya
harga yang sama atau paralel
b) adanya
komunikasi antar pelaku usaha mengenai harga tersebut;
Tim
Pemeriksa menemukan adanya beberapa perjanjian tertulis mengenai harga SMS off-net
yang ditetapkan oleh operator sebagai satu kesatuan PKS Interkoneksi
sebagaimana terlihat dalam Matrix Klausula Penetapan Harga SMS dalam PKS
Interkoneksi: Sehingga secara formal, hal ini sudah termasuk dalam kategori
kartel yang dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Hutchison, Bakrie, Mobile-8,
Smart, dan NTS; Tim Pemeriksa menilai
perjanjian harga SMS yang dilakukan oleh operator efektif berlaku hanya bagi
harga SMS off-net. Sedangkan Tim Pemeriksa menilai bahwa sejak tahun
2004 perjanjian yang menetapkan harga minimal SMS on-net tidak efektif
berlaku, meskipun secara formal perjanjian penetapan harga SMS baru diamandemen
pada tahun 2007 setelah terbitnya Surat Edaran ATSI No. 002/ATSI/JSS/VI/2007
tanggal 4 Juni 2007;
Tim
Pemeriksa menilai bahwa pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel harga SMS off-net;
Berdasarkan keterangan dari operator-operator new entrant kepada Tim
Pemeriksa, dalam melakukan negosiasi interkoneksi, operator new entrant tidak
memiliki posisi tawar yang cukup untuk dapat memfasilitasi kepentingannya dalam
perjanjian interkoneksi tersebut. Demikian pula ketika operator incumbent memasukkan
klausul harga SMS minimal, operator new entrant tidak berada dalam
posisi untuk menolak klausul tersebut;
3) Pesaing;
Sesuai
dengan definisi pasar bersangkutan yang telah ditetapkan oleh Majelis Komisi di
atas, yaitu layanan SMS di seluruh wilayah Indonesia, maka Majelis
Komisi mengidentifikasi pelaku usaha yang berada pada pasar bersangkutan
tersebut sebagai berikut: XL;Telkomsel;Indosat;
Telkom;Hutchison;Bakrie; Mobile-8; Smart;NTS; dan Sampoerna Telecom Indonesia;
Berdasarkan uraian pada unsur perjanjian penetapan harga di atas, diketahui
bahwa terdapat perjanjian harga secara materil yang dilakukan oleh :XL;Telkomsel; Telkom;Bakrie;Mobile-8;Smart,
yang berada pada pasar bersangkutan yang sama sebagaimana telah diidentifikasi
oleh Majelis Komisi sebelumnya, sehingga menunjukkan operator yang satu
bersaing dengan operator yang lainnya
Dengan demikian unsur pesaing telah terpenuhi;
Selain
unsur-unsur sebagaimana ditetapkan oleh KPPU tersebut diatas harusnya unsur
persaingan usaha tidak sehat juga masuk karena di sini operator yang menetapkan
tarif harga sms sendiri ( dilakukan oleh Bakrie ) yang jauh lebih rendah malah ditegur
oleh operator yang memilki pangsa pasar yang besar seperti Telkomsel dan XL,
hal tersebut menandakan bahwa ada kekhawatiran sendiri atau takut mengalami
kerugian. Jika ada operator yang menetapkan harga tarif SMS yang lebih murah
kemungkinan akan mengakibatkan antar pelaku usaha akan kalah bersaing atau
mengalami kerugian karena konsumen pasti akan memilih harga tarif SMS yang
lebih murah.
4.3. Pertimbangan Hukum Dan Keputusan Kppu Dalam
Perkara Tersebut Adalah :
Menimbang
bahwa berdasarkan pertimbangan dan uraian di atas, Majelis Komisi sampai pada
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa
XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, dan Mobile-8 telah melakukan kartel harga SMS off-net
pada range Rp 250 – Rp 350 pada periode 2004 sampai dengan April 2008;
2.
Bahwa Smart telah mengikuti kartel harga
SMS tersebut pada saat commercial launching yaitu tanggal 3 September
2007;
3.
