Assalamualaikum..wr...wb...

Selamat datang di bolg ini....meskipun jauh dari kesempurnaan tetapi berharap dapat memberikan sedikit kontribusi yang bermanfaat bagi anda semua

Rabu, 14 Maret 2012

KEPASTIAN HUKUM INVESTASI BIDANG PERTAMBANGAN ( Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Bidang usaha pertambangan merupakan salah satu bidang usaha yang mendapat prioritas utama dari pemerintah sebelum dan sesudah diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal, baik bagi pihak asing maupun pihak dalam negeri. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk dapat mengarahkan dan mengelola sumber-sumber daya alam yang termasuk dalam bidang usaha pertambangan. Bidang usaha pertambangan meliputi pertambangan minyak bumi, gas bumi, batubara, logam, timah, bijih nikel, bausit, pasir besi, perak serta konsentrat tembaga.[1] Hak pengelolaan pertambangan merupakan hak mengusai Negara sebagaimana diatur dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 )  ayat ( 2 ) dan ( 3) menyebutkan bahwa :
Ayat ( 2 ) : cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
Ayat ( 3 ) : bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketentuan pasal 33 UUD 1945 tersebut diatas maka jelaslah bahwa pertambangan merupakan salah satu cabang produksi yang dikuasai oleh negara, dalam arti bahwa wewenang pengelolaan, peruntukan dan pemanfaatan oleh negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Program pengembangan bidang usaha pertambangan ditujukan pada penyediaan bahan baku industri dalam negeri, peningkatan eksport serta penerimaan negara, serta perluasan kesempatan kerja dan berusaha. Pembangunan bidang usaha pertambangan terutama dilakukan melalui penganekaragaman hasil tambang dan pengelolaan hasil tambang secara efisien.[2]  Kegiatan Usaha pertambangan sebelumnya diatur didalam Undang- Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa  usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh:
a)      Instansi pemerintah.
b)      Perusahaan negara.
c)      Perusahaan daerah.
d)     Perusahaan dengan modal bersama negara dan daerah.
e)      Koperasi.
f)        Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), yang mengatur tentang kuasa pertambanganuntuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang tersebutdalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yaitu Golongan bahan galian vital, dapat diberikan kepada:
1)      Badan hukum koperasi.
2)      Badan hukum swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturanRepublik Indonesia, bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuanberusaha di lapangan pertambangan dan pengurusnya mempunyaikewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.
3)      Perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggaldi Indonesia.

Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan Undang-Undang baru yang menggantikan Undang-Undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok pertambangan yang berlaku selama kurang lebih empat dasawarsa yang telah membawa perubahan yang signifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 materi muatannya dinilai sentralistik sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan tantangan masa depan.
Pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh petambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah,hak asasi manusia, lingkungan hidup,perkembangan teknologi, dan informasi,serta hak kekayaan intelektual serta penuntutan peningkatan masyarakat. Untuk mengahadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab permasalahan tersebut maka telah disusun Undang-Undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sebelum berlakunya undang-undang nomor 4 tahun 2009, dasar hukum yang melandasi kerjasama Pemerintah Indonesia dengan pihak swasta asing dalam bentuk Kontrak Karya didasarkan pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang menyatakan bahwa:[3]
“Perjanjian     internasional    baik   bilateral,  regional,    maupun     multilateral    dalam  bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian-  perjanjian tersebut”
Hal ini bertujuan agar semua  kontrak yang dibuat pada bidang   pengusahaan bahan galian (tambang) yang   didasarkan   pada   Pasal   8 Undang-UndangNomor 1 Tahun 1967  tentang    Penanaman  Modal Asing, tetap  mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Pasal 8 Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1967 menyatakan bahwa:
“penanaman modal asing dibidang  pertambangan didasarkan pada    suatu  kerjasama dengan Pemerintah  atas  dasar   kontrak/ bentuk   lain  sesuai   dengan peraturan perundangan yang berlaku”
Hal ini dimaksudkan juga agar dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.Namun setelah berlakunya undang-undang nomor 4 tahun 2009 kegiatan usaha pertambangan berbasis kontrak karya mengalami perubahan yaitu menjadi sistem perizinan.Kehadiran undang-undang merupakan langkah maju pemerintah karena pertambangan dengan sistem kontrak karya telah banyak membawa kerugian bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, karena hanya berpegang teguh pada asas kebebasan berkontrak.Namun undang-undang ini sempat membuat resah para investor asing bidang pertambangan serta menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian hukum. Karena di satu sisi kontrak isi mengikat para pihak namun disisi lain kontrak tersebut tidak boleh melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

1.2.Rumusan Masalah
Bagaimana Kepastian Hukum Investasi Bidang Pertambangan Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal?



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan
            Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah :
“ sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”

Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.[4] Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 ( delapan )  tahapan yaitu:
1.      Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi;
2.      Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup;
3.      Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan;
4.      Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan;
5.      Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya;
6.      Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan;
7.      Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan;
8.      Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.
Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:
1.      Pertambangan Mineral[5]
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.[6]Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah[7]. Pertambangan mineral digolongkan atas:[8]
a)      Pertambangan mineral radio aktif;
b)      Pertambangan mineral logam;
c)      Pertambangan mineral bukan logam;
d)     Pertambangan batuan.
2.      Pertambangan Batubara[9]
Batu baraadalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan[10]. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.[11]

2.2.       Kegiatan Usaha Pertambangan Umum Di Indonesia
I.     Tahap Penyelidikan Bahan Galian
Di dalam Pasal 1 butir 6 Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah diuraikan pengertian usaha pertambangan. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa tahapan penyelidikan sebuah studi eksplorasi bahan galian menjadi suatu keharusan yang harus dilalui. Tahapan penyelidikan tersebut dilakukan guna menghindari gagalnya sebuah kegiatan eksploitasi, sehingga biaya penyelidikan dapat dikendalikan secara proporsional. Artinya, untuk kebanyakan bahan galian, sangat tidak mungkin kegiatan eksplorasi dilakukan secara “ujug-ujug”, yaitu tidak mungkin setiap satu kilometer persegi dilakukan pemboran rinci tanpa acuan, arahan, dan petunjuk data-data geologis yang menuntunnya. 38 Sebab kegiatan pemboran dalam eksplorasi secara teknis telah termasuk pada tataran eksploitasi detail, selain itu dalam melaksanakan kegiatan pemboran, secara geologis, deposit yang akan dibor terlebih dahulu harus telah diketahui dengan jelas arah dan kemiringannya.
Adapun tahapan kegiatan eksplorasi bahan galian adalah:[12]
1.      Studi pendahuluan.
Studi pendahuluan merupakan kegiatan persiapan sebelum melakukan penyelidikan langsung di lapangan.
2.      Survei tinjau
Survei tinjau merupakan kegiatan eksplorasi di lapangan, sifatnya hanya peninjauan sepintas pada daerah-daerah yang sebelumnya diperkirakan menarik dari sisi data geologi, sehingga dari kegiatan ini diharapkan dapat diketahui indikasi mineralisasi bijih bahan galian.
3.      Eksplorasi pendahuluan (prospeksi).
Kegiatan eksplorasi pendahuluan dilaksanakan pada wilayah yang telah dibatasi atau dilokalisasi dari hasil studi survei tinjau yang telah dilakukan sebelumnya.
4.      Eksplorasi umum.
Kegiatan eksplorasi umum merupakan bagian dari kegiatan penyelidikan pendahuluan, dengan cakupan luas areal penyelidikan lebih kecil.
5.      Eksplorasi detail atau rinci.
Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menegaskan: “Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup”. Kegiatan eksplorasi rinci merupakan kegiatan tahapan penyelidikan lapangan terakhir yang dilakukan.

  II.   Studi Kelayakan
Studi kelayakan selain merupakan salah satu kewajiban normatif yang harus dipenuhi dan prasayarat untuk memperoleh IUP (Izin Usaha Pertambangan) Operasi Produksi.Sesungguhnya apabila dipahami secara benar, studi kelayakan merupakan dokumen penting yang berguna bagi berbagai pihak, khususnya bagi pelaku usaha, pemerintah, dan investor atau perbankan.Dengan demikian, dokumen studi kelayakan bukan hanya seonggok tumpukan kertas yang di dalamnya memuat konsep, perhitungan angka-angka dan gambar-gambar semata, tetapi merupakan dokumen yang sangat berguna bagi manajemen dalam mengambil keputusan strategis apakah tambang tersebut dilanjutkan atau tidak. Hal lain yang harus dipahami adalah studi kelayakan bukan hanya mengkaji secara teknis, atau membuat prediksi/proyeksi ekonomis, namun juga mengkaji aspek nonteksnis lainnya, seperti aspek sosial, budaya, hukum, dan lingkungan.
Studi kelayakan selain berguna dalam mengambil keputusan jadi atau tidaknya rencana usaha penambangan itu dijalankan, juga berguna pada saat kegiatan itu jadi dilaksanakan, yakni ;
1)      dokumen studi kelayakan berfungsi sebagai acuan pelaksanaan kegiatan, baik acuan kerja di lapangan, maupun acuan bagi staf manajemen di dalam kantor;
2)      berfungsi sebagai alat kontrol dan pengendalian berjalannya pekerjaan;
3)      sebagai landasan evaluasi kegiatan dalam mengukur prestasi pekerjaan, sehingga apabila ditemukan kendala teknis ataupun nonteknis, dapat segera ditanggulangi atau dicarikan jalan keluarnya;
4)      bagi pemerintah, dokumen studi kelayakan merupakan pedoman dalam melakukan pengawasan, baik yang menyangkut kontrol realisasi produksi, kontrol keselamatan dan keselamatan kerja, kontrol pengendalian aspek lingkungan, dan lain-lain.[13]
Adapun aspek-aspek yang menjadi kajian dalam studi kelayakan adalah:[14]
1)      Aspek kajian teknis, meliputi:
a)      kajian hasil eksplorasi, berkaitan dengan aspek geologi, topografi, sumur uji, parit uji, pemboran, kualitas endapan, dan jumlah cadangan;
b)      hasil kajian data-data eksplorasi tersebut sebagai data teknis dalam menentukan pilihan sistem penambangan, apakah tambang terbuka, tambang bawah tanah atau campuran.
2)      Aspek kajian nonteknis, meliputi:
a)      kajian peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek ketenagakerjaan, aturan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), sistem perpajakan dan retribusi, aturan administrasi pelaporan kegiatan tambang, dan lain-lain;
b)      kajian aspek sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, meliputi kajian aspek hukum adat yang berlaku, pola perilaku, dan kebiasaan masyarakat setempat.
3)      Kajian pasar, berkaitan dengan supply and demand, dapat dianalisis dari karakter pasar, potensi, dan pesaing pasar.
4)      Kajian kelayakan ekonomis, adalah perhitungan tentang kelayakan ekonomis yang berupa estimasi-estimasi dengan mempergunakan beberapa metode pendekatan. Secara umum, metode pendekatan yang dimaksud biasanya melalui analisis Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Profitability Index (PI), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period.
5)      Kajian kelayakan lingkungan, berbentuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan- Upaya Pemantauan Lingkungan).

III.   Eksploitasi Bahan Galian
Kegiatan eksploitasi boleh dikatakan merupakan kegiatan utama dari industri tambang, yaitu kegiatan menggali, mengambil atau menambang bahan galian yang telah menjadi sasaran atau rencana sebelumnya. Pemilihan cara atau sistem penambangan secara umum terbagi dua sistem, yaitu:[15]
1)        Tambang terbuka (Surface Mining). Pemilihan sistem penambangan atau tambang terbuka biasa diterapkan untuk bahan galian yang keterdapatannya relatif dekat dengan permukaan bumi.
2)        Tambang Bawah Tanah (Underground Mining)
Tambang bawah tanah mengacu pada metode pengambilan bahan mineral yang dilakukan dengan membuat terowongan menuju lokasi mineral tersebut karena letak mineral yang umumnya berada jauh di bawah tanah.

IV.   Pengolahan dan Pemurnian
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pengolahan dan pemurnian bahan galian bukan hanya sebatas bagian dari tahapan industri pertambangan, tetapi merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan pelaku usaha pertambangan. Ketentuan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan bagian akomodasi dari tuntutan beberapa kalangan masyarakat yang melihat bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang selama ini berjalan dianggap kurang memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat, karena bahan galian dijual langsung tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dari kondisi tersebut, kemudian muncul istilah bahwa bangsa Indonesia dalam memenuhi pos pendapatan negaranya, dilakukan dengan cara “menjual” tanah air kepada bangsa asing. Artinya, yang dimaksud dengan tanah adalah batuan atau bijih atau mineral dijual secara langsung dalam bentuk bongkahan, sedangkan yang dimaksud menjual air, sebagaimana diketahui melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa air dapat dilakukan pengelolaanya 100% oleh swasta atau swasta asing.[16]Akan tetapi, diatur juga mengenai kewajiban pelaku usaha pertambangan dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan diwajibkan meningkatkan nilai tambah setiap bahan galian yang dieksploitasi dari wilayah hukum Indonesia, sehingga hal tersebut menjadi langkah awal wujud konkret dari pemanfaatan bahan galian untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[17]
Pengaturan tentang kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian bahan galian tidak hanya berlaku bagi pelaku usaha yang baru akan melakukan kegiatan usaha pertambangannya setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tetapi juga berlaku bagi pelaku kegiatan usaha pertambangan yang telah berjalan, baik legalitasnya dalam bentuk kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, ataupun kuasa pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan.[18]

2.3.       Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Umum
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tambang adalah permerintah pusat.Hal tersebut disebabkan oleh sistem pemerintahan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 bersifat sentralistik, artinya segala macam urusan yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan penetapan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, maupun  lainnya, pejabat yang berwenang memberikan izin adalah menteri, dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan dalam pemberian izin diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan pemerintah pusat, sesuai dengan kewenangannya. [19]
Kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah :[20]
1)      penetapan kebijakan nasional;
2)      pembuatan peraturan perundang-undangan;
3)      penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
4)      penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
5)      penetapan WP (Wilayah Pertambangan) yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
6)      pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
7)      pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
8)      pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
9)      pemberian IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
10)  pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
11)  penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
12)  penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
13)  perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan mineral dan batubara;
14)  pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
15)  pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;
16)  penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP (Wilayah Usaha Pertambangan) dan WPN (Wilayah Pencadangan Negara);
17)  pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;
18)  pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;
19)  penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;
20)  pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan
21)  peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:
1)      pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
2)      pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
3)      pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
4)      pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
5)      penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
6)      pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah wilayah provinsi;
7)      penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;
8)      pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;
9)      pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
10)  pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannnya;
11)  penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;
12)  penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;
13)  pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
14)  peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:
1)      pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
2)      pemberian IUP dan IPR (Izin Pertambangan Rakyat), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
3)      pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
4)      penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;
5)      pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;
6)       penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;
7)      pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;
8)      pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;
9)      penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepada Menteri dan gubernur;
10)  penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;
11)   pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; dan
12)  peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

Walaupun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk pengelolaan pertambangan umum, namun semua kebijakan yang berkaitan dengan pertambangan umum masih didominasi oleh pemerintah pusat.Seperti yang menandatangani kontrak karya pada wilayah kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah bupati/walikota dengan perusahaan pertambangan. Tetapi segal hal yang berkaitan dengan substansi kontrak karya telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah kabupaten/kota tidak dapat mengembangkan substansi kontrak karya sesuai dengan kebutuhan daerah.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1.Investasi Pertambangan Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 JunctoUndang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

Dalam bidang usaha pertambangan pada ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan didasari oleh defenisi dan ketentuan perjanjian yang terdapat dalam KUH perdata. Perjanjian tersebut terdapat dalam buku III KUH Perdata. Buku III KUH Perdata menganut asas open system yang berarti bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapapun menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya maupun bentuk kontraknya baik secara tertulis maupu secara lisan. Hal ini dikenal dengan sebutan asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1338 ayat 1 KUH perdata yang menyatakan bahwa semua kontrak atau perjanjian dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Prinsip kebebasan berkontrak tersebut kemudian dijadikan pedoman oleh pemerintah dan investor asing khususnya investor dibidang pertambangan sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 1967 dan sistem yang diberlakukan adalah dalam system kontrak. Dengan demikian bahwa kedudukan para pihak dalam kontrak tersebut yaitu pemeritah denga investor asing adalah :
1.      Merupakan kesepakatan kedua belah pihak;
2.      Kedudukan pemerintah selaku pelaku usaha adalah sejajar dengan investor;
3.      Prosedurnya adalah negosiasi;
4.      Sifatnya dua pihak;
5.      Bentuk hukumnya kesepakatan;
6.      Jika ada sengketa prosesnya melalui arbitrase atau mediasi;
Legalitas pengusahaan bahan galian menurut undang-undang nomor nomor 4 tahun 2009 secara substansi hanya dalam satu bentuk yaitu izin usaha, berbeda dengan legalitas pengusahaan pada saat berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1967, terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu Kuasa Pertambangan(KP) kontrak karya ( KK ), pertambangan mineral dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara(PKP2B) dan SIPD untuk bahan galian industri, dan izin pertambangan rakyat untuk tambang rakyat. Beragam legalitas pada saat berlakunya UU nomor 11 tahun 1967, menyebabkan koordinasi, pengawasan dan pengendalian kurang maksimal, karena setiap legalitas yang dikeluarkan untuk sebuah kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan tidak dalam koordinasi yang baik. Sehingga seringkali kalau ada persoalan dilapangan dari kegiatan usaha pertambangan yang legalitasnya dikeluarkan oleh pemerintah, satuan kerja perangkat daerah (SKPD/Dinas daerah) tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.[21]
Berangkat dari kelemahan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian pada masa lalu, maka undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara yang berlaku saat ini memberikan panduan bahwa pengelolaan dan pengusahaan bahan galian dilakukan secara sistematis sejak penetapan wilayah pertambangan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Proses pelaksanaan penetapan wilayah pertambangan atau wilayah usaha pertambangan khusus dan wilayah pertambangan rakyat, dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel, dengan melibatkan seluruh elemen yaitu pemerintah pusat atau pemerintah daerah, DPR atau DPRD, dan masyarakat.[22]
Proses pemanfaatan bahan galian yang telah diarahkan secara legal oleh undang-undang nomor 4 tahun 2009, mulai dari penetapan wilayah-wilayah pertambangan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap pengelolaan dan pengusahaan bahan galian kedepan, sehingga satu sisi dapat meredam persoalan yang selama ini terjadi dan sisi lain dapat mendorong dampak-dampak posistif  sebagai berikut :[23]
1.      Mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan usaha pertambangan, baik investasi dari asing, nasioanal maupun lokal;
2.      Mendorong gairah partisipasi masyarakat setempat;
3.      Mendorong gairah masyarakat setempat secara untuk ikut mengelola dan mengusahakan bahan galian yang ada, yang terbuka kesempatan melalui fasilitas WPR-IPR;
4.      Mendorong gairah kegiatan penunjang dan pertumbuhan ekonomi local;
5.      Meningkatkan pendapatan Negara/daerah;
6.      Terbukanya lapangan kerja baru;
7.      Menekan dampak negative kerusakan lingkungan, yang selama ini terjadi akibat beragamnya legalitas kegiatan usaha pertambangan, yang menyebabkan saling tuding kewenangan antara tingkatan pemerintahan yang kerap terjadi;
Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu baradalam pelaksanaannya merubah sistem investasinya yaitu menjadi sistem perizinan sebagai cara untuk menamankan modalnya baik dalam negeri mapun luar negeri.Perubahan sistem investasi menjadi sistem kontrak menjadi sistem izin ini merupakan sebuah langkah radikal yang dilakukan pemerintah karena pada prisipnya membuat suatu perubahan kedudukan antara pemerintah dengan investor. Jika dalam sistem kontrak kedudukan antara pemerintah dengan investor adalah sama maka dalam sistem perizinan kedudukan pemerintah berubah menjadi lebih tinggi dari investor dimana pemerintah hanya bertindak sebagai regulator.Perubahan kedudukan ini disinyalir tidak banyak menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.  Hal ini sangat wajar karena dilihat dari sisi investor asing mereka sudah terbiasa dengan sistem kontrak yang selama kurang lebih 40 tahun di terapkan di Indonesia, sehingga terkesan tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan kontroversi dari para investor.
Horikawa Shuji, salah seorang penguasaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Adapun atasannya, pelaku bisnis selalu mencari itu, sebab penguasaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap mendapat insentif yang memadai dari permitrahan dimana ia berinvestasi dan memeproleh peluang untuk berkembang dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang. Apa yang dapat membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya. [24]
Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn. Dan Henry Gomez sebagai berikut :
“In making foreign investment a number of important points are to be taken into consideration. The investor is concerned, first,witn the safety of his investment and, second, with the return which it yields. The factors having a direct baring on these considerations may be classified as follows :
(1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4)future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions-pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment."[25]
Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait procedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian.Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastianhukum sebagai faktor yang menghambatpertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio investment.Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi.Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya supply energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat pemerintahan daerah.Lebih jauh dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya reformasi yang cukup strategic dengan mengadopsi lebih banyak reformasi fiscal, liberalisasi perdagangan, reformasisektor keuangan, perpajakan, ketenagakerjaan, dan reformasi regulasi bisnis. Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya jurang (gap) antara political will Pemerintah dengan implementasi di lapangan, termasuk adanya gap antara peraturan dengan kenyataan penerapannya.[26]
Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha pertambangan ketentuan dalam undang-undang nomor 11 tahun 1967 dengan basis sistem kontrak karya sebenarnya telah menimbulkan ketidapastian hukum bagi pemerintah Indonesia. sistem kontrak menjadikan pemerintah sebagai regulator maupun sebagai pelaku usaha hanya akan melemahkan posisi dari pemerintah karena satu sisi membuat regulasi juga sebagai pelaku usaha yang wajib taat pada aturan hukum. Hal tersebut akan membawa implikasi bahwa jika terjadi sengketa dikemudian hari dan jika dibawa ke arbitrase internasional kemudian mengalami kekalahan, maka asset negara yang akan menjadi taruhannya. Sehingga ketentuan kontrak yang berubah menjadi izin merupakan salah satu langkah maju untuk mengembalikan kedudukannya sebagai regulator dan juga untuk meningkatkan pembangunan nasional, mengingat kegiatan usaha pertambangan dalam sistem kontrak karya selama ini telah meugikan kepentingan nasional bangsa, dan Negara, masyarakat dan juga kerusakan lingkungan hidup.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam pembangunan ekonomi khususnya bidang pertambangan di bilang cukup aspiratif karena materi muatannya lebih responsif. Secara substansi  terdapat perbedaaan yang mendasar antara UU Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Nomor 4 Tahun 2009. Karena didalam UU Nomor  4 Tahun 2009 muatannya di anggap cukup baik diantaranya antara lain :[27]
1.      Lelang wilayah potensi bahan galian. Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaan atau pihak yang akan melakukan penguasahaan bahan galian logam atau batu bara khususnya harus melalui proses lelang. Cara ini di pandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha pertambangan nasional.
2.      Lebih akomodatif, yaitu dengan masuknya aturan yang lebih berpihak kepada kepentingan rakyat, dibandingkan dengan ketentuan tentang pertambangan UU Nomor 11 Tahun 1967.
3.      Pertimbangan teknis strategis suatu bahan galian lebih ditentukan berdasarkan kepentingan nasional, bukan pada jenis bahan galian. Artinya, apabila suatu bahan galian secara teknis, ekonomis, kepentingan, dan dari sisi pertahanan dan keamanan negara / pemerintah.
4.      Adanya pembagian kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tingkatan pemerintahan.
5.      Adanya pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai penanganan pasca tambang.
Didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagaimana poin-poin diatas jelaslah bahwa Pemerintah Daerah diberikan peran yang lebih besar dalam melaksanakan pembangunan dalam mengelola usaha pertambangan di daerahnya masing-masing.
Dibentuknya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan konsekuensi dari lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mana telah memberikan kewenangan yang sangat luas pada Pemerintah Daerah yang mana telah memberikan kewenangan yang sangat luas pada Pemerintah Daerah dibidang pertambangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Selain latar belakang yang disebutkan diatas, latar belakang lain dibentuknya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 ini adalah untuk mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.[28]
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengandung pokok-pokok pkiran sebagai berikut :
1)      Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha.
2)      Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, Koperasi, Perseorangan, maupun masyarakat setempat untk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3)      Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
4)      Usaha Pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;
5)      Usaha Pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong timbulnya industri penunjang pertambangan;
6)      Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan partisipasi masyarakat.[29]

Dalam UU no 11 tahun 1967 terdapat perbedaan yaitu jika investornya dalam negeri maka bentuknya adalah kuasa pertambangan (KP) sedangkan investornya luar negeri maka bentuknya adalah kontrak karya untuk pertambangan mineral dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara ( PKP2B).  Sedangkan dalam UU nomor 4 tahun 2009 sudah tidak ada pembedaan yaitu hanya Izin Usaha Pertambangan ( IUP).Ketentuan ini juga mengacu pada UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penamanan Modal.
3.2.Investasi pertambangan menurut ketentuan undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal
            Sebelum terbitnya undang-undang nomor 25 tahun 2007 masih terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara investor asing dan investor dalam negeri.Hal ini terlihat dari adanya ketentuan undang-undang yang mengaturya. Investasi asing diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sedangkan investasi dalam negeri diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalan, Negeri. Dengan berlakunya undang-undang nomor 25 tahun 2007 makanya ketentun-ketentuan tentang adanya perbedaan-perbedaan  tersebut di satukan. Sehingga kepastian hukumnya lebih terarah dan jelas dalam implementasinya.Tidak ada perbedaan antara investor asing dan investor dalam negeri.
Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus guna memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal terhadap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat, memberikan penghormatan atas tradisi budaya masyarakat, dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.Hak, Kewajiban, Dan Tanggung Jawab Penanam Modal didalam undang-undang ini terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 14
Setiap penanam modal berhak mendapat:
a)      kepastian hak, hukum, dan perlindungan;
b)      informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c)      hak pelayanan; dan
d)     berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
a)      menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b)      melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c)      membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d)     menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e)      mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16
Setiap penanam modal bertanggung jawab:
a)      menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b)      menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c)      menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
d)     menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e)      menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan
f)       mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam penjelasannya Pasal 3Ayat (1)Huruf a dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "asas kepastian hukum" adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.Lebih lanjut dalam penjelasan Huruf d para investor akan mendapatkan perlakuan yang sama baik itu investor asing maupun investor dalam negeri. Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara" adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Ketentuan-ketentuan ini akan berlaku terhadap semua kegiatan investasi di Indonesia, termasuk dalam kegiatan usaha pertambangan, dengan tetap mengacu pada undang-undang nomor 4 tahun 2009.

