Assalamualaikum..wr...wb...

Selamat datang di bolg ini....meskipun jauh dari kesempurnaan tetapi berharap dapat memberikan sedikit kontribusi yang bermanfaat bagi anda semua

Rabu, 14 Maret 2012

KEKUATAN HUKUM POLIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERJANJIAN ASURANSI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[1]
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPerdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping ketentuan-ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.Menurut ketentuan pasal tersebut, ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal.Syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur dalam Pasal 251 KUHD.
Perjanjian asuransi itu pada dasarnya  bersifat konsensual sesuai dengan Pasal 257 KUHD tetapi Pasal 255 KUHD mengharuskan pembuatan perjanjian asuransi itu dalam suatu akta yang disebut polis. Jadi, polis merupakan tanda bukti adanya perjanjian asuransi, tetapi bukan merupakan unsur dari perjanjian asuransi. Tidak adanya polis dalam perjanjian asuransi, tidak menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal, kecuali beberapa jenis pertanggungan, misalnya Pasal 272, 280, 603, 606 dan 615 KUHD.
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting didalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian,karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung terhadap penanggung. Undang-undang menentukan bahwa polis dibuat dan ditandantangani oleh penanggung sebagaimana diatur pada pasal 256 ayat 3.“ polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.” Disamping itu  polis juga mempunyai arti sangat penting bagi tertanggung, sebab polis itu merupakan alat bukti yang sempurna dan satu-satunya alat bukti tentang apa yang mereka ( penanggung dan tertanggung) perjanjikan dalam perjanjian pertanggungan. Jadi bagi tertanggung polis itu mempunyai nilai yang sangat menentukan bagi pembuktian haknya. Tanpa polis maka pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas.[2]

1.2  Rumusan Masalah
“ Bagaimana Kekuatan Hukum Pembuktian Polis Dalam Perjanjian Asuransi”?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengantar Tentang Polis
1.      Polis dan Fungsinya
Menurut Ali Rido, polis adalah suatu akta yang ditandatangani oleh asurador, yang fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian asuransi. Sedangkan Molenggraf mengatakan polis adalah suatu akta sebagai tulisan sepihak, dimana diuraikan dengan syarat-syarat apa asurador menerima perjanjian asuransi.[3]
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemenrintah  Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, “Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.”
Menurut ketentuan pasal 255 KUHD perjanjian asuransi harus di buat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya pasal 19 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1992 menentukan polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.[4]
Berdasarkan ketentuan dua  pasal tersebut diatas maka dapat di pahami bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi.Disamping itu polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi.[5]
2.      Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Asuransi
Hak dan Kewajiban Penanggung
1)      Penanggung wajib memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang dalam perjanjian Asuransi, sesuai dengan ketentuan Pasal 1339
2)      Penanggung wajib untuk melaksanakan ketentuan perjanjian yang telah disepakati. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1), (2), (3). Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa :
a)      semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b)      suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3)      Penanggung hendaknya membuat perjanjian Asuransi secara tertulis dalam suatu akta yang disebut Polis. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 255 KUHD.
4)      Hak Penanggung untuk menutup kembali (Reasuransi) penanggungnya kepada Perusahaan Asuransi yang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 271 KUHD. Tindakan menutup reasuransi disamping melindungi penanggung pertama dari kesulitan melaksanakan kewajibannya, juga secara tidak langsung melindungi kepentingan pemegang polis.[6]
Hak dan Kewajiban Tertanggung
1)      Tertanggung wajib membayar premi kepada penanggung.
2)      Pemegang polis / tertanggung dapat menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga dengan memperhatikan Pasal 1267 KUHPerdata yaitu :
Bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilaksanakan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya
kerugian dan bunga”

3)      Ahli waris dari tertanggung dalam perjanjian Asuransi juga mempunyai hak untuk dilaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut. Hal ini disimpulkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata.
4)      Tertanggung wajib untuk melaksanakan ketentuan perjanjian yang telah disepakatinya.

2.2         Kekuatan Hukum Polis Sebagai Alat Bukti
Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan. Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan suatu akta yang disebut (pasal 255 KUH Dagang).
Pasal 255: suatu tanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.Sedang syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada pasal 256 KUH Dagang. Didalam pasal tersebut diatur mengenai syarat-syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis. Pasal 257, selanjutnya mengatur tentang saat kapan perjanjian asuransi itu mulai dianggap ada,yaitu sejak adnya kata sepakat/sejak saat ditutup, bahkan sebelum polis ditandatangani.
Pasal 257 ayat 1 menentukan:“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan sitertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani.”
Berdasarkan ketentuan pasal 255 dan pasal 257 ayat 1 KUH Dagang, ternyata terdapat dua hal yang saling bertentangan terhadap yang lain yaitu mengenai saat terjadinya dan saat sahnya perjanjian asuransi. Disini timbul pertanyaan apakah polis merupakan syarat sahnya perjanjian asuransi atau bukan dan bagaimana fungsi polis sebenarnya.
Secara material perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan adalah satu, apabila sudah dicapai kata sepakat para pihak. Penganggung maupun tertanggung keduanya sudah sepakat atas semua syarat yang juga sudah disepakati bersama. Perjanjian asuransi pada dasarnya tidak mempunyai formalitas tertentu.Perjanjian ini termasuk semua syarat-syaratnya secara material benar-benar ditentukan oleh para pihak sepenuhnya, jadi kata sepakat pada perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan merupakan dasar atau landasan bagi ada atau tidak adanya perjanjian asuransi.
Mengenai hal ini undang-undang ternyata mempunyai sikap yang mendua. Pada satu sisi dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa perjanjian asuransi harus diadakan atas dasar adanya akta yang disebut polis, sebagaimana diatur di dalam pasal 255 KUH Dagang, yang menyatakan bahwa “suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis.” Ketentuan tersebut kemudian disusul dengan ketentuan pasal 256 yang mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat disebut sebagai polis.
Polis sebagai suatu akta yang yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung terhadap penanggung. Hal tersebut manakala di kemudian hari terjadi konflik hukum dintara para pihak yaitu antara penanggung dan penanggung, keberadaan polis akan dijadikan sebagai alat bukti adanya perjanjian asuransi.
1.      Pembuktian Sebelum Polis Dikeluarkan atau Ditebitkan
Upaya pembuktian bahwa telah ditutupnya suatu perjanjian asuransi atau pertanggungan dalam hal belum dikeluarkannya polis oleh pihak penanggung, satu-satunya dasar ialah pasal 258 ayat 1 dan 2.
Pasal 258 menyebutkan:
“Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Namun demikian bolehlah ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti; tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan-ketentuan undang-undang, atas ancaman-ancaman batal, diharuskan dibuktikan dengan tulisan”.

Pembuktian sebelum polis dibuat, mungkin sekali dibutuhkan apabila misalnya peristiwa yang tidak tertentu itu sudah terjadi, sedangkan polisnya sendiri kebetulan belum dibuat atau belum diserahkan kepada tertanggung. Pada keadaan demikianlah dibutuhkan adanya pembuktian lain dengan tulisan. Dalam hal pembuktian mengenai masa sebelum polis dibuat dibedakan dalam hal-hal sebagai berikut ;
1)      Pembuktian tentang diadakannya perjanjian pertanggungan itu hanya dapat dibuktikan dengan surat.[7] Pembuktian dengan “surat” disini berarti dengan tulisan. Sesudah ada permulaan pembuktian dengan surat, maka dapat dipergunakan atau memakai alat-alat bukti yang lain. Apabila tidak dapat dipergunakan pembuktian dengan surat, maka dapat dapat dipakai sumpah decisoir.[8]
Perhatikan pasal 258 ayat 1 :
“ untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan”

2)      Pembuktian tentang atau mengenai syarat-syarat atau janji khusus didalam perjanjian pertanggungan dapat dibuktikan dengan semua alat-alat pembuktian berdasarkan pasal 258 ayat 2 KUHD[9]. Semua janji. Kecuali yang disebut dalam polis dapat dibuktikan dengan semua alat bukti.
3)      Pembuktian untuk janji-janji khusus yang harus dimuat dalam polis, artinya bahwa janji itu tidak dimuat dalm polis,pertanggungan itu akan menjadi batal, maka kita harus memakai alat bukti surat.[10]Yang termasuk dalam golongan ini ( janji-janji khusus) adalah  Pertanggungan atas laba yang diharapkan, perhaitkan pasal 615 ayat 1 KUHD dan Pertanggungan atas kapal-kapal atau barang-barang yang sudah berangkat, perhatikan pasal 603 KUHD.[11]
2.      Pembuktian Sesudah Dikeluarkannya atau Diterbitkannya Polis
Dalam periode setelah penyerahan polis, atau alat bukti yang sangat penting ialah tulisan atau surat serta permulaan pembuktian dengan surat. Dalam arti luas hal ini yang dimaksud tentu saja polis dengan seluruh persyaratannya.Hal ini berlaku mengenai diadakannya perjanjian pertanggungan maupun tentang janji-janji khusus.Keduanya hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis, perhatikan pasal 258 KUHD. Kiranya pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pembuktian sesudah polis dikeluarkanpun tetap bermula dengan  suatu tulisan (dalam hal ini yang dimaksud adalah polis). Dalam praktik hal ini dapat terjadi, dimulai permintaan menjadi nasabah dan ditambah dengan polis itu sendiri yang akhirnya keduanya merupakan suatu alat bukti yang lengkap dalam satu kesatuan disini ialah permintaan atau pernyataan menjadi nasabah yang ditanda tangani oleh calon nasabah dengan polis yang dikeluarkan oleh penanggung dan ditanda tangani oleh penanggung.Polis yang dikeluarkan dan ditanda tangani oleh penanggung, sebenarnya hanyalah mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna untuk kepentingan tertanggung atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya dan hanya mempunyai kekuatan terhadap penanggung yang bersangkutan saja.Artinya penanggung dengan siapa tertanggung mengadakan perjanjian asuransi atau pertanggungan.[12]
Sebaliknya penanggung tidak dapat mengajukan polis sebagai alat bukti surat terhadap tertanggung. Dalam hal ini dapat saja penanggung juga mempergunakan tulisan sebagai alat bukti yang pertama ialah dengan surat atau permintaan menjadi nasabah. Naskah permintaan menjadi nasabah sesuatu perusahaan pertanggungan biasanya selalu tersedia. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa permohonan menjadi nasabah dan polis (yang dilekatkan satu dengan yang lain) merupakan alat bukti yang lengkap bagi suatu perjanjian pertanggungan.[13]