Bahwa Indosat, Hutchison dan NTS tidak
terbukti melakukan kartel harga SMS off-net
4.
Bahwa sebagai akibat kartel yang
dilakukan tersebut, terdapat kerugian konsumen setidak-tidaknya sebesar Rp
2.827.700.000.000 (dua trilyun delapan ratus dua puluh tujuh miliar tujuh ratus
juta rupiah);
5.
Menimbang bahwa Majelis Komisi tidak
berada pada posisi yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk
konsumen;
6.
Menimbang bahwa perilaku kartel yang
dilakukan oleh XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie, Mobile-8, dan Smart merupakan
pelanggaran berat terhadap persaingan yang sehat;
7.
Menimbang terhadap pelanggaran berat
tersebut, Majelis Komisi memandang perlu untuk menjatuhkan denda kepada pelaku
kartel tersebut;
8.
Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan denda,
Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan masing-masing Terlapor
sebagai berikut:
9.
Bakrie;
Bahwa Bakrie pernah menetapkan harga SMS dibawah
harga perjanjian namun mendapatkan teguran untuk menaikkannya lagi;
Bahwa Bakrie sebagai new entrant berada dalam
posisi tawar yang lemah;
Bahwa Bakrie telah menurunkan dan mengubah pola
penetapan hargaSMS;
10. Mobile-8;
Bahwa Mobile-8 sebagai new entrant berada
dalam posisi tawar yang lemah;
11. Smart;
Bahwa Smart sebagai new entrant berada dalam posisi
tawar yang lemah;
Bahwa periode keikutsertaan Smart dalam perjanjian
harga SMS adalah yang paling pendek dibanding operator lain;
Majelis Komisi: Memutuskan sebagai berikut :
1.
Menyatakan
bahwa Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama, Tbk., Terlapor II: PT Telekomunikasi
Selular, Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT Bakrie
Telecom, Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT Smart
Telecom terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-undang No.
5 Tahun 1999;
2.
Menyatakan
bahwa Terlapor III: PT Indosat, Tbk, Terlapor V: PT Hutchison CP
Telecommunication, Terlapor IX: PT Natrindo Telepon Seluler tidak terbukti
melanggar Pasal 5 Undang-undang No 5 Tahun 1999;
3.
Menghukum Terlapor I: PT Excelkomindo Pratama,
Tbk. dan Terlapor II: PT Telekomunikasi Selular masing-masing membayar denda
sebesar Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor
ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha)
4.
Menghukum
Terlapor IV: PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Membayar denda sebesar Rp
18.000.000.000,00 miliar (delapan belas miliar rupiah) yang harus disetor ke
Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan
usaha Departemen Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
5.
Menghukum
Terlapor VI: PT Bakrie Telecom, membayar denda sebesar Rp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran
pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan
Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank
Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di
Bidang Persaingan Usaha);
6.
Menghukum
Terlapor VII: PT Mobile-8 Telecom, Tbk. membayar denda sebesar Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen
Perdagangan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha
melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda
Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha
7.
Smart tidak
dikenakan denda karena merupakan new
intrant yang terakhir masuk kepasar sehingga berada pada posisi tawar yang
paling lemah.
Dari pertimbangan hukum yang
diberikan oleh KPPU menurut pendapat saya adalah :
1. Telkomsel
Keputusan yang diberikan oleh KPPU
adalah sangat adil mengingat Telkomsel merupakan salah operator selular yang
memiliki pasar yang sangat besar sehingga Telkomsel merupakan salah satu pelaku
usaha yang sangat di untungkan dalam perjanjian kartel tariff sms. Namun ada
benang merah diantara keputusan yang dijatuhi oleh KPPU kepada Telkomsel Karena
pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang khusus mengatur tentang
formulasi perhitungan harga sms sehingga Telokomsel merasa perlu melakukan self regulatory. Namun kebijakan tersebut membawa implikasi
bagi operator new intrant yang belum memilki pangsa pasar yang luas
sehingga mau tidak mau harus mematuhi perjanjian tersebut. Karena umumnya
mereka berada pada posisi tawar yang lemah.
2. XL,
juga merupakan salah satu operator yang memilki kekuatan pangsa pasar kedua
setelah Telkomsel, dan XL juga yang sangat mendukung kebijakan Telkomsel untuk
melakukan PKS dan sangat aktif mendisiplinkan anggota kartel yang berupaya
untuk memberikan harga sms dibawah harga kartel. Sehingga keputusan KPPU
tersebut juga patut diberikan kepada XL karena mendapatkan keuntungan yang
cukup signifikan setelah Telkomsel.
3. Mobile-8,
mengikuti perjanjian kartel semata-mata karena berada pada posisi tawar yang
rendah. Namun terbukti melanggar undang-undang hingga patut juga diberikan
denda.
4. Bakrie,
pernah menetapkan harga dibawah harga kartel namun setelah mendapat teguran
akhirnya menaikkan lagi tarifnya karena berada pada posisi tawar yang lemah.
Namun denda yang diberikan kepada Bakri juga merupakan patut karena melanggar
ketentuan undang-undang.
5. Telkom
Indonesia juga terbukti melakukan praktik kartel dengan mendukung kebijakan
Telkomsel dan dalam memberikan data dinilai tidak kooperatif sehingga patut
diberikan denda.
6. Smart,
mematuhi ketentuan kartel tetapi, merupakn new
intrant yang paling singkat terikat
dengan tariff kartel yaitu pada 2007-april 2008, dan karena berada pada posisi
tawar yang sangat lemah sehingga oleh KPPU tidak diberikan denda.
7. Sedangkan
tiga operator lain adalah Indosat, Hutchison,dan Nts tidak terbukti melakukan
praktik kartel karena operator selular tersebut menetapkan sendiri tariff
smsnya yang jauh dibawah tariff kartel yaitu sekitar Rp 60/sms, sehingga
dibebaskan dari denda.
4.4.Pendekatan
Hukum Yang Digunakan Oleh KPPU Dalam Memutus Perkara Tersebut Diatas Adalah :
Kartel
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999
umumnya diatur secara per se rule atau
per se illegal. Didalam per se illegal pelaku usaha tidak diberikan kesempatan untuk
menjastifikasi perilakunya, Namun
demikian tidak semua perkara kartel di berlakukan dengan per se illegal, seperti perkara Sembilan operator dalam kartel
tarif sms. Dalam kasus ini KPPU menggunakan pendekatan rule of reason. Pendekatan rule
of reason merupakan suatu pendekatan dengan menggunakan analisis
berdasarkan detail faktanya.[4]
Hakim KPPU mengevaluasi dan menganalisis bukti-bukti dalam praktik perjanjian
kartel. Bukti yang digunakan oleh KPPU dalam kasus ini antara lain:
1.
Surat bukti perjanjian Interkoneksi (
PKS )
2.
Data Perkembangan Tarif SMS
3.
Data laporan keuangan operator
4. Keterangan
para saksi ( saksi ahli Roy Suryo dan beberapa Operator Selular itu sendiri)
4.5.Akibat Dari Pelanggaran
Ketentuan Hukum Persaingan Usaha Dalam Perkara Tersebut Adalah:
Majelis Komisi mempertimbangkan dampak
yang terjadi di pasar bersangkutan sebagai akibat adanya kartel harga SMS yang
dilakukan oleh operator sebagai berikut;
1. Tim
Pemeriksa dalam LHPL menyebutkan bahwa kartel yang terjadi merugikan operator new
entrant dan konsumen, namun tidak mengelaborasi lebih dalam mengenai
perhitungan kerugian yang ditimbulkan akibat kartel tersebut;
2. Majelis
Komisi menilai bahwa kartel yang terjadi tidak dapat menghilangkan secara
faktual kerugian yang nyata bagi konsumen pada pasar bersangkutan;
3. Kerugian
konsumen tersebut berupa :
a) hilangnya
kesempatan konsumen untuk memperoleh harga SMS yang lebih rendah,
b) hilangnya
kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan SMS yang lebih banyak pada harga
yang sama,
c) kerugian
intangible konsumen lainnya,
d) serta
terbatasnya alternatif pilihan konsumen, selama kurun waktu 2004 sampai dengan
April 2008;
4. Majelis
Komisi menjelaskan bahwa kerugian yang diderita konsumen disebabkan oleh
perilaku operator dalam bentuk kartel harga dan tidak terkait dengan
perhitungan keuntungan yang dinikmati oleh operator bersangkutan. Sehingga
argumen tidak adanya kerugian konsumen karena tidak ada keuntungan eksesif yang
didalilkan oleh XL, Bakrie, dan Mobile-8 adalah tidak relevan; karena berdasarkan
laporan keuangan dari 6 (enam) Terlapor, yaitu XL, Telkomsel, Telkom, Bakrie,
Mobile-8, dan Smart yang dimiliki oleh Majelis Komisi diperoleh total
pendapatan operator-operator tesebut sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007
adalah sebesar Rp 133.885.000.000.000 (seratus tiga puluh tiga trilyun delapan
ratus delapan puluh lima miliar rupiah).
BAB
V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut diatas maka yang dapat disimpulkan adalah :
1. Bahwa
dalam Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007, sebagaimana telah disebutkan diatas maka
Hukum persaingan usaha yang dilanggar adalah Kartel ( kartel tariff sms antara
Sembilan operator selular di Indonesia )
2. Unsur-unsur
yang dilanggar dalam praktik yaitu unsur pelaku usaha, unsur perjanjian
penetapan harga, dan unsur pelaku usaha.
3. Dari
perkara tersebut ada lima operator selular diantaranya yaitu XL.
Telkomsel,Telkom Indonesia, dan Bakrie dikenakan denda dengan pembayaran
sejumlah uang sedangkan empat lainnya dibebaskan dari denda karena tidak
terbukti melakukan kartel.
4. Pendekatan
hukum yang digunakan oleh KPPU dalam memutus perkara tersebut adalah rule of reason, yaitu melalui analisa fakta
dan bukti-bukti.
5. Dampak
dari praktik kartel tersebut adalah menyebabkan kerugian kepada konsumen,
dimana konsumen dituntut untuk membayar tarif sms yang lebih mahal, dan juga
tidak ada kebebasa memilih karena tariff
sms di antara operator semuanya sama. Disamping
itu juga menyebabkan para operator new
intrant atau operator baru tidak punya pilihan karena berada pada posisi
tawar yang rendah sehingga mau tidak mau harus mengikuti kebijakan operator
terdahulu yang telah memilki pangsa pasar yang besar.
5.2.Saran
DAFTAR PUSTAKA
Irna Nurhayati, 2011, Kajian
Hukum Persaingan Usaha : Kartel Antara Teori dan Praktik, Jurnal Hukum
Bisnis Vol.30-No.2-Tahun 2011
Cenuk Widyastrisna
Sayekti, 2011, Pembuktian Dugaan Kartel Dengan Indirect Evidence Berdasarkan Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.04 Tahun 2010, Jurnal Hukum Bisnis Volume
30-N0.2-Tahun 2011
Putusan
Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007, Tentang
Kartel Tarif SMS antara Sembilan Operator Selular di Indonesia
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4
Tahun 2010, Tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
[1] Irna Nurhayati, 2011, Kajian Hukum Persaingan Usaha :
Kartel Antara Teori dan Praktik, Jurnal Hukum Bisnis Vol.30-No.2-Tahun
2011, Hlm.6
[2]Ibid
[3] Cenuk Widyastrisna
Sayekti, 2011, Pembuktian Dugaan Kartel Dengan Indirect Evidence Berdasarkan Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.04 Tahun 2010, Jurnal Hukum Bisnis Volume
30-N0.2-Tahun 2011, Hlm.19
[4]Irna Nurhayati, Op.Cit.Hlm.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar