Assalamualaikum..wr...wb...

Selamat datang di bolg ini....meskipun jauh dari kesempurnaan tetapi berharap dapat memberikan sedikit kontribusi yang bermanfaat bagi anda semua

Sabtu, 01 September 2012

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NASABAH PENYIMPAN DANA DALAM KASUS PEMBOBOLAN REKENING ( Studi Kasus Citybank )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bank yang dengan fungsinya antra lain sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana ( surplus of fund ) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana ( lock of funds )serta melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sector perekonomian masyarakat. Dengan kondisi demikian, maka bank adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat.Guna mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga ataupun oknum pegawai bank yang tidak bertanngunjawab dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.[1]
Fockema Andrea menyatakan yang dimaksud dengan bank ialah:“suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. Berhubung dengan adanya cek yang hanya dapat diberikan kepada bankir sebagai tertarik, maka bank dalam arti luas adalah orang atau lembaga yang dalam pekerjaannya secara teratur menyediakan uang untuk pihak ketiga.”[2]

Pada prinsipnya hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dananya dilandasi hubungan kepercayaan, yang lazimnya disebut fiduciary relation. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya. Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya di bank, semata­-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat dipe­rolehnya kembali pada waktu yang diinginkan yang disertai dengan imbalan pula. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana terhadap suatu bank telah berkurang, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rush terhadap dana yang disimpannya.[3]
Nasabah penyimpan dana adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998).
Ketidakpercayaan pada industri perbankan dapat menjadikan industri tersebut ambruk dalam waktu sekejap. Saat ini Indonesia sedang merasakan betul arti penting kepercayaan pada dunia perban­kan: sebuah pelajaran yang harus dibayar dengan mahal. Sesungguhnya hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana bukan sekadar hubungan kontraktual  biasa antara debitur (bank) dan kreditor (nasabah penyimpan dana) yang diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tetapi juga hubungan keper­cayaan yang diliputi asas kepercayaan. Pengakuan tersebut membawa konsekuensi bahwa hubungan antara bank tidak boleh hanya mem­perhatikan kepentingannya sendiri semata-mata, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan nasabah penyimpan dana.[4]
Berbeda dengan industri lainnya, maka pengaturan industri perbankan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah.Hal ini dilaku­kan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan dan praktik-praktik yang tidak terpuji yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.Kenyataan menunjukkan di manapun industri per­bankan merupakan industri yang paling banyak diatur pemerintah dibandingkan dengan industri-industri lainnya. Sebab karenakegiatan perbankan lebih banyak tergantung kepada dana masyarakat sehingga perlu dijamin kepastian keamanaanya. Selain itu, penyalur­an dana perbankan merupakan bisnis berisiko tinggi, yang apabila tidak dikelola dengan baik dapat menganggu tidak hanya kelangsungan usaha bank itu sendiri, namun juga sistem perbankan dan kesta­bilan moneter.
Mengembalikan kepercayaan masyarakat dan sekaligus melindungi hak-hak penyimpan dana, akhirnya pemerintah menge­luarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presi­den Nomor 1993 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan Bank Perkreditan Rakyat, yang pada intinya memberi perlindungan hukum secara langsung kepada nasabah penyimpan dana terhadap kegagalan Bank Umum maupun BPR dalam memenuhi kewajibannya Sebelum dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998, perlindungan terhadap nasabah sangat minim dalam badan hukum perbankan Indonesia. [5].
Perlindungan hukum penting mengingat bank merupakan lembaga keuangan yang dalam pelaksanaannya tidak bisa lepas dari peran para nasabah, karena hubungan hukum nasabah dengan bank merupakan hubungan hukum yang tercipta atas dasar kepercayaan ( fiduciary relation).
            Kepercayaan terhadap lembaga perbankan kembali diguncang setelah tahun 2011 yang lalu para nasabah indonesia kembali digemparkan dengan adanya kasus pembobolan citybank. Malinda Dee mantan senior Relationship Manager Citibank diduga melakukan tindak pidana pencucian dana nasabah Citybank sebesar lebih dari Rp 16 milyar. Nasabah-nasabah yang ditangani Malinda biasanya adalah nasabah kelas kakap dengan dana lebih dari Rp 500 juta. Sedangkan bank-bank di Indonesia masih didominasi bukan oleh nasabah seperti itu.Motif pelaku adalah untuk memuaskan dan menyenangkan suami keduanya yaitu Andhika Gumilang. Modus Operandi yang dilakukan pelaku sebagai karyawan bank adalah dengan sengaja melakukan pengaburan transaksi dan pencatatan tidak benar terhadap bebrapa slip transfer. Slip transfer digunakan untuk menarik dana pada rekening nasabah dan memindahkan dana milik nasabah tanpa seizin nasabah ke beberapa rekening yang dikuasai oleh pelaku. Pelaku mengalirkan hasil penggelapan dana nasabah Citibank ke 30 rekening. Total dana yang digelapkan pelaku diduga mencapai lebih dari Rp 16 milyar. Dana tersebut dibelanjakan barang mewah berupa empat mobil mewah dan dua apartemen yang saat ini disita polisi.[6]