3.      Kekuatan mengikatnya Polis sebagai alat bukti

Alat bukti dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 164HetHerziene Inlandsch Reglement(“HIR”)junctoPasal 1866KUHPerdata adalah:
a)      bukti tertulis;
b)      bukti saksi;
c)      persangkaan;
d)     pengakuan;
e)      sumpah.
Keberadaan polis merupakan alat bukti tertulis. Walaupun secara dibuat secara  formil tetapi karena tidak dibuat didepan pejabat, maka polis bukan merupakan suatu akta otentik melainkan akta dibawah tangan.[14]Dalam acara perdata bukti tulisan merupakan alat bukti yang penting dan paling utama dibanding dengan yang lain.
Pasal 288 RBg dan Pasal 1875 KUHPerdata menentukan bahwa bila tanda tangan suatu akta di bawah tangan telah diakui atau dianggap diakui menurut undang-undang, akta tersebut bagi yang menandatangani ( mengakui ), ahli waris, dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta otentik. Tanda tangan dari si penanda tangan akta memberi pengesahan atas kebenaran isi materiil yang tertera  ( tercantum ) dalam   akta tersebut.
Mengenai daya kekuatan pembuktiannya, Yahya Harahap menyebutkan bahwa untuk Akta di Bawah Tangan memiliki 2 (dua) jenis daya kekuatan yang melekat padanya yaitu:
1)      Daya Kekuatan Pembuktian Formil;
Bila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut telah diakui, maka hal tersebut berarti bahwa keterangan atau   pernyataan di dalam akta tersebut adalah dibuat oleh si yang bertanda tangan tersebut. Kekuatanpembuktian formal aktadibawah tangan sama  dengan   kekuatan formal akta otentik. Dalam hal ini berarti telah terdapat suatu kepastian bagi siapa pun, bahwa si yang bertandatangan dalam akta di bawah tangan tersebut menyatakan seperti apa yang ada di atas tanda tangan tersebut.
Atau secara jelas disebut sebagai berikut:
a)      Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta;
b)      Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.
2)      Daya Pembuktian Materiil.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata  dan Pasal 288 RBg, berarti isi keterangan akta di bawah tangan tersebut  berlaku penuh terhadap si pembuat dan untuk siapa pernyataan tersebut dibuat. Dengan demikian akta dibawah tangan hanya memberikan pembuktian material yang cukup atau sebagai bukti yang sempurna terhadap orang yang menandatanganinya, ahli warisnya atau orang yang mendapatkan hak darimereka.Sedangkan terhadap pihak ketiga kekuatan pembuktiannya adalah bergantung kepada penilaian hakim.Akta di bawah  tangan  yang diakui isi dan tanda tangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama   dengan   akta   otentik,   bedanya   terletak   pada   kekuatan bukti lahir atau kekuatan   bukti   keluar yang  tidak  dimiliki   oleh   akta di bawah tangan. Atau secara jelas disebutkan sebagai berikut :
a)      Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar;
b)      Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari padanya;[15]
Dengan demikian berdasarkan pada penjelasan tersebut diatas maka apabila para pihak telah memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu para pihak telah mengakui kebenaran akta/polis tersebut, maka polis tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata.
Bukti sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan ( tengen bewijs). Jadi   dengan bukti   sempurna   yang   diajukan   tersebut,   memberikan   kepada  hakim kepastian yang cukup, akan tetapi masih  dapat dijatuhkan oleh bukti sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar   dan   harus    diterima   kecuali    tergugat   dengan   bukti sangkalannya  ( tengen bewijs ) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.[16]

BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka yang dapat disimpulkan adalah :
1.      Polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung
2.      Kekuatan hukum mengikat polis sebagai alat bukti adalah :
a.       Daya Kekuatan Pembuktian Formil bahwa Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta; dan tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.
b.      Daya Pembuktian Materiil adalah Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar; dan Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari padanya;
Dengan demikia apabila para pihak telah memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu para pihak telah mengakui kebenaran akta/polis tersebut, maka polis tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata.

3.2.       Saran



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad, 2002, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya, Bandung,
Emmy Pangaribuan Simanjutak, I990, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
H.Mashudi & Moch. Chidir Ali, I998, Hukum Asuransi, Mandar Maju, Bandung,
M. Suparman S. dan Endang, 1993, Hukum Asuransi, Alumni, Bandung,
Sri Rejeki Hartono, 2001, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta
Hari   Sasangka, 2005,  Hukum   Pembuktian   dalam   Perkara   Perdata   untuk   Mahasiswa   dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung,

Artikel internet dan lainnnya
www. hukumonline.com
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian



[1] Ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
[2] Sri Rejeki Hartono, 2001, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, hal.123-124
[3]H.Mashudi & Moch. Chidir Ali, I998, Hukum Asuransi, Mandar Maju, Bandung, hal. 59
[4] Abdul Kadir Muhammad, 2002, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hal.59
[5]Ibid
[6] M. Suparman S. dan Endang, 1993, Hukum Asuransi,Alumni, Bandung, hal.25
[7]Emmy Pangaribuan Simanjutak, I990, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.24
[8] Sri Rejeki Hartono, 2001, Op.Cit. hal132
[9] Emmy Pangaribuan, ibid
[10]Ibid, hal.25
[11] Sri Rezeki Harttono, Op.Cit.hal.I33
[12] Sri Rejeki Hartono, 2001, Op.Cit. hal. 133-134
[13]Ibid
[14] H.Mashudi & Moch.Chidir Ali, Op.Cit.hal.7I
[15]www. hukumonline.com, Klinik,di akses tanggal I3 februari 20I2
[16] Hari   Sasangka, 2005,  Hukum   Pembuktian   dalam   Perkara   Perdata   untuk   Mahasiswa   dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, hlm. 19.

1 komentar: