BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Perseroan
Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
perseroan terbatas serta
peraturan pelaksanaannya. Organ-organ
penting dalam Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas ( selanjutnya
disebut UUPT ) adalah terdiri atas Rapat
Umum Pemegang Saham ( selanjutnya disebut RUPS , Direksi, dan Dewan Komisaris. Diantara ketiga organ perseroan terbatas ini yang memilki
kewenangan penuh terhadap perseroan adalah direksi. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat(5) UUPT,
“Direksi
adalah; organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”
Dalam perusahaan perseroan direksi
adalah pihak yang paling memilki peranan penting, baik dalam menagatur
perusahaan , mengelola, maupun untuk memajukannya. Direksi ini diangkat oleh
RUPS, sebagaimana dimaksud dalam pasal 94 ayat ( 1 ) UUPT, bahwa : “anggota direksi diangkat oleh RUPS.” dan lebih lanjut ayat ( 3) anggota Direksi diangkat untuk jangka
waktu tertentu dan dapat diangkat kembali.
Setiap anggota Direksi wajib pula
beritikad baik dan penuh tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya untuk
kepentingan perseroan. Jika dalam menjalankan tugasnya ada indikasi bahwa
seorang direksi menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya untuk
kepentingan pribadi dan menyebabkan kerugian finansial yang berujung pada
pailitnya perseroan, maka seorang
direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi atau harta kekayaan
pribadinya dapat dijadikan jaminan pelunasan hutang-hutang perseroan yang
sedang dalam kepailitan.
Pasal 104 ayat ( 2 ) menyebutkan bahwa:“ dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut.
Pengecualinannya adalah sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 4 ) bahwa :“Anggota Direksi tidak
bertanggungjawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
apabila dapat membuktikan bahwa kepailitan tersebut bukan
karena kesalahan atau kelalaiannya; dan telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
tidak
mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang dilakukan; dan telah mengambil tindakan untuk
mencegah terjadinya kepailitan”
Tanggung jawab direksi dalam perseroan
terbatas yang mengalami kepailitan tidak semata-mata didasarkan pada ketentuan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, namun didalam hukum perusahaan umumnya
dikenal doktrin-doktirn hukum yang mengatur tentang bagaimana seorang direksi
bertanggung jawab kepada perseroan terbatas, jika perbuaran direksi itu menyebabkan
palilitnya suatu perseroan. Diantaranya doktirin-doktirn hukum perusahaan yang
penulis coba untuk membahasnya antara lain : tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan
duty to skill and care; tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement
rule); tanggung jawab
berdasarkan prinsip Ultra vires; dan tanggung jawab berdasarkan
prinsip piercieng the corporate
veil. Doktrin-doktrin ini
merupakan doktrin hukum perusahaan yang dikenal dalam sistem hukum Common
Law yang kemudian diadopsi untuk dianut dalam sistem hukum perusahaan
indonsia, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pada kesempatan kali ini penulis
tertarik untuk membahas tulisan ini dalam sebuah makalah singkat dengan judul “
TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PERSEROAN
TERBATAS KETIKA TERJADI KEPAILITAN (Menurut Doktrin Hukum Perusahaan dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 )”
II.
RUMUSAN MASALAH
“ BagaimanaTanggung jawab
direksi dalam perseroan terbatas ketika terjadi kepailitan, menurut
doktirn hukum perusahaan dan Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 ”?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Tentang Kepailitan
I.
Pengertian dan Dasar Hukum
Kepailitan
Pranata hukum kepailitan atau dalam
bahasa Inggris disebut bankruptcy, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut failliet merupakan
pranata hukum yang dikenal banyak negara, baik yang menganut sistem hukum Civil Law maupun Common Law. Dalam bahasa Indonesia sehari-hari sering dipakai
istilah “bangkrut”. Sedangkan dalam sistem hukum Common Law terkadang dipergunakan juga istilah Insolvency. Istilah Insolvency
dimaksudkan sebagai suatu ketidaksanggupan membayar utang ketika utangnya
itu jatuh tempo pada saat bisnis dari debitor akan kolaps. Sementara yang
dimaksud dengan istilah bankruptcy,adalah
status hukum dari debitur yang sangat khusus, status mana ditetapkan oleh
Pengadilan.[1]
Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan istilah bankruptcy adalah
:[2]
“Seseorang
yang tidak sanggup lagi akan memenuhi kewajiban-kewajibannya; seorang debitor
yang sudah tidak sanggup lagi akan membayar penuh kepada kreditor-kreditornya ;
seseorang yang tidak mampu membayar. Lebih tepat ialah seseorang yang oleh
suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan
aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya”
Kepailitan merupakan suatu proses
di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar
utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga,
dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.[3]
Menurut Soematri Hartono, kepaililitan
adalah lembaga hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam
hukum perdata Eropa yang tercantum dalam pasal-pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ).[4]
Pasal
1131 : “menetapkan bahwa semua harta kekayaan debitur (siberutang ) baik benda bergerak
atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru aka ada dikemudian
hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”.
Pasal
1132: “menetapkan bahwa benda-benda milik debitor tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi para krediturnya (siberpiutang ) dan hasil penjualan
benda-benda milik debitur itu dibagi menurut keseimbangan (proporsional) yaitu
menurut besar kecilnya tagihan kreditor masing-masing kreditor, kecuali apabila
diantara kreditor ada alasan-alasan untuk didahulukan”
Menurut
pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan
adalah
“Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
diatur dalam Undang‑Undang ini”
Debitor sebagaimana dimaksud dalam
pasa1 ayat ( 1 ) adalah :
“Debitor adalah orang yang mempunyai
utang karena perjanjian atau Undang‑undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan”.
Jadi berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam kepailitan ada unsur-unsur:
1)
adanya
keadaan ‘berhenti membayar’ atas suatu utang
2)
adanya
permohonan pailit,
3)
adanya
pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga
4)
adanya
sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit (debitur),
5)
yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang,
6)
semata-mata
untuk kepentingan kreditur.
II. Tujuan Kepailitan
Tujuan utama kepailitan adalah untuk
melakukan pembagian antara para kreditor atas kekayaan debitor oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan
terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan
mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada
semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing. Lembaga kepailitan pada
dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para
pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar.
Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:[5]
1. kepailitan
sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitor tidak akan
berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada
semua kreditor.
2. kepailitan
sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan
eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya. Jadi keberadaan ketentuan tentang
kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus
merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata
merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas
transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitor terhadap
kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua
pasal tersebut adalah sebagai berikut. Bahwa kekayaan
debitur (pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (pasal
1132) secara proporsional, kecuali kreditor dengan hak mendahului (hak
Preferens).
III.
Syarat dan Putusan
Pailit
Dalam Undang-Undang Kepailitan disebutkan pada pasal 2 ayat
( 1 ) disebutkan bahwa :
”Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”
Dari
paparan di atas, maka telah jelas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur
harus telah memenuhi dua syarat yaitu:[6]
1)
Memiliki Minimal Dua Kreditur;
Keharusan ada dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang
Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Karena seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika ia
hanya mempunyai seorang kreditor adalah tidak ada keperluan untuk membagi asset
debitor diantara para kreditor.
2)
Harus Ada Utang
Didalam pasal 1 ayat ( 6 )
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan:
”Utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang‑undang
dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”
3)
Jangka Waktu Dan Dapt Ditagih
Dalam
penjelasan pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-Undang kepailitan yang dimaksud dengan:
"utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah
jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis
arbitrase.”
IV.
Pihak-Pihak Yang Dapat dinyatakan Pailit
Dalam pasal 2 ayat ( 1 ) disebutkan bahwa debitor bisa
orang-perorangan maupun badan hukum. dalam tulisannya Imran Nating menyebutkan
bahwa pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain :[7]
1.
Orang perorangan
2.
Harta peninggalan ( warisan )
3.
Perkumpulan perseroan ( holding company )
4.
Penjamin ( guarantor )
5.
Badan hukum
6.
Perkumpulan bukan badan hukum
7.
Bank
8.
Perusahaan efek
9.
Perusahaan asuransi, reasuransi,
dana pension, dan badan usaha milik negara
V.
Pihak Yang Dapat Mengajukan
Permohonan Pailit
Pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit antara lain:[8]
1.
Permohonan
debitor sendiri;
2.
Permohonan
satu atau lebih kreditornya ( menurut pasal 8 Undang-Undang kepailitan sebelum diputuskan pengadilan wajib mengambil
debitornya );
3.
Pailit
harus dengan putusan pengadilan ( pasal 2 ayat ( 1 );
4.
Pailit
bisa atas permintaan kebijaksanaan untuk kepentingan umum ( pasal 2 ayat ( 2 ),
pengadilan wajib memanggil debitor;
5.
Bila
debitornya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia;
6.
Bila
debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring Dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Permohonan Pailit Hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal ( BAPEPAM );
7.
Dalam
hal debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pension, atau
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
VI.
Akibat Hukum Pernyataan
Pailit
Apabila
seorang debitor telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan
menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:
1. Debitor kehilangan segala haknya
untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya ( asetnya ), baik
menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan;
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin
oleh kekayaannya;
3. Untuk melindungi kepentingan
kreditor, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,
kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :
a) Meletakkan sita jaminan terhadap
sebagian atau seluruh kekayaan debitor;
b) Menunjuk kurator sementara untuk
mengawasi pengelolaan usaha debitor, menerima pembayaran kepada kreditor,
pengalihan atau penggunaan kekayaan debitor ( pasal 10 )
4. Harus diumumkan di 2 ( dua ) surat
kabar ( pasal 15 ayat ( 4 ).[9]
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat
hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi
mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan
mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah
Kurator.Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk
seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan
dan pemberesan harta pailit).
VII.
Azas-Azas Kepailitan
Dikeluarkannya
Undang-Undang Kepailitan oleh pemerintah harus dilihat bukan hanya sebagai
upaya yang bersifat reaktif semata-mata untuk menghadapi krisis moneter yang
melanda perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga harus dilihat sebagai
pembangunan hukum nasional dalam rangka
penggantian sistem dan pranata hukum warisan masa Kolonial Belanda
menjadi hukum nasional Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan
undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni :
1.
Asas Keseimbangan yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di
lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik
2.
Asas Kelangsungan Usaha, Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan;
3.
Asas Keadilan, dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas rasa keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan
masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya;
4.
Asas Intergrasi Lembaga
kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai
fungsi penting, sebagai realisasi dari 2 (dua) pasal penting dalam KUH Perdata
yakni Pasal 1131 dan Pasal 1132 mengenai tanggung jawab debitor terhadap
hutang-hutangnya[10]
B.
Tinjauan Umum Tentang
Perseroan Terbatas
I. Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas merupakan suatu artificial person, yaitu suatu badan hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia memiliki anggota tubuh , perseroan memiliki organ-organ seperti komisaris, direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham. Hak dan kewajiban organ-organ perseroan ini tidak hanya diatur oleh undang-undang, Anggaran Dasar, dan doktrin. Perubahan Anggaran Dasar perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran Dasar[11]
Dalam Undang-Undang Perseroan tebatas, yang dimaskud dengan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya. Berdasar batasan yang diberikan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut di atas ada lima ( 5) hal pokok yang dapat dikemukakan di sini :
1.
Perseroan Terbatas Sebagai
Badan Hukum
Ilmu hukum mengenal dua macam subjek hukum, yaitu subjek hukum pribadi (orang perorangan), dan subjek hukum
berupa badan hukum. Terhadap masing-masing subjek hukum tersebut berlaku
ketentuan hukum yang berbeda satu dengan
yang lainnya, meskipun dalam
hal-hal tertentu terhadap keduanya
dapat diterapkan suatu aturan
yang berlaku umum.
Salah satu ciri khas yang membedakan subjek hukum pribadi dengan subjek hukum badan hukum
adalah saat lahirnya subjek hukum
tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan
saat lahirnya hak-hak dan
kewajiban bagi masing-masing subjek
hukum tersebut. Menurut Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
,pada subjek hukum pribadi, status subjek hukum
dianggap telah ada bahkan pada
saat pribadi perseorangan tersebut
berada dalam kandungan . Sedangkan pada badan hukum, keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah
ia memperoleh pengesahan dari pejabat
yang berwenang, yang memberikan hak-hak,
kewajiban dan harta kekayaan sendiri bagi badan hukum tersebut, terlepas
dari hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan para pendiri, pemegang
saham, maupun para pengurusnya. Pasal 7 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa “perseroan
memperoleh status badan hukum setelah
akta pendirian disahkan oleh Menteri”.
Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang tidak satu
pasal pun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 bahwa perseroan adalah badan hukum. Ini berarti perseroan
tersebut memenuhi syarat keilmuan
sebagai pendukung hak dan kewajiban antara
lain memiliki harta kekayaan pendiri atau pengurusnya.
Sebagai suatu badan
hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur
badan hukum seperti yang
ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah
:
1.
Organisasi yang teratur
Di dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang
Perseroan Terbatas, dapat kita lihat
dari adanya organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
2.
Harta kekayaan sendiri
Menurut Pasal 31 dan 32 UUPT, harta kekayaan
sendiri ini berupa modal dasar yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham yang terdiri
atas uang tunai dan harta kekayaan dalam bentuk lain.
3.
Melakukan hubungan hukum sendiri
Sebagai badan hukum, perseroan melakukan
sendiri hubungan hukum dengan pihak
ketiga yang diwakili oleh pengurus yang
disebut Direksi dan Komisaris. Direksi
bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan kegiatannya, direksi berada
di bawah pengawasan Dewan Komisaris, yang dalam hal-hal tertentu membantu
direksi dalam menjalankan tugasnya tersebut.
4.
Mempunyai tujuan tersendiri
Tujuan tersebut ditentukan di dalam Anggaran
Dasar perseroan, karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama
perusahaan adalah memperoleh keuntungan/ laba.
2.
Perseroan Terbatas Didirikan
Berdasar Perjanjian
Dalam pasal Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa perseroan didirikan
olerh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat
dalam bahasa Indonesia. Rumusan
ini pada dasarnya
mempertegas kembali makna
perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai perjanjian yang ada dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Sebagai
perjanjian “khusus“ dan “bernama“.
Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas ini juga tunduk sepenuhnya pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, disamping ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu
perjanjian hanya sah jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1.
pihak yang berjanji adalah mereka
yang cakap dalam hukum dengan pengertian
bahwa pihak tersebut dianggap mampu untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum;
2.
dilakukan berdasarkan kesepakatan sukarela antara para pihak yang berjanji;
3.
adanya suatu objek yang
diperjanjiakan;
4.
bahwa perjanjian tersebut meliputi
sesuatu yang halal, yang diperkenankan oleh hukum, peraturan perundang-undangan
yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Ketentuan
ini harus berlaku selama perseroan masih
berdiri, dan hal ini dipertegas kembali
dengan rumusan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas
yang mewajibkan jumlah pemegang saham dalam
perseroan minimum berjumlah dua orang, dan rumusan Pasal 27 huruf b, yang secara tegas menolak permohonan perubahan perubahan Anggaran Dasar perseroan yang
isinya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Perjanjian
pendirian Perseroan Terbatas yang
dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta notaris yang
disebut dengan “Akta Pendirian“.
Akta Pendirian ini pada dasarnya
mengatur berbagai macam hak-hak
dan kewajiban para pendiri perseroan
dalam mengelola dan menjalankan perseroan terbatas tersebut. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tersebut yang
merupakan isi perjanjian selanjutnya
disebut dengan “Anggaran Dasar“ perseroan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas.
3.
Perseroan Harus Mejalankan
Kegiatan Usaha Tertentu
Melakukan
kegiatan usaha artinya menjalankan
perusahaan. Kegiatan usaha yang
dilakukan perseroan adalah dalam bidang
ekonomi, baik industri, perdagangan maupun jasa yang bertujuan memperoleh keuntungan/ laba.
4.
Perseroan Harus Memiliki Modal yang Terbagi dalam
Saham-saham
Sebagai
suatu badan hukum yang independen,
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mandiri, lepas dari hak-hak dan
kewajiban-kewajioban para pemegang sahamnya
maupun para pengurusnya, perseroan jelas harus memiliki harta kekayaan tersendiri.
5.
Memenuhi Persyaratan
Undang-undang
Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang
Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya mulai dari pendiriannya,
beroperasinya dan berakhirnya. Hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang
Perseroan Terbatas menganut sistem tertutup (closed
system).
II.
Tata Cara Pendirian Perseroan Terbatas
Tata cara pendirian PT diatur dalam Bab II Undang-Undang
Perseroan Terbatas Pasal 7 dan Pasal 8
UUPT. Menurut Pasal 7 ayat (1),
perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.Selanjutnya menurut Pasal 7 ayat (2), setiap pendiri
perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Perseroan memperoleh status badan
hukum setelah Akta Pendirian disahkan oleh Menteri.
Akta Pendirian Menurut Pasal 8 ayat (1) UUPT
harus memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain, sekurang-kurangnya:
1)
nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri;
2)
susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota Direksi dan Komisaris
yang pertama kali diangkat;
3)
nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham,
rincian jumlah saham, dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari
saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian.
III.
Organ-Organ Dalam Perseroan Terbatas
Menurut Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan
Komisaris.
1.
Rapat Umum Pemegang Saham
Undang-Undang
Perseroan Terbatas Mengatur Mengenai
Rapat Umum Pemegang Saham dalam Bab VI, yaitu
dari Pasal 75 sampai Pasal 78. pengertian Rapat Umum Pemegang Saham menurut Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah organ perseroan yang memegang kekuasaaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak akan diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Undang–Undang Perseroan Terbatas memberikan kewenangan berikut kepada
Rapat Umum Pemegang Saham berupa:
1)
Penetapan Perubahan Anggaran Dasar
Menurut
Pasal 19 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas
Perubahan Anggaran Dasar ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham;
2)
Pembelian Kembali Saham
Menurut
Pasal 38 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) atau pengalihannya lebih lanjut
hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham;
3)
Penetapan Penambahan Modal
Perseroan
Penetapan
penambahan modal perseroan diatur di dalam Pasal 41 Undang-Undang Perseroan
Terbatas :
a)
Penambahan modal perseroan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan
Rapat Umum Pemegang saham
b)
Rapat Umum Pemegang Saham dapat
menyerahkan kewenangannya untuk memberikan
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada komisaris untuk paling lama 5 ( lima ) tahun
c)
Penyerahan kewenangan sebagaimana
dimaksud ayat (2) sewaktu-waktu dapat
ditarik kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
4)
Penetapan Pengurangan Modal Perseroan
Pengurangan modal perseroan menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya
dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35.
5)
Persetujuan laporan tahunan dan
pengesahan perhitungan tahunan
Menurut
Pasal 71 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan
tahunan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham
6)
Penentuan Penggunaan Laba
Menurut
Pasal 71 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah
penyisihan untuk cadangan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
61 ayat (1) diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
7)
Pengangkatan/ Pemberhentian/ Pembagian Tugas Direksi Dan Komisaris
Di
dalam Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbats disebutkan bahwa anggota
direksi diangkat oleh RUPS. Sedangkan untuk pemberhentian direksi diatur dalam
pasal 105 ayat ( 6 ) Undang-Undang
Perseroan Terbatas :
a)
Anggota direksi dapat
sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan
keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.
b)
Keputusan untuk memberhentikan
anggota direksi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk membela diri dalam RUPS.
c)
Dengan keputusan pemberhentian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kedudukannya sebagai anggota direksi
berakhir.
Ketentuan Pasal 111 ayat (1)
Undang-Undang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Dewan komisaris diangkat oleh RUPS.
8)
Persetujuan Pengalihan / Penjaminan Kekayaan Perseroan
Berdasar
ketentuan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, direksi wajib meminta
persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau
sebagian besar kekayaan perseroan..
9)
Persetujuan Atas Penggabungan, Peleburan
Dan Pengambilalihan Menurut Pasal 122 ayat (3) Undang-Undang
Perseroan Terbatas, penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan apabila rancangan penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disetujui oleh RUPS masing-masing
perseroan.
10)
Pembubaran Perseroan
Menurut
Pasal 142
Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena :
1)
berdasarkan keputusan RUPS;
2)
karena jangka waktu berdirinya
yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
3)
berdasarkan penetapan pengadilan;
4)
dengan dicabutnya kepailitan
berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5)
karena harta pailit Perseroan yang
telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang; atau
6)
karena dicabutnya izin usaha
Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
2.
Direksi
Jabatan
anggota direksi dalam pengurusan perseroan merupakan jabatan penting , karena
seluruh kegiatan operasional dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.[12] Dalam Pasal 1 ayat (4) UUPT disebutkan bahwa direksi adalah “organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai ketentuan Anggaran Dasar”
1)
Tugas dan Wewenang Direksi
Dalam
melakukan tugas dan wewenangnya direksi harus bertolak dari landasan
bahwa tugas dan kedudukannya
d1peroleh berdasarkan dua prinsip
yaitu pertama kepercayaan yang
diberikan perseroan kepadanya(fiduciary
duty) dan kedua yaitu prinsip duty of skill ang care atau kemampuan dan
kehati-hatian tindakan Direksi.[13]
Di
dalam Undang-Undang Peseroan Terbatas, tugas dan wewenang direksi terdapat
dalam pasal-pasal berikut ini : Pasal 92 yaitu antara
lain :
1.
Direksi menjalankan pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.
2.
Direksi berwenang menjalankan
pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang
dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar.
3.
Direksi Perseroan terdiri atas 1
(satu) orang anggota Direksi atau lebih.
2)
Tanggung Jawab Direksi
Lebih lanjut tentang tanggung jawab direksi daitur dalam Pasal 97
1.
Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
2.
Pengurusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab.
3.
Setiap anggota Direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
4.
Dalam hal Direksi terdiri atas 2
(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
5.
Anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
dapat membuktikan:
a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
3.
Komisaris
Perkataan
komisaris menurut Chatamarrasjid mengandung pengertian, baik sebagai “organ” maupun
sebagai “orang perseorangan”. Komisaris lazim disebut Dewan Komisaris,
sedangkan orang perseorangan disebut anggota komisaris. [14]
Pegertian
Komisaris menurut Pasal 1 ayat (5)
Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah “organ perseroan yang
bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan khusus serta memberikan
nasehat kepada direksi dalam menjalankan
perseroan”.
Didalam UUPT pasal Pasal 114 mengatur tentang tugas dan tanggung jawab komisaris antara lain :
1. Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1).
2. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
3. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
BAB III
PEMBAHASAN
I.
Tanggung Jawab Direksi Ketika
Terjadinya Kepailitan Pada Perseroan Terbatas Menurut Doktrin Pada Umumnya
Sebagaimana telah dimafhumi bahwa organ
perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris, dan direksi. Ketiga organ ini memiliki tugas, wewenang, dan
tanggung jawab yang berbeda satu
sama lainnya. Direksi adalah
merupakan salah satu organ perseroan terbatas
yang memiliki tugas serta
bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi mempunyai fungsi dan
peranan yang sangat sentral dalam
paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena direksi yang akan menjalankan fungsi
pengurusan dan perwakilan perseroan terbatas.[15]
Direksi
adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Menurut
teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh Syuiling
(1948),
“Direksi adalah organ atau alat
perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ, seperti
tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiap gerakan
organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap
gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh
badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu
sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung mengatakan
bahwa Direksi mewakili badan hukum” .[16]
Bertitik
tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum. Kapan PT memperoleh
status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT adalah “Perseroan memperoleh status
badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan
badan hukum Perseroan”
Hakekat
dari sebuah perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk
kepentingan orang lain atas tanggung jawab dari orang yang mewakilkan itu.[17] Menurut Paul Scholten dan Bregstein, pengurus mewakili badan hukum. Analog dengan pendapat Gierke
dan Paul Scholten maupun Bregstein tersebut, maka direksi PT
bertindak mewakili PT sebagai
badan hukum. Hakikat dari perwakilan adalah bahwa seseorang melakukan sesuatu perbuatan untuk kepentingan orang lain
atas tanggung jawab orang itu.[18]
Dalam kepustakaan ada yang menyebut tugas
perwakilan ini dengan sebutan tugas representasi. Yang dimaksud dengan tugas representasi adalah tugas dari direksi untuk
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tugas mewakili
perseroan di luar pengadilan adalah seperti mewakili perseroan dalam hal melakukan deal atau transaksi bisnis dengan pihak ketiga,
menandatangani kontrak-kontrak, menghadap
pejabat negara, dan lain sebagainya.
Dari ketentuan normatif dalam UUPT dan teori
Gierke-Scholten Bregstein, maka fungsi direksi
adalah melakukan pengurusan dan perwakilan. Pengurusan akan berkait dengan tugas-tugas
internal suatu perseroan terbatas untuk kepentingan dalam rangka pencapaian maksud dan tujuan perseroan, sedangkan perwakilan adalah
berkaitan dengan tugas direksi mewakili perseroan dalam berinteraksi dengan pihak ketiga maupun mewakili di luar dan
di dalam pengadilan.
Di samping tugas utama direksi tersebut, Rudhi
Prasetya menyatakan bahwa termasuk sebagai tugas direksi dalam perbuatan dan
kejadian sehari-hari tersebut, menurut
anggaran dasar:
1) menandatangani saham-saham yang
dikeluarkan, bersama-sama komisaris;
2)
menyusun laporan neraca
untung rugi perseroan pada akhir tahun, sebagai pertanggungjawaban
direksi, dengan menyampaikannya dan meminta untuk disahkan oleh
Rapat Umum Pemegang Sahara (RUPS);
3)
melakukan pemanggilan RUPS dan memimpin RUPS (khusus untuk PT
terbuka RUPS dipimpin oleh komisaris).[19]
Tugas dan wewenang direksi tersebut di atas penting untuk diketahui sebelum menganalisis mengenai tanggung jawab direksi.
Rudhi Prasetya menyatakan bahwa :
“jika berbicara
mengenai pertanggungjawaban, “ maka dapat dilihat dari segi hubungan ekstern dan segi hubungan intern. Tanggung jawab
ekstern adalah tanggung jawab sebagai dampak dalam hubungan dengan pihak luar. Sedangkan tanggung jawab intern adalah dampak dari hubungan si pengurus sebagai organ terhadap organ
lainnya, yaitu institusi komisaris dan/atau rapat umum pemegang saham . Sedangkan
jika dilihat dari substansinya, maka tanggung
jawab direksi perseroan terbatas
dibedakan setidak-tidaknya menjadi empat kategori, yakni:
1)
tanggung jawab
berdasarkan prinsip fiduciary
duties dan duty to skill and care;
2)
tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke
dalam (indoor manajement
rule);
3)
tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra vires;
dan
4)
tanggung jawab
berdasarkan prinsip piercieng the
corporate veil.[20]
1.
Tanggung Jawab Berdasarkan
Prinsip fiduciary duties dan duty to skill and care
Doktrin fiduciary
duty berasal dari sistem hukum common Law yang berasal di Inggris dan
hingga kini mempengaruhi sistem hukum negara-negara bekas jajahannya dan juga
dianut di Amerika Serikat. Karena hubungan hukum antara perseroan dan direksi
didasarkan pada doktrin fiduciary duty, maka
berdasarkan doktrin ini maka dalam menjalankan kepengurusan mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap perseroan. Doktrin duty of care, mewajibkan direktur dan management untuk
berperilaku hati-hati sebagaimana
orang-orang berperilaku dalam situasi yang sama. Jika direktur melanggar duty of care dan mengakibatkan
perusahaan menderita kerugian financial, maka pengadilan akan memutuskan bahwa
direktur dan manajement bertanggung jawab secara pribadi untuk membayar ganti
rugi kepada perusahaan. Sebaliknya, jika direksi dan management menyetujui
suatu transaksi dengan mengabaikan duty
of care dan transaksi tersebut belum dilakukan maka pengadilan akan
memberlakukan injuction untuk
mencegah transaksi tersebut.[21]
Kriteria atau standar kehati-hatian dapat dibagi
dalam beberapa macam, yaitu :
1)
Standar dasar, bahwa direksi harus bertindak seperti orang biasa yang
berhati-hati dalam situasi yang sama :
a) Jika seseorang sudah duduk
sebagai seorang direksi maka dia dikenai duty
of care, meskipun orang tersebut hanya boneka;
b) Tanggung jawab atas pelanggaran duty of care hanya diberlakukan jika
direktur melakukan tindakan yang sangat ceroboh atau gross negligence.
2)
Standar objektif, artinya direksi yang mempunyai kemampuan dibawah
rata-rata orang biasa dalam posisi direksi harus memenuhi standar rata-rata
orang biasa. Sebaliknya, direksi yang mempunyai keahlian khusus, harus
mempergunakan keahlia khusus tersebut.
3)
Menguntungkan keputusan kepada nasihat ahli dan komite. Direksi berhak
mengambil keputusan berdasarkan nasihat ahli dan komite, akan tetapi hal
tersebut harus masuk akal dalam situasi tertentu.
4)
Kelalaian yang pasif, direksi tidak bertanggung jawab atas kelalaiannya
karena tidak mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh management dan pegawai.
Akan tetapi jika dia mengetahui fakta yang mengarah kedugaan adanya perbuatan
menyimpang, maka dia tidak dapat menutup mata atas fakta itu. Dalam suatu
perusahaan besar, direksi yang tidak melakukan mekanisme untuk memonitor suatu
perbuatan menyimpang, seperti internal
accounting control atau komite audit, mungkin akan dianggap melanggar duty of care.
5)
Sekalipun direksi melanggar duty
of care, akan tetapi dia hanya bertanggung jawab atas kerugian jika
perbuatanya merupakan proximate cause atau
sebab terdekat dari timbulnya kerugian[22]
2.
Tanggung
Jawab Berdasarkan Doktrin Manajemen Ke Dalam (Indoor Manajement Rule )
Doktrin manajemen ke dalam (indoor manajement rule) merupakan doktrin kontemporer yang mengajarkan bahwa
jika pihak yang
menjalankan tugas-tugas perusahaan dalam menjalankan tugas-tugasnya konsisten dengan isi anggaran dasar perseroan, maka pihak perusahaan terikat dengan pihak
ketiga atas segala tindakan yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut,
meskipun dalam menjalankan tugasnya itu, pihak perusahaan tidak memenuhi ketentuan internal perseroan, dan meskipun pihak
luar perusahaan yang melakukan bisnis
dengan perusahaan diasumsi telah mengetahui dan mempelajari dokumen-dokumen perusahaan yang telah diumumkan kepada
publik, seperti anggaran dasar perseroan. Filosofi adanya doktrin ini adalah bahwa pihak luar
perusahaan yang beriktikad baik tidak
dibebani tanggung jawab terhadap keabsahan internal dari pihak yang mewakili perseroan, akan tetapi
sebaliknya justru pihak direksi perseroanlah yang bertanggung jawab terhadap
keabsahan tindakannya
tersebut.
Tanggung jawab direksi berdasarkan doktrin manajemen ke dalam. ini
diberi batasan-batasan antara lain sebagai berikut:
1)
pihak yang
melakukan kegiatan perseroan memang berwenang melakukannya;
2)
para pihak
telah tidak berpegang pada dokumen-dokumen yang dipalsukan;
3)
pihak ketiga yang melakukan kegiatan dengan perseroan
merupakan pihak ketiga yang beriktikad baik;
4)
pihak ketiga yang melakukan kegiatan dengan
perseroan telah melakukan penyelidikan yang layak terhadap transaksi tersebut.[23]
3.
Tanggung
Jawab Berdasarkan Prinsip Ultra Vires
Adapun yang dimaksudkan dengan prinsip ultra vires (pelampauan kewenangan perseroan) adalah suatu prinsip yang
mengatur akibat hukum
seandainya ada tindakan direksi untuk dan atas nama perseroan, tetapi tindakan
direksi tersebut sebenarnya melebihi dari apa yang diatur dalam anggaran
dasar perseroan.
Black mengartikan ultra vires sebagai:
"Act
beyond the scope of the powers of a corporation, as defined by its charter or law
of state of incorporation. The term has a broad application and includes not only acts prohibited by the charter, but acts which are in excess of power granted and not
prohibited, and generally applied either
when a corporation has no power whatever to do an act, or when the corporation has the power but exercises it irregularly.""
Suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa wewenang (authority) dalam melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan perbuatan tersebut adalah ultra
vires bila dilakukan di luar atau melampaui wewenang direksi atau perseroan sebagaimana
tercantum dalam anggaran dasar dan hukum perusahaan. Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara perseroan dan pihak ketiga, di mana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires. Menurut Chatamarrasjid
Ais bahwa suatu transaksi ultra
vires adalah tidak sah dan tidak
dapat disahkan kemudian oleh suatu rapat umum
pemegang saham (RUPS). Sehingga
perbuatan direksi yang ultra vires adalah
merupakan tanggung jawab pribadi dari direksi tersebut.[24]
Fred B.G. Tumbuan mengungkapkan bahwa batas-batas di mana perbuatan
direksi itu merupakan perbuatan ultra vires apabila terpenuhi salah satu atau lebih kriteria
sebagai berikut:
1)
perbuatan hukum
yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh
anggaran dasar;
2)
dengan
memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan hukum yang bersangkutan tidak
dapat dikatakan akan menunjang kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran
dasar;
3)
dengan
memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan
hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai tertuju kepada kepentingan perseroan terbatas.[25]
4.
Tanggung Jawab Berdasarkan Prinsip Piercieng The Corporate Veil.
Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan teori Penyingkapan Tirai Perusahaan (Piercing the Corporate Veil)
merupakan topik yang sangat populer
dalam hukum perusahaan , bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan dalam
hukum modern di negara lain. Penerapan prinsip ini mempunyai tujuan utama yaitu
keadilan bagi pihak pihak yang terkait dengan perseroan, baik investor maupun
para pemegang saham.
Kata Piercing the Corporate Veil terdiri dari kata-kata :Pierce: menyobek/ mengoyak/ menembus, dan Veil : kain/ tirai/ kerudung dan Corporate : perusahaan.Karena itu secara harfiah istilah Piercing the Coorporate Veil berarti
menyingkap tirai perusahaan. Sedang dalam ilmu hukum perusahaan merupakan suatu
prinsip/teori yang diartikan sebagai
suatu proses untuk membebani tanggung
jawab ke pundak orang lain, oleh suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa melihat kepada fakta
bahwa perbuatan tersebut sebenarnya
dilakukan oleh perusahaan pelaku tersebut[26]
Adapun yang menjadi kriteria dasar universal
agar suatu Piercing the Corporate Veil secara
hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai
berikut:[27]
1.
Terjadinya penipuan;
2.
Didapatkan suatu ketidakadilan;
3.
Terjadinya suatu penindasan (oppresion);
4.
Tidak memenuhi unsur hukum (illegality);
5.
Dominasi pemegang saham yang
berlebihan;
6.
Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham
mayoritasnya
Pada umumnya prinsip piercing
corporate viel diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung
jawab ke pundak orang atau
perusahaan lain atas tindakan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa mempertimbangkan bahwa sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan oleh/atas nama
perseroan pelaku. Dengan demikian, piercing corporate viel ini pada
hakikatnya merupakan doktrip yang
memindahkan tanggung jawab dari perusahaan kepada pemegang saham, direksi, atau komisaris, dan biasanya doktrin ini
bare diterapkan jika ada klaim dari
pihak ketiga kepada perseroan.
Doktrin piercing corporate viel ini juga dianut dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas berkaitan dengan direksi dalam kaitannya dengan prinsip piercing
corporate viel adalah Pasal 60 Ayat
(3) dan Ayat (4), Pasal 85, dan Pasal 90 UUPT. Adapun ketentuan Pasal 60 Ayat (3) UUPT menyatakan
bahwa dalam hal dokumen perhitungan
tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota direksi dan komisaris secara tanggung renteng bertanggung
jawab terhadap pihak yang dirugikan. Sedangkan Pasal 60 Ayat (4) UUPT menyatakan bahwa anggota direksi dan komisaris dibebaskan
dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) jika terbukti bahwa keadaan tersebut
bukan karena kesalahannya.
Ketentuan Pasal 80 UUPT menjelaskan lebih lanjut
mengenai tanggung jawab
perseroan terbatas terutama sanksi jika direksi melakukan kelalaian dan kesalahan. Dalam Pasal 80 Ayat (1) UUPT dikatakan bahwa setiap anggota direksi wajib
dengan iktikad baik dan penuh tanggung
jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Sedangkan Pasal
80 .Ayat (2) UUPT menyatakan bahwa
setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1). Pasal 80 Ayat (3) UUPT dikatakan
bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1 / 10 (satu
per sepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan
kerugian pada perseroan.
Rudhi Prasetya menyatakan prinsip kehati-hatian
direksi dalam menghindari kesalahan dan kelaian dengan
menjalankan prinsip 'good corporate
goverment"."
Dalam kaitan dengan prinsip piercing corporate viel, tanggung jawab direksi bisa dikurangi dan bahkan dibebaskan jika memenuhi kondisi-kondisi antara lain: tindakan direksi
tersebut dalam rangka menjalankan keputusan RUPS, diterima oleh RUPS yang
dibuat setelah tindakan
tersebut, tindakan tersebut bermanfaat bagi perseroan tanpa melanggar
hukum yang berlaku, terhadap direksi diberikan release and discharge
(et quit et de charge) oleh RUPS, mengikuti pendapat dari pihak luar yang profesional seperti legal opini
dari lawyer, financial report dari akuntan, pendapat
tertulis dari appraiser.
Prinsip pertanggungjawaban direksi tersebut di atas adalah prinsip tanggung jawab direksi pada umumnya. Dalam
arti hal itu merupakan tanggung jawab
direksi dalam menjalankan perseroan secara umum dan belum berkaitan dengan
kepailitannya perseroan yang dikendalikan oleh direksi tersebut. Persoalan lebih lanjut adalah bagaimana
jika tindakan direksi yang merupakan
tanggung jawabnya baik selaku direksi maupun
bertanggung jawab pribadi menyebabkan suatu perseroan itu bangkrut dan akhirnya dipailitkan?
II.
Tanggung Jawab Direksi Ketika
Terjadinya Kepailitan Pada Perseroan Terbatas Menurut ketentuan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007
Pada prinsipnya, tanggung jawab direksi perseroan terbatas yang perusahaannya mengalarni kepailitan adalah
sarna dengan tanggung jawab direksi
yang perusahaannya tidak sedang mengalami kepailitan. Ada beberapa kondisi yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari kelembagaan
direksi berkaitan dengan kepailitannya perseroan terbatas ini. Pada prinsipnya direksi tidak
bertanggung jawab secara pribadi terhadap
perbuatan yang dilakukan untuk dan atas narna perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan
direksi
dipandang sebagai perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga
perseroanlah yang bertanggung jawab terhadap perbuatannnya perseroan itu sendiri
yang dalam hal ini
direpresentasikan oleh direksi. Narnun, dalam beberapa hal direksi dapat pula dimintai pertanggungjawabannya
secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas ini.[28]
Dalam hal terjadinya kepailitan
perseroan maka tidak secara a priori direksi bertanggung jawab pribadi atas
perseroan tersebut. namun sebaliknya direksi mesti bebas dari tanggung jawab
terhadap kepailitan perseroan terbatas. Tanggung jawab direksi yang
perusahaannya menagalami pailit, pada prinsipnya adalah sama dengan tanggung
jawab direksi yang perusahaannya tidak mengalami pailit. Pengaturan lebih
lanjut dari tanggung jawab direksi dapat
dilihat dari kondisi tertentu. Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab
secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan yang
ilakukan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan
direksi dipandang sebagai perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek
hukum. namun ada beberapa hal direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya
secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas.[29]
Pasal
104
ayat ( 2 ) UUPT
“Dalam hal kepailitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan
dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit
tersebut”
Pasal 104 ayat (4 )
menyebutkan :
“anggota
direksi tidak bertanggung jawab atas kepalitan perseroan sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 2 ) apabila dapat membuktikan :
a) kepailitan tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
b) telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c) tidak mempunyai benturan kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan;
dan
d) telah mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kepailitan”
Namun demikian, bukanlah hal yang mudah untuk membuktikan bahwa direksi telah melakukan kesalahan
dan/atau kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalarni
kebangkrutan yang berujung pada kepailitan. Fenomena seperti ini sudah
sejak dahulu terjadi, seperti
di London kasus yang sangat terkenal, yakni Salomon
V Salomon Co. Ltd.
Dari pengaturan ini, maka sebenarnya
ada benang merah antara tanggung jawab direksi perseroan terbatas tidak
dalam pailit dan tanggung jawab direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami pailit. Dengan demikian, berbagai teori
tanggung jawab direksi di atas dapat
dipakai pula untuk mengukur tanggung jawab direksi dalam hal perseroan
terbatas mengalami kepailitan. Sedangkan Pasal 104 Ayat (2) UUPT
adalah merupakan implikasi yuridis dari sifat kolegialitas dari direksi
di mana segenap direksi bertanggung jawab secara renteng (jointly and severely). Sehingga
bagi anggota direksi yang berkehendak untuk melepaskan tanggung jawab renteng tersebut,
maka anggota direksi itu wajib
membuktikan mengenai hal itu.
Aspek kolegialitas atau disebut dengan tanggung jawab
secara renteng bisa menciptakan ketidakadilan dari anggota direksi yang tidak melakukan perbuatan tertentu namun dapat dimintai pertanggungjawaban.
Untuk menjembatani persoalan ketidakadilan ini. Pendapat Rudhi Prasetya sangat tepat yang menyatakan bahwa
“sebenarnya penting ketentuan dalam anggaran dasar yang
mengatur mengenai lembaga rapat
direksi benar-benar diimplementasikan dan jangan
sekadar dijadikan hiasan. Agar direksi dalam
mengambil keputusan benar-benar telah dirundingkan di antara
segenap anggota direksi, yang notabene di antara mereka
bertanggung jawab secara kolegial”.
.
Mengenai tanggung jawab direksi yang perseroannya
mengalami pailit, Munir
Fuady menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit, maka tak sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Agar
pihak anggota direksi dapat dimintakan
tanggung jawab pribadi ketika suatu perusahaan pailit, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)
terdapatnya
unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari direksi (dengan pembuktian biasa);
b)
untuk membayar
utang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah diambil terlebih dahulu dari
aset-aset perseroan. Bila aset perseroan tidak mencukupi, barulah diambil aset
direksi pribadi;
c)
diberlakukan
pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi yang dapat
membuktikan bahwa kepailitan perseroan
bukan karena kesalahan. (kesengajaan) atau kelalaiannya.[30]
Di samping pertanggungjawaban perdata (civil
liability) tersebut, direksi dapat
dikenakan pertangungjawaban pidana (criminal
liability) dalam kepailitan perseroan terbatas ini. Ketentuan pidana ini
bcrkait dengan tindakan organ
perseroan setelah perseroan terbatas tersebut
dinyatakan pailit dan juga berkait dengan terjadinya pailit perseroan terbatas.
Ketentuan pertangungjawaban pidana terhadap direksi ini antara lain diatur dalam Pasal 398 dan 399
KUHP.
Pasal 398
KUHP menyatakan:
"Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas,
maskapai andil Indonesia, atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaiannya olch
pengadilan telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan:
1)
bila yang
bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, yang menyebabkan seluruh atau
sebagian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan, maskapai,
atau perkumpulan;
2)
bila yang
bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan
kepailitan atau penyelesaian
perseroan, mas apai, atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan p minjaman
uang dengan syarat-syarat yang
memberatkan, pad al is tahu bahwa kepailitan
atau penyelesaiannya tidak dapat dicegah lagi;
3)
bila yang
bersangkutan dapat dipersalahkan, tidak memenuhi kewajiban seperti tersebut dalam Pasal 6 alinea pertama KUHD dan Pasal 27 Ayat 1 ordonansi tentang maskapai
andil indonesia, atau bahwa buku-buku
dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan
tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tadi, tidak dapat diperlihatkannya dalam keadaan tak diubah.
Sedangkan Pasal 399 KUHP menyatakan:
"Pengurus atau komisaris perseroan terbatas, Maskapai Andil Indonesia, atau perkumpulan koperasi yang
dinyatakan pailit atau yang penyelesaiannya
oleh pengadilan telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun bila yang bersangkutan mengurangi
secara curang hak-hak pemiutangan pada perseroan, maskapai, atau perkumpulan untuk:
1)
membuat
pengeluaran yang tidak ada atau tidak membukukan pendapatan atau menarik barang sesuatu dari boedel;
2)
telah memindahtangankan barang sesuatu dengan cuma-cuma atau
jelas di bawah harganya;
3)
dengan suatu
cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada waktu kepailitan atau
penyelesaian, ataupun pada saat dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaian
tadi tidak dapat dicegah lagi;
4)
tidak memenuhi
kewajibannya nuntuk membuat catatan menurut Pasal 6 alinea pertama KUHD atau
Pasal 27 (1) ordonansi tentang maskapai
andil indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan buku-buku, surat-surat, dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu.
Dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam kedua pasal ini dapat
disimpulkan bahwa baik anggota direksi maupun komisaris perseroan terbatas
dapat dituntut secara pidana bila mereka telah menyebabkan kerugian para
kreditor perseroan terbatas dan dapat
dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan jika mereka
turut serta dalam atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar PT dan perbuatanperbuatan tersebut mengakibatkan kerugian
berat sehingga perseroan terbatas
jatuh pailit, atau turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang
memberatkan dengan maksud menunda
kepailitan PT, atau lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh
UUPT dan anggaran dasar PT. Selanjutnya,
baik direksi maupun komisaris PT yang telah dinyatakan dalam keadaan
pailit dapat dituntut secara pidana dan dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun bila
merekayasa pengeluaran/utang dengan maksud mengurangi secara curang hak-hak para
kreditor PT atau mengalihkan
kekayaan PT dengan cuma-cuma atau dengan harga
jauh di bawah kewajaran.[31]
BAB
IV
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka yang dapat
penulis simpulkan adalah :
1. Tanggung Jawab Direksi Ketika
Terjadinya Kepailitan Pada Perseroan Terbatas Menurut Doktrin Hukum Perusahaan
antara lain :
a) tanggung jawab berdasarkan prinsip fiduciary duties dan
duty to skill
and care
b)
tanggung jawab berdasarkan doktrin manajemen ke
dalam (indoor manajement
rule);
c)
tanggung jawab berdasarkan prinsip Ultra vires;
dan
d)
tanggung jawab
berdasarkan prinsip piercieng the
corporate veil
2.
Tanggung Jawab Direksi Ketika Terjadinya Kepailitan
Pada Perseroan Terbatas Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,
adalah dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian
Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan
dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit
tersebut; sebaliknya anggota direksi tidak
bertanggung jawab atas kepalitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 )
apabila dapat membuktikan :
a)
kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b)
telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c)
tidak
mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d)
telah
mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan
II.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ais, Chatamarrasjid,
2004, Penerobosan
Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan
,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Fuady, Munir, 2008, Hukum Perusahaan Dalam
Paradigma Hukum Bisnis(
Berdasarkan Undang-UndangNomor 40 Tahun 2007), Cet.ke-3, Citra Aditya,
Bandung,
....................., 2005.
Perlindungan
Pemegang Saham Minoritas, CV Utomo, Bandung
……………., 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate law,
PT Citra aditya bakti, Bandung
Hartini, Rahayu, 2008, Hukum Kepailitan, Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang
Nating, Imran, ;2009, Peranan
Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, Ed.
Revisi-2, Raja Grafindo, Jakarta
Saliman, Abdul R. dkk, 2005, Hukum
Bisnis Untuk Perusahaan; Teori Dan Contoh Kasus, ed.kedua, cet.keempat,Renada
Media Group, Jakarta
Silalahi, M.
Udin, 2005. Badan Hukum Organisasi Perusahaan. IBLAM,
Jakarta
Subhan,
M.Hadi, 2008,
Hukum
Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama,
cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta
Suharnoko,
2004, Hukum Perjanjian, Teori Dan Analisa Kasus, Ed. Pertama,
Cet.ke-6, Prenada Media Group,Jakarta
Sutarno, 2003; Aspek-Aspek
Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta; Bandung
Jurnal
Pramono,
Nindyo, 2007, Tanggung Jawab Dan Kewajiban Pengurus PT (
Bank Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin
Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 nomr 3 Tahun 2007
Artikel
Internet
Harahap,
Agus Salim, 2008, Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan
Terbatas, Lex Jurnalica, Vol.5 nomor 3, Sekolah Tinggi Ilmu Alhikmah,
Medan,www.google.com,
[1] Munir
Fuady,2008,Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis( Berdasarkan
Undang-UndangNomor 40 Tahun 2007), Cet.ketiga, Citra Aditya, Bandung,
hal.189-190
[2] Ibid,
[3] Imran
Nating;2009, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan
Harta Pailit, Ed. Revisi-2, Raja
Grafindo, Jakarta, hal.2
[4]Sutarno, 2003; Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,
Alfabeta; Bandung,hal.341
[5]Imran
Nating , Op.Cit. hal.9
[6] Ibid,
hal.23-26
[7] Ibid,
hal.28-36
[8] Abdul
R. Saliman dkk, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori Dan
Contoh Kasus, ed.kedua, cet.keempat,Renada Media Group, Jakarta,
hal.151
[9] Ibid,
hal.153
[10] Rahayu
Hartini, 2008, Hukum Kepailitan,
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, hal. 16-17.
[11]
Chatamarrasjid Ais. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal
Aktual Hukum Perusahaan ,PT.
Citra Aditya Bakti Bandung,.hal.55
[13]
Chatamarrasjid, Op.Cit, hal.71
[14] Ibid,
hal.81
[15] M.Hadi Subhan, 2008, Hukum
Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama,
cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.225
[16]
Nindyo Pramono, 2007, Tanggung Jawab Dan Kewajiban Pengurus PT (
Bank Menurut UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin
Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 nomr 3 Tahun 2007, hal.15
[17] Ibid
[21] Suharnoko,2004, Hukum Perjanjian, Teori Dan
Analisa Kasus, Ed. Pertama, Cet.ke-6, Prenada Media Group,Jakarta, hal.151-152
[26]
Munir Fuady.2005. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, CV Utomo, Bandung,hal.8
[27] Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate law,
PT Citra aditya bakti, Bandung, hal.10
[29] Agus Salim Harahap, 2008, Tanggung
Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas, Lex Jurnalica, Vol.5
nomor 3, Sekolah Tinggi Ilmu Alhikmah, Medan,www.google.com, hal.166
halo semuanya di sini jika Anda mencari pinjaman dengan tingkat bunga rendah dengan pengembalian 2 tingkat per tahun maka penawaran pinjaman pedro akan bagus untuk pinjaman bisnis Anda dan beberapa jenis pinjaman lain yang ingin Anda ajukan selama Anda tahu bahwa Anda dapat melakukannya pengembalian yang baik kembali sesegera mungkin kemudian hubungi mr pedro di pedroloanss@gmail.com
BalasHapus