Pada tataran sosiologis bank merupakan sebuah sub sistem hukum. Sebagai sub sistem hukum maka dalam pelaksanaannya melibatkan tiga unsur pokok sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman[7] dalam teorinya yaitu : Pertama adalah substansi hukum,yaitu menyangkut peraturan yang berkaitan dengan bank dalam hal ini hak-hak nasabah penyimpan dana bila adanya pembobolan rekening nasabah  kedua struktur hukum, adalah berkaitan dengan pihak-pihak yang berperan dalam penegakkan hukum perbankan masih selalu menemui berbagai kendala dilapangan, dan ketiga adalah culture hukum, merupakan budaya hukum masyarakat terutama para nasabah penyimpan dana dalam hal ini belum sepenuhnya mengetahu akan hak-haknya yang seyogyanya secara hukum butuh perlindungan kepastian hukum. Berdasarkan pada hal tersebut penulis ingin mengkaji kasus citybank ini dalam penulisan makalah ini.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat diatas maka masalah pokok yang akan diteliti adalah:
1.      Bagaimana bentuk perlindungan hukum kepada nasabah penyimpandana pada Citybank menurut ketentuan peraturan perundang-undangan?
2.      Bagaimana Penegakkan Hukum Dalam Pembobolan rekening nasabah dalam pendekatan Teori Friedman ?
 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana Menurut Ketentuan Undang-Undang
Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998, bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Di antara usaha Bank Umum sebagaimana di atas, terdapat usaha yang lain yaitu menerbitkan surat pengakuan hutang, membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan atas perintah nasabahnya. Usaha Bank Umum dalam menghimpun dana dari masyarakat berbentuk simpanan, pengertian simpanan ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 1998, bahwa “Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU No. 10 Tahun 1998 hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana terdapat dua hubungan, yaitu:
1)      hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, dan
2)      hubungan yang didasarkan perjanjian penyimpanan.
Ronny Sautma Hotma Bako mengemukakan bahwa hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada 2 unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan.[8]
Hubungan hukum antara bank dengan nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur berdasarkan atas suatu perjanjian. Dengan demikian hubungan antara bank dengan nasabah didasarkan pada hubungan kepercayaan dan hubungan hukum.Hubungan atas dasar kepercayaan maksudnya nasabah menyimpan uangnya pada bank didasarkan atas kepercayaan bahwa bank mampu mengelola sejumlah uang yang disimpan tersebut. Sedangkan hubungan hukum, yaitu hubungan yang menimbulkan akibat hukum yang mengikat antara pihak bank dengan pihak  nasabah pengguna jasa bank yang bersangkutan.
Munir Fuady mengatakan  hubungan hukum antara bank dan nasabah terdiri dari dua bentuk, yaitu:
1)      hubungan  kontraktual, dan
2)      hubungan  non kontraktual.[9]
Hukum kontrak yang mengatur hubungan hukum antara bank dengan nasabah menurut Munir Fuady bersumber dari ketentuan-ketentuan buku III (Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagai aturan yang bersifat umum. Selain itu didasarkan atas aturan-aturan yang bersifat khusus mengenai pinjam pakai habis Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata[10].
Hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan dana dalam produk perbankan yang berupa tabungan tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur, sehingga hubungan hukum yang digunakan didasarkan atas kontraktual yang bersifat umum. Jadi hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana didasarkan atas perjanjian meminjam yang artinya bank menempatkan diri sebagai peminjam dana dari nasabah sehingga bank berhak memakai dana tersebut, dan bank mempunyai kewajiban kepada nasabah untuk mengembalikan dana apabila ditagih oleh nasabah atau telah jatuh tempo.
Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan antara bank dengan nasabah yang berdasarkan hubungan kontraktual dapat terjadi dalam tiga jenis, yaitu:
1)      sebagai hubungan debitur (bank) dan kreditur (nasabah);
2)      sebagai hubungan kontraktual lainnya yang lebih luas dari hanya sekedar hubungan antara debitur dengan kreditur;
3)      sebagai hubungan implied contract yaitu hubungan kontrak yang tersirat.[11]
            Hubungan antara bank dengan nasabah dalam menjalankan kegiatan usahanya, menimbulkan dua sisi tanggung jawab, yaitu kewajiban yang terletak pada bank itu sendiri dan kewajiban yang menjadi beban nasabah penyimpan dana sebagai akibat hubungan hukum dengan bank.[12]Hak dan kewajiban antara bank dengan nasabah diwujudkan dalam suatu bentuk prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah.
            Kewajiban bank terhadap nasabah di antaranya sebagai berikut:
1)      kewajiban bank untuk tetap menjaga rahasia keuangan nasabah, yaitu “segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998);
2)      kewajiban bank untuk mengamankan dana nasabah, yang dalam kaitannya dengan tanggung jawab mengamankan uang nasabah perlu mengadakan suatu jaminan simpanan uang pada bank.
3)      Kewajiban untuk menerima sejumlah uang dari nasabah, dengan mengingat fungsi utama perbankan sebagai penghimpun dana masyarakat, maka bank berkewajiban untuk menerima sejumlah uang dari nasabah atas produk perbankan yang dipilih, seperti tabungan dan deposito.
4)      Kewajiban untuk melaporkan kegiatan perbankan secara transparan kepada masyarakat. Adapun kewajiban yang dimaksud adalah bank wajib melaporkan kegiatan banknya kepada masyarakat secara transparan, artinya selama kurun waktu tertentu.
5)      Kewajiban bank untuk mengetahui secara mendalam tentang nasabah-nya. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban ini adalah bank wajib meminta keterangan bukti diri dari nasabah, dengan maksud mencegah hak-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari apabila seseorang akan mengambil atau menarik uangnya dari bank yang bersangkutan.
Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak nasabah di antaranya:
1)      nasabah berhak untuk mengetahui secara terinci tentang produk-produk perbankan yang ditawarkan. Hak ini merupakan hak utama nasabah, karena tanpa penjelasan secara terinci dari bank melalui customer servicenya, maka sangat sulit nasabah untuk memilih produk perbankan yang sesuai dengan kehendak nasabah, hak-hak yang akan diterima oleh nasabah apabila nasabah akan menyerahkan dananya kepada bank untuk
dikelola;
2)      nasabah berhak untuk mendapatkan bunga atas produk tabungan dan deposito yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.
            Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nasabah penyimpan dana perlu mendapatkan perlindungan hukum atas dana yang disimpannya tersebut, karena masyarakat menyimpan dananya hanya didasarkan atas kepercayaan bahwa nasabah percaya dana yang disimpan akan digunakan oleh bank sesuai dengan usaha bank dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan usaha bank. Pada kondisi yang demikian ini perlu ada suatu pengawasan terhadap bank tersebut agar dengan pengawasan tidak mengakibatkan timbulnya suatu kerugian bagi nasabah.
Perlindungan hukum tersebut antara lain diatur dalam Pasal 29 UU Perbankan tentang pembinaan dan pengawasan perbankan, yang mengatakan bahwa :
1.      Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
2.      Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
3.      Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan atau kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.
Bank harus memelihara tingkat kesehatan, untuk dalam pelaksanaannya bank harus menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian, dan Bank Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan bank.Pembinaan dan pengawasan bank merupakan suatu ketentuan dalam UU Perbankan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap bank yang bersangkutan dan nasabah penyimpan, karena itu jika terjadi pelanggaran kewajiban bank yang berkaitan dengan ketentuan yang mengatur prinsip kehati-hatian, pembinaan dan pengawasan ini, bank dikenai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 52 UU Perbankan yang berupa teguran tertulis, dan pelanggaran itu dapat diperhitungkan dengan komponen tingkat kesehatan bank, bahkan bank dapat diberikan sanksi pencabutan izin usaha, dan dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan maka Direksi dari bank yang bersangkutan dapat diadukan oleh nasabah sebagai telah melaksanakan tindak pidana dan dijatuhi sanksi pidana.[13]
Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya harus dengan prinsip kehati-hatian, dan dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, maka bank harus memiliki pengawasan internal yang cukup untuk kompleksitas kegiatan usahanya. Untuk itu Bank Indonesia telah mengeluarkan Ketentuan Satuan Kerja Audit Intern, Direktur Kepatuhan, Penerapan Manajemen Risiko, di dalam ketentuan-ketentuan tersebut telah mengatur mengenai pengawasan internal bank.
Satuan Kerja Audit Intern SKAI Bank Umum : PBI No.1/6/PBI/1999 tanggal 17 Desember 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. Ketentuan SKAI Bank Umum : Bank Umum diwajibkan membentuk SKAI sebagai bagian dari penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank. SKAI merupakan satuan kerja yang bertanggung jawab langsung kepada direktur utama. SKAI bertugas dan bertanggung jawab untuk :
1.      membantu tugas direktur utama dan dewan komisaris dalam melakukan pengawasan dengan cara menjabarkan secara operasional baik perencanaan, pelaksanaan maupun pemantauan hasil audit;
2.      membuat analisis dan penilaian di bidang keuangan, akutansi, operasional dan kegiatan lainnya melalui pemeriksaan langsung dan pengawasan tidak langsung;
3.      Mengidentifikasi segala kemungkinan untuk memperbaiki dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana; d. Memberikan saran perbaikan dan informasi yang obyektif tentang kegiatan yang diperiksa pada semua tingkatan manajemen.
Direktur Kepatuhan : PBI No.1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum. Ketentuan Direktur Kepatuhan : Bank Umum wajib menugaskan salah seorang anggota direksi atau anggota pimpinan Kantor Cabang Bank Asing sebagai Direktur Kepatuhan yang bertugas untuk :
1.      menetapkan langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan bank telah memenuhi seluruh peraturan BI dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian;
2.      memantau dan menjaga agar kegiatan usaha bank tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