3.3.Contoh Kasus ( Pertambangan PT Freepot Indonesia )
Perusahaan pertambangan Freeport merupakan salah perusahaan yang sangat potensial dan fenomenal di kalangan masyakat Indonesia dan merupakan perusahaan asing pertama yang melakuakan investasi di bidang usaha pertamabangan.Perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia yang terletak di propisi Papua ini sejak berdirinya telah banyak membawa pengaruh dalam sitem perekonomian Indonesia dan memberikan devisa yang cukup signifikan untuk negara. Disatu sisi keberadaan Freeport membawa kemajuan dalam bidang ekonomi namun disisi lain Freeport membawa dampak negatif yang luar biasa bagi pemerintah dan juga masyrakat indonesia.
1.      Dampak positif Freeport dalam pembangunan ekonomi antara lain :[30]
a)      Perusahaan Freeport sebagai perusahaan transnasional memilki kekuatan ekonomi guna mendorong pembangunan ekonomi di Indonesia;
b)      Peranan  perusahaan transnasional itu juga dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar sehingga mengurangi tingkat pengangguran di negara Indonesia;
c)      Perusahaan ini meningkatkan pemasukan pajak dan alih teknolgi terhadap negara Indonesia;
Jika saja sumber daya ala mini dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh negeri ini, niscaya akan dapat menyelesaikan problem ekonomi yang melilit saat ini.

2.      Dampak negatif Freeport dalam pembangunan ekonomi  antra lain :[31]
a)      Pencemaran lingkungan akibat penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potencial acid drainase ( air asam tambang) dan limbah tailing ( butiran pasir alami yang halus hasil pengolahan konsentrat).
b)      Dampak lingkungan sosial dari keberadaan Freeport tidak bisa dipandang remeh. Berlimpahnya dana yang beredar disana justru melahirkan bisnis prostitusi. Ironisnya dari tahun ketahun terus mneingkat. Sebagai missal di Timika, kota tambang Freeport, sebagaimana hasil investigasi sebuah Lemabga Swadaya Masyrakat ( LSM ) disebutkan Timika adalah Kota dengan Penderita HIV / AIDS terbanyak di Indonesia.



BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka yang dapat di simpulkan adalah:
1.      Legalitas pengusahaan bahan galian menurut undang-undang nomor nomor 4 tahun 2009 secara substansi hanya dalam satu bentuk yaitu izin usaha, berbeda dengan legalitas pengusahaan pada saat berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1967, terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu Kuasa Pertambangan (KP) kontrak karya ( KK ), pertambangan mineral dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan SIPD untuk bahan galian industri, dan izin pertambangan rakyat untuk tambang rakyat.
2.      Sebelum terbitnya undang-undang nomor 25 tahun 2007 masih terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara investor asing dan investor dalam negeri. Hal ini terlihat dari adanya ketentuan undang-undang yang mengaturya.  Investasi asing diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sedangkan investasi dalam negeri diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalan, Negeri. Dengan berlakunya undang-undang nomor 25 tahun 2007 makanya ketentun-ketentuan tentang adanya perbedaan-perbedaan  tersebut di satukan. Sehingga kepastian hukumnya lebih terarah dan jelas dalam implementasinya. Tidak ada perbedaan antara investor asing dan investor dalam negeri.

4.2. Saran






DAFTAR PUSTAKA

H.S. H.Salim, 2010,  Hukum Pertambangan Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm
Ilmar, Amirudin,  2004, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta
Sudrajat, Nandang, 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,.

Artikel Internet :
Ichigo Kenichi, Sejarah Hukum Pertambangan Di Indonesia, http://ichigo-kenichi.blogspot.com/2011/10/sejarah-hukumpertambangan-diindonesia.html (diakses pada tanggal 5 desember 2011)

Jurnal Hukum
Yeti, 2006, Dilema Pertambangan Freeport Dalam Dimensi Hukum, Jurnal Hukum, Vol.6 No.1 Tahun 2006,
Mahmul Siregar, Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27-No.4-Tahun 2008

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara beserta Penjelasannya.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan







[1]Amirudin Ilmar,  2004, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Prenada Media, Jakarta, Hlm 113
[2]Ibid, Hlm.114
[3]Undang-Undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Koperasi Karyawan BKPM Pecanderan, Jakarta, 2007, Pasal 35.
[4]Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
[5] Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[6][6] Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
[7] Pasal 1 butir (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[8] Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
[9] Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

[10] Pasal 1 butir (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[11] Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[12] Nandang Sudrajat, 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, Hlm. 89.
[13]Ibid., Hlm. 96-97
[14]Ibid., hal. 97-99
[15]Ibid., hal. 114-118.
[16]Ibid, Hlm.121
[17] Pasal 95 butir (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[18] Pasal 107 butir (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[19] H.Salim, H.S. 2010,  Hukum Pertambangan Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, Hlm
[20] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[21]Nandang Sudrajat,Op.Cit, Hlm.65
[22]Ibid
[23]Ibid
[24]Mahmul Siregar, Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27-No.4-Tahun 2008
[25]Ibid
[26]Ibid
[27]Nandang Sudrajat, Op.Cit, Hlm. 53-55
[28]Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Paragraf 3
[29]Ichigo Kenichi, Sejarah Hukum Pertambangan Di Indonesia, http://ichigo-kenichi.blogspot.com/2011/10/sejarah-hukumpertambangan-diindonesia.html ( diakses pada tanggal 5 desember 2011)
[30]Yeti, 2006, Dilema Pertambangan Freeport Dalam Dimensi Hukum, Jurnal Hukum, Vol.6 No.1 Tahun 2006, Hlm.43
[31]Ibid. Hlm.44