3.      memantau dan menjaga kepatuhan terhadap seluruh perjanjian dan komitmen yang dibuat oleh bank kepada BI.
Penerapan Manajemen Risiko : PBI No.9/15/2007 tanggal 30 November 2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan tehnologi Informasi oleh Bank Umum. PBI No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.PBI No.8/6/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Penerapan Manajemen Risiko Secara Konsolidasi.SE No.6/18/DPNP tanggal 20 April 2004 perihal Penerapan Manjemen Risiko pada Aktivitas Jasa Pelayanan Melalui Internet.SE No.6/43/DPNP tanggal 7 Oktober 2004 perihal Penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan kerjasama pemasaran dengan perusahaan asuransi (bancassurance).SE No.7/19/DNDP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada aktivitas berkaitan dengan reksadana.PBI No.8/9/PBI/2006 tentang perubahan PBI No.7/25/PBI/2005 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum. Ketentuan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum : Dengan semakin pesatnya perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan yang akan diikuti dengan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha, bank diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko secara efektif. [14]Penerapan tersebut sekurang-kurangnya mencakup :
1.      pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi;
2.      kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
3.      kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
4.      sistem pengendalian intern yang menyentuh. Penerapan Manajemen risiko disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank.
Bank yang memiliki ukuran dan kompleksitas usaha tinggi wajib menerapkan manajemen risiko untuk 8 jenis risiko, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko strategik dan kepatuhan.Bank diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Profil Risiko kepada Bank Indonesia secara triwulanan, yaitu untuk posisi bulan Maret, Juni, September dan Desember.Laporan Profil Risiko tersebut disampaikan pertama kali untuk posisi bulan Maret 2005. Dalam menerapkan proses dalam sistem manajemen risiko bank wajib membentuk :
1.      Komite Manajemen Risiko yang sekurang-kurangnya terdiri dari mayoritas Direksi dan pejabat eksekutif terkait.
2.      Satuan kerja Manajemen Risiko, yang independen dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama atau kepada Direktur yang ditugaskan secara khusus. Bank juga diwajibkan untuk mengungkapkan risiko yang melekat pada produk dan aktivitas baru kepada nasabah.
Jika dilihat kasus-kasus pembobolan uang nasabah bank seperti di Citibank yang melibatkan orang dalam atau pegawai bank sendiri, maka pada hakekatnya pembobolan uang nasabah bank, disebabkan karena bank kurang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian, kurang memiliki pengawasan internal yang cukup untuk kompleksitas kegiatan usahanya, oleh karena itu agar kasus-kasus yang demikian tidak terulang atau dapat diminimalisir, maka sudah seharusnya bank menjalankan kegiatan usahanya dengan prinsip kehati-hatian dan meningkatkan pengawasan internalnya. Bank Indonesia selaku lembaga yang mempunyai otoritas terhadap pengawasan perbankan lebih meningkatkan lagi pengawasannya dengan mencegah agar bank tidak melakukan penyimpangan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan perbankan yang telah ditetapkan sebagai tindakan preventif dan melakukan tindakan korektif/perbaikan bahkan memberikan sanksi yang tegas terhadap bank yang telah berani melakukan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang telah ditetapkan sebagai tindakan represif.[15]
2.2        Bagaimana Penegakan Hukum Pembobolan Rekening Nasabah dalam Pendekatan Teori Friedman
1.      Substansi Hukum ( Masih terdapat Kelemahan dalam Undang-Undang )
Undang-Undang Perbankan telah memuat berbagai ketentuan pidana yang mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dilakukan oleh pegawai bank.Namun, masih banyak perilaku pidana oleh orang dalam yang belum diatur.UU Perbankan juga belum banyak mengkriminalisasi kejahatan terhadap bank yang dilakukan oleh orang luar.Seyogianya kejahatan terhadap bank, baik yang dilakukan oleh orang dalam maupun orang luar, dapat diatur pula dalam UU Perbankan. Di Amerika Serikat, misalnya, hal tersebut diatur secara khusus dalam Bank Fraud Statute di Title 18 of The US Code.Disarankan agar ketentuan pidana dalam UU Perbankan baru, yang saat ini sedang disusun oleh BI, diatur lebih luas ketimbang UU Perbankan yang sekarang berlaku.Berbagai perilaku pidana, baik oleh orang dalam maupun orang luar, dapat pula dipertimbangkan untuk dikenai pidana berdasarkan UU Tipikor No 31/1999 juncto UU 20/2001 atau UU Pencucian Uang No 8/2010.
Sistem pencegahanada beberapa cara untuk memperkecil terjadinya pembobolan bank di Indonesia.
1)      BI menetapkan secara seragam sistem pengamanan yang harus dimiliki dan diaplikasikan setiap bank. BI hendaknya menyewa konsultan teknologi pengamanan bank dan konsultan tersebut mampu menciptakan serta menerapkan teknologi itu. Setiap tahun setiap bank menyisihkan dana dengan persentase tertentu, misalnya 5 persen dari keuntungannya, untuk membiayai penciptaan dan penerapan sistem pengamanan tersebut.
2)      BI setiap tahun harus melaksanakan pemeriksaan (audit) secara intensif terhadap setiap kantor cabang bank. Mengingat dalam pelaksanaannya BI mungkin tidak memiliki auditor yang cukup, hendaknya BI segera menggunakan kewenangannya yang ditentukan dalam Pasal 31A UU Perbankan No 7/1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No 10/1998 (UUPB). Ketentuan serupa juga disebutkan dalam Pasal 30 Ayat (1) UU BI No 23/1999. Ketentuan tersebut menentukan bahwa BI dapat menugasi akuntan publik untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan terhadap bank.
3)      Setiap bank wajib secara intensif melakukan audit intern yang dilakukan oleh satuan pemeriksa intern (SPI) bank tersebut. Hasil pemeriksaan SPI wajib disampaikan kepada BI di samping kepada dewan komisaris bank masing-masing. Pelaksanaan audit oleh SPI wajib dipastikan oleh BI dengan audit oleh BI. Keempat, semua calon karyawan bank wajib menjalani tes psikologis untuk memastikan bahwa calon pegawai tidak memiliki watak yang cenderung jaha. [16]
Menyikapi kasus Citibank Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi mengatakan bahwa Bank Indonesia sudah melakukan penelusuran dan memberi penilaian berdasarkan penelusuran itu.Sanski yang diberikan berdasarkan penilaian itu tetapi masih ada kemungkinan lebih berat ada ukurannya sanksi itu diberikan.BI telah memberikan tiga sanksi terhadap Citibank dalam kasus pembobolan rekening yang dilakukan mantan pegawainya Malinda Dee dan tewasnya Irzen Octa, setelah memproses tagihan kartu kreditnya. Sanksi itu berupa :[17]
1.      larangan Citibank untuk menerima nasabah Citigold (segmen nasabah kaya) selama satu tahun
2.      Citybank dilarang menerbitkan kartu kredit selama dua tahun dan
3.      Citybank dilarang melakukan penagihan kartu kredit oleh pihak ketiga selama dua tahun
2.      Stuktur Hukum ( Penegakkan Hukum Terhadap Pembobolan Rekening Belum Sepenuhnya Berjalan dengan Baik )
Menghadapi berbagai pembobolan bank di Indonesia, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas perbankan, pemerintah, dan kepolisian sebagai penegak hukum harus menyikapinya secara serius. Apabila masyarakat tidak memperoleh kesan bahwa instansi tersebut bersikap serius, kepercayaan masyarakat kepada perbankan akan tererosi.Sebagian besar bank bekerja dengan dana masyarakat (deposito, giro, tabungan, atau bentuk lain). Sekali terjadi keruntuhan suatu bank karena sebab apa pun, keruntuhan tersebut akan menular ke bank-bank lain. Nasabah dari bank-bank lain akan ramai-ramai menarik dana simpanannya. Karena perbankan merupakan bagian dari sistem moneter, kehancuran suatu bank yang menular ke bank-bank lain (berdampak domino) pada gilirannya akan menghancurkan sistem moneter negara.
Setiap bank pasti memiliki sistem pengamanan. Namun, secanggih dan seketat apa pun sistem pengamanan, tetap saja bank rentan terhadap pembobolan karena bank yang secara teknologi telah menggunakan sistem komputer mungkin saja masih bisa dibobol oleh para peretas (hacker). Pembobolan bank sudah terjadi sejak dunia mengenal bank.Kasus pembobolan bank mungkin saja dapat ditekan, tetapi tidak mungkin dapat dihilangkan.Sekalipun banyak manusia yang baik, selalu saja ada yang memiliki kecenderungan berbuat jahat dan tergoda membobol bank.Para pembobol tersebut dapat terdiri atas orang dalam saja (tanpa melibatkan orang luar), orang luar saja (tanpa melibatkan orang dalam), orang luar bekerja sama dengan orang dalam, atau sebaliknya. Pembobolan bank di Indonesia yang dilakukan oleh satu saja orang dalam biasanya tidak bernilai besar.Contohnya adalah pembobolan rekening tabungan.
Ada tiga hal mendasar yang menyebabkan kasus pembobolan bank di Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan
1.      Rusaknya Fungsi Hukum Sebagai Rambu-Rambu Kejahatan.
Selama ini tidak ada hukuman berat terhadap pelaku pembobol bank sehingga kemudian beredar pemeo di kalangan pembobol bank, ”Kalau membobol bank jangan tanggung-tanggung. Yang besar sekalian.Setelah itu cukup keluar beberapa miliar rupiah untuk oknum penegak hukum maka semuanya akan beres.”
2.      Lemahnya Sistem Pengawasan Bank Indonesia (BI)
Mengingat keterbatasan SDM sehingga mereka mengalami kesulitan mengawasi kantor-kantor cabang terutama di daerah-daerah, meskipun di daerah itu terdapat kantor perwakilan BI. Dalam hal ini, bank sentral itu mestinya bisa menggunakan instrumen forum bankir di daerah untuk memperbaiki kontrol internal bank.
3.      Lemahnya koordinasi BI pusat dan daerah.
Fungsi monitoring BI hanya mengandalkan laporan bank itu.Akses BI ke informasi bank sangat terbatas sehingga jika terjadi pembobolan, sudah terlambat bagi BI untuk melakukan sesuatu. Kondisi inilah yang perlu dibenahi, artinya ke depan BI tidak boleh hanya mengandalkan laporan dari bank, namun harus proaktif menggali informasi di luar laporan bank.[18]
Mengapa begitu banyak bank yang dijebol. Salah satu jawabannya adalah karena lemahnya proses internal perbankan. Itu sebabnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah, mendesak agar bank bertanggungjawab atas kasus pembobolan.Sebab, “Dalam beberapa kasus terjadi karena kelemahan proses internal perbankan” ujarnya. Kelemahan internal bank itu antara lain.[19]
1.      Pertama, pengawasan dan supervisi atasan tidak optimal. Supervisi yang tidak optimal itu diperparah kolusi antar oknum pegawai bank.
2.      Kebiasaan nasabah yang mudah percaya pada pegawai bank. Kepercayaan itu dimanfaatkan oleh oknum pegawai bank. Karena lemahnya supervisi dan pengawasan, maka bank-bank itu harus diberi peringatan. Jika tidak memperbaiki diri patut diberi sanksi.

Mencegah agar tidak terjadi lagi kasus pembobolan bank, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini BI).
1.      memperkuat penegakan hukum. Cara ini memang klise, namun untuk mewujudkan law enforcement, salah satu prasyarat utamanya adalah membersihkan aparat penegak hukum. Jika jaksa, polisi, ataupun hakim masih kotor, maka penegakan hukum sulit diwujudkan.
2.      memperbaiki dua kelemahan mendasar BI: pengawasan dan koordinasi. Dua hal ini harus terus-menerus diperbaiki karena selama ini dijadikan jalan bagi pembobol bank untuk beraksi. Sistem perbankan sebenarnya cukup kuat untuk mencegah pembobolan oleh orang dalam tapi faktanya tidak bisa menjamin 100%.
3.      memperketat proses perekrutan SDM perbankan sehingga yang diterima benar-benar yang mempunyai kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari sisi skill dan knowledge namun lebih penting dari itu attitude, yang menyangkut kejujuran dan komitmen tinggi pada profesi bankir. Semuanya harus dipenuhi guna menjaga keberlangsungan bisnis perbankan mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan nasabah dan dunia usaha.[20]

3.      Budaya Hukum Nasabah ( Nasabah masih belum sepenuhnya memahami hak-haknya yang secara hukum perlu di lindungi )
Kita ketahui bahwa nasabah private banking di beberapa bank besar disyaratkan memiliki kisaran saldo di atas nasabah priority banking, jika nasabah priority banking disyaratkan dengan minimal sebesar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar maka di-private banking nasabah diharuskan memiliki kisaran saldo minimal sebesar Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar.Jika saldo masih di bawah jumlah tersebut maka nasabah belum dapat dimasukan kedalam katagori private banking.
Dari segi kuantitas, jumlah nasabah private banking memang tidak banyak, maksimal sebesar 0,08 persen dari jumlah seluruh rekening yang ada di perbankan di Indonesia, namun jika dihitung dari total aset keseluruhan nasabah private banking di Indonesia bisa mencapai di atas 36 persen dari seluruh nilai nominal aset dana (dana pihak ketiga) yang disimpan di perbankan yang ada di Indonesia.
Mengapa kasus tersebut menjadi menghebohkan?, tentu hal ini tidak terlepas dari besarnya nilai uang yang berhasil di bobolkan oleh seorang SRM pada bank asing tersebut (menurut informasi Rp 17 miliar, namun besar kemungkinan lebih dari 17 miliar). Pertanyaan yang paling sederhana mengapa dana tersebut berhasil dibobol oleh seorang Malinda Dee apa yang salah dari sebuah mekanisme kepercayaan nasabah kelas kakap kepada bank tersebut?, dapatkah hal tersebut dihindari?
Sebagaimana diuraikan di atas nasabah private banking merupakan kelompok tertinggi dari beberapa golongan nasabah di perbankan, maka sesuai dengan namanya kelompok nasabah ini mendapatkan layanan yang sangat personal, pelayanan serba personal ini mencakup wilayah yang juga sesungguhnya berada di luar bisnis utama perbankan itu sendiri yakni mengumpulkan atau menghimpun pendanaan, dikenal dengan istilah funding dan menyalurkan dana ke sektor riil dalam bentuk kredit atau dikenal dengan istilah lending. Pada kelompok nasabah ini banyak dana besar yang hanya diputarkan pada instrumen investasi di sektor finansial, sesungguhnya ranah investasi merupakan ranah perusahaan Manajer Investasi.
Jadi perbankan mendapatkan fee dari transaksi investasi yang dilakukan dan atau disetujui oleh nasabah, sampai disini memang sah-sah saja, namun disinilah letak permasalahannya.Jika kita berbicara investasi maka tentu tidak akan luput dari harapan nasabah untuk mendapatkan imbal hasil atau return, sementara return sangat erat kaitannya dengan risk atau resiko, nah di sinilah letak dasar pangkal hubungan yang erat antara nasabah dengan Relationship Manager (RM). Sang nasabah tentu tidak ingin dananya menjadi berkurang bahkan sebaliknya harapan untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi setidaknya berada dalam kisaran diatas rata-rata bunga deposito.
Sementara sang RM pun akan berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi keinginan nasabah. Pada titik ini seringkali nasabah diberikan anjuran atau masukan dari RM agar menjual untuk mengalihkan maupun menambah dana yang ada guna mencapai tingkat imbal hasil yang optimal tentu sesuai dengan produk finansial yang dapat ditransaksikan oleh bank bersangkutan.Anjuran tersebut tentu dilengkapi dengan suguhan data historis dan perkembangan kondisi ekonomi baik secara makro maupun mikro. Teknis anjuran atau masukan tersebut jika disetujui oleh nasabah akan dilanjutkan dengan mengisi formulir yang diperlukan, tentu formulir tersebut minimal harus di tanda tangani oleh nasabah, kemudian pihak RM hanya melanjutkan formulir tersebut kepada operation department, dan oleh operation department, nasabah tersebut akan dilakukan konfirmasi atau pengecekan ulang atas perintah yang telah ditanda tangani di formulir. Begitu seterusnya, singkat kata eksekusi atas dana pun dilakukan sesuai perintah pada formulir tersebut setelah dikonfirmasi.
Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dana, kepercayaan nasabah pun meningkat, sementara sering kali eksekusi dana tidak langsung dilakukan tetapi baru dapat dijalankan pada beberapa hari kedepan. Kondisi seperti ini maka potensi kecerobohan pun dimulai, formulir sudah ditanda tangani, sementara eksekusi dana belum dilakukan. Sang nasabah dalam hal ini tentu lebih beresiko.Nasabah menjadi lebih beresiko karena dalam sebuah insrtumen investasi sangatlah wajar bahwa harga yang tertera hari ini bukan merupakan jaminan untuk dapat dicapainya pada waktu kemudian hari. Bagaikan “membeli kucing di dalam karung”, yang ada adalah kepercayaan yang tinggi kepada sang RM, dengan kesepakatan yang kurang lebih adalah: Jika “harga tertentu” tercapai maka eksekusi dana baru akan dilakukan, dan berdasarkan “harga tertentu” tersebut pun transaksi dilakukan, laporan pun baik secara verbal maupun tertulis menyusul kemudian.
Pada transaksi awal nasabahpun masih waspada atas akurasi perintahnya, namun untuk transaksi berikutnya tingkat kepercayaan nasabah sudah melebihi tingkat kewaspadaannya, dengan alasan sibuk, tidak terlalu paham, sangat percaya pada RM dan lain-lain.Pada  kasus Malinda Deekemungkinan besar kebocoran terjadi pada titik tersebut. Dan sayangnya hal ini tidak disadari oleh nasabahnya.
Langkah apa yang harus dilakukan nasabah agar kasus diatas tidak menjadi bumerang bagi nasabah?,dalam hal ini nasabahpun wajib memiliki standar operasional prosedur  (SOP) agar kerugian dapar dihindari, berikut kiat-kiatnya:[21]
1.      Meminta kepada Relationship Manager untuk dikirimi (via elektronik) perkembangan harga meskipun transaksi dana belum dilakukan;
2.      Lakukan monitoring perkembangan harga, dilakukan secara independen melalui penyedia layanan monitoring investasi yang tidak terafiliasi dengan bank tersebut;
3.      Monitoring, sekali lagi menjadi penting karena monitoring ibarat anda menggunakan kendaraan dan melihat instrumen kendaraan yang tsb sedang berjalan (speedometer pada mobil, altimeter pada pesawat terbang, thermometer mesin, dll);
4.      Berikan batas waktu maksimal atas formulir yang telah ditandatangani, misalkan hanya berlaku 5 hari, lebih dari itu wajib untuk bertemu dan menada tangani formulir kembali;
5.      Hindari untuk berhubungan dengan Relationship Manager yang sama lebih dari 6 bulan;
6.      Tunjuk pihak ketiga yang mampu memberikan masukan ataupun pendapat tambahan secara objektif selain pihak Relationship Manager bank tersebut, misalkan seorang konsultan keuangan yang terakreditasi dan bersifat independen, tidak terafiliasi dengan institusi keuangan apapun.
Kiat-kiat diatas pada prinsipnya upaya untuk menggugah kesadaran hukum para nasabah agar prinsip kehati-hatian juga dibutuhkan oleh nasabah itu sendiri dalam kaitannya menjaga hak-haknya sebagai nasabah agar tidak disalahgunakan oleh oknum pegawai bank atau dalam kasus citybank adalah yang dilakukan oleh Malinda Dee selaku Relationship Manager.Malinda Dee memanipulasi kelemahan para nasabah untuk melakukan pembobolan rekening untuk kepentingan dirinya sendiri.


BAB III
PENUTUP
3.1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Bahwa nasabah penyimpan dana perlu mendapatkan perlindungan hukum atas dana yang disimpannya tersebut, karena masyarakat menyimpan dananya hanya didasarkan atas kepercayaan bahwa nasabah percaya dana yang disimpan akan digunakan oleh bank sesuai dengan usaha bank dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan usaha bank, karena hubungan antara bank nasabah merupakan yang didasarkan atas kepercayaan, dan  hubungan yang didasarkan perjanjian penyimpanan.
2.      Penegakkan hukum perbankan dalam kasus citybank dengan pendekatan teori Lawrence Friedman maka dapat dikatakan :
a.       Substansi Hukum ( Masih terdapat kelemahan dalam Undang-Undang ). Undang-Undang Perbankan telah memuat berbagai ketentuan pidana yang mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang dilakukan oleh pegawai bank. Namun, masih banyak perilaku pidana oleh orang dalam yang belum diatur.
b.      Stuktur Hukum ( Penegakkan hukum terhadap Pembobolan Rekening belum sepenuhnya berjalan dengan baik ). Menghadapi berbagai pembobolan bank di Indonesia, Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan, pemerintah, dan kepolisian sebagai penegak hukum harus menyikapinya secara serius. Apabila masyarakat tidak memperoleh kesan bahwa instansi tersebut bersikap serius, kepercayaan masyarakat kepada perbankan akan tererosi.Sebagian besar bank bekerja dengan dana masyarakat (deposito, giro, tabungan, atau bentuk lain).
c.       Budaya Hukum Nasabah ( nasabah masih belum sepenuhnya memahami hak-haknya yang secara hukum perlu di lindungi). Nasabah Citybank memiliki kepercayaan terhadap para Relationship Manager yang terlalu berlebihan, faktor tersebut didukung dengan kurangnya pemahamahan tentang hak-haknya sebagai nasabah sehingga kadang disalahgunakan untuk memanipulasi rekening nasabah.  Mengantisipasi kejadian serupa nasabah wajib memiliki standar operasional prosedur  (SOP) agar kerugian dapar dihindari.
3.2.      Saran
Pembobolan rekening nasabah merupakan tindak pidana yang merugikan nasabah dan juga merusak citra perbankan jadi, alangkah baiknya terhadap pelaku dijerat dengan hukuman yang setimpal dan kepada Bank Indonesia perlu pengawasan ektra agar kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Djoni S. Gazali, & Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,Cet.ke-1, Sinar Grafika, Jakarta
Esmi Warasih, 2005,  Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,,  Semarang
Hermansyah, 2008.Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi revisi,  Kencana, Jakarta
Muhammad Djumhanna, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung
Munir Fuady, 1998, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung
Ronny Sautma Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan Deposito (suatu tinjauan hukum terhadap perlindungan deposal di Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung

Artikel Internet



[1]Muhammad Djumhanna, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, hal.337
[2]Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi revisi,  Kencana, Jakarta , hal. 8.
[3]Djoni S. Gazali, & Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan,Cet.ke-1, Sinar Grafika, Jakarta, hal.566
[4]Ibid, hal.568
[5]Ibid
[7] Lawrence M. Friedman dalam Esmi Warasih, 2005,  Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama,,  Semarang, hal. 30.

[8]Ronny Sautma Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah terhadap Produk Tabungan dan Deposito (suatu tinjauan hukum terhadap perlindungan deposal di Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung,  hal.32.

[9]Munir Fuady, 1999, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Tahun 1998, Buku Kesatu, Citra Aditya Bakti, Bandung,  hal.102.

[10]Ibid.

[11] Ibid., hal.103

[12]Ibid.,hal. 52
[14]ibid
[15]ibid
[18]http://www.iniunik.web.id/2011/04/8-kasus-pembobolan-bank-di-indonesia.html
[19]ibid
[20] Ibid

1 komentar:

  1. Selamat sore Bu,
    Saya mau bertanya, apakah BPR bisa memberikan selembar cek giro bank umum kepada nasabahnya (cek giro tsb diklaim sebagai rekening bpr dibank umum tsb), apa dasar hukumnya.
    Terima kasih sebelumnya untuk penjelasannya.
    salam
    Kwan Daniel

    BalasHapus