BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak
atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung
dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.[1]
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur
dalam KUHD.Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu
perjanjian dalam KUHPerdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena
perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka di samping
ketentuan-ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga
syarat-syarat khusus yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.Menurut
ketentuan pasal tersebut, ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian, yaitu
kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang
halal.Syarat yang diatur dalam KUHD adalah kewajiban pemberitahuan yang diatur
dalam Pasal 251 KUHD.
Perjanjian asuransi itu pada dasarnya bersifat konsensual sesuai dengan Pasal 257
KUHD tetapi Pasal 255 KUHD mengharuskan pembuatan perjanjian asuransi itu dalam
suatu akta yang disebut polis. Jadi, polis merupakan tanda bukti adanya
perjanjian asuransi, tetapi bukan merupakan unsur dari perjanjian asuransi.
Tidak adanya polis dalam perjanjian asuransi, tidak menjadikan perjanjian
tersebut menjadi batal, kecuali beberapa jenis pertanggungan, misalnya Pasal 272,
280, 603, 606 dan 615 KUHD.
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam
undang-undang mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik
pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan
perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting didalam
perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya
perjanjian,karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung
terhadap penanggung. Undang-undang menentukan bahwa polis dibuat dan
ditandantangani oleh penanggung sebagaimana diatur pada pasal 256 ayat 3.“
polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.” Disamping
itu polis juga mempunyai arti sangat
penting bagi tertanggung, sebab polis itu merupakan alat bukti yang sempurna
dan satu-satunya alat bukti tentang apa yang mereka ( penanggung dan
tertanggung) perjanjikan dalam perjanjian pertanggungan. Jadi bagi tertanggung
polis itu mempunyai nilai yang sangat menentukan bagi pembuktian haknya. Tanpa
polis maka pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas.[2]
1.2 Rumusan
Masalah
“ Bagaimana Kekuatan Hukum Pembuktian Polis Dalam Perjanjian
Asuransi”?
PEMBAHASAN
2.1 Pengantar Tentang Polis
1. Polis dan Fungsinya
Menurut Ali
Rido, polis adalah suatu akta yang ditandatangani oleh asurador, yang
fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian asuransi. Sedangkan Molenggraf mengatakan polis adalah
suatu akta sebagai tulisan sepihak, dimana diuraikan dengan syarat-syarat apa
asurador menerima perjanjian asuransi.[3]
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemenrintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian, “Polis
atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang
merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata, atau kalimat
yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup
asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit
tertanggung mengurus haknya.”
Menurut ketentuan pasal 255 KUHD perjanjian asuransi
harus di buat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya
pasal 19 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1992 menentukan polis
atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang
merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata atau
kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang
ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau
mempersulit tertanggung mengurus haknya.[4]
Berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut diatas maka dapat di pahami
bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah
terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat
bukti tertulis isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh
mengandung kata-kata atau kalimat yang mengandung kata-kata atau kalimat yang
memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga mempersulit tertanggung dan
penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan
asuransi.Disamping itu polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat
khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban
untuk mencapai tujuan asuransi.[5]
2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam
Asuransi
Hak dan Kewajiban
Penanggung
1)
Penanggung
wajib memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang dalam perjanjian Asuransi,
sesuai dengan ketentuan Pasal 1339
2)
Penanggung
wajib untuk melaksanakan ketentuan perjanjian yang telah disepakati. Hal
tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1), (2), (3). Pasal 1338
KUHPerdata menyatakan bahwa :
a)
semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
b)
suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak
atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3)
Penanggung
hendaknya membuat perjanjian Asuransi secara tertulis dalam suatu akta yang
disebut Polis. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 255 KUHD.
4)
Hak
Penanggung untuk menutup kembali (Reasuransi) penanggungnya kepada Perusahaan
Asuransi yang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 271 KUHD. Tindakan menutup
reasuransi disamping melindungi penanggung pertama dari kesulitan melaksanakan
kewajibannya, juga secara tidak langsung melindungi kepentingan pemegang polis.[6]
Hak dan Kewajiban
Tertanggung
1)
Tertanggung
wajib membayar premi kepada penanggung.
2)
Pemegang
polis / tertanggung dapat menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga dengan
memperhatikan Pasal 1267 KUHPerdata yaitu :
“Bahwa
pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika
hal itu masih dapat dilaksanakan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
perjanjian ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian
biaya
kerugian dan bunga”
3)
Ahli
waris dari tertanggung dalam perjanjian Asuransi juga mempunyai hak untuk
dilaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut. Hal ini disimpulkan dalam Pasal
1318 KUHPerdata.
4)
Tertanggung
wajib untuk melaksanakan ketentuan perjanjian yang telah disepakatinya.
Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan
adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti sangat penting
karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti
tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai
hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan.
Undang-undang menentukan
bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan suatu akta yang disebut (pasal
255 KUH Dagang).
Pasal 255: suatu tanggungan
harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.Sedang
syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada pasal 256 KUH Dagang.
Didalam pasal tersebut diatur mengenai syarat-syarat umum yang harus dipenuhi
agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis. Pasal 257, selanjutnya
mengatur tentang saat kapan perjanjian asuransi itu mulai dianggap ada,yaitu
sejak adnya kata sepakat/sejak saat ditutup, bahkan sebelum polis
ditandatangani.
Pasal 257 ayat 1
menentukan:“Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup,
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan sitertanggung
mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani.”
Berdasarkan ketentuan pasal
255 dan pasal 257 ayat 1 KUH Dagang, ternyata terdapat dua hal yang saling
bertentangan terhadap yang lain yaitu mengenai saat terjadinya dan saat sahnya
perjanjian asuransi. Disini timbul pertanyaan apakah polis merupakan syarat sahnya perjanjian
asuransi atau bukan dan bagaimana fungsi polis sebenarnya.
Secara material perjanjian
asuransi atau perjanjian pertanggungan adalah satu, apabila sudah dicapai kata
sepakat para pihak. Penganggung maupun tertanggung keduanya sudah sepakat atas
semua syarat yang juga sudah disepakati bersama. Perjanjian asuransi pada
dasarnya tidak mempunyai formalitas tertentu.Perjanjian ini termasuk semua
syarat-syaratnya secara material benar-benar ditentukan oleh para pihak
sepenuhnya, jadi kata sepakat pada perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan merupakan dasar atau landasan bagi
ada atau tidak adanya perjanjian asuransi.
Mengenai hal ini undang-undang
ternyata mempunyai sikap yang mendua. Pada satu sisi dengan tegas dan jelas
menyatakan bahwa perjanjian asuransi harus diadakan atas dasar adanya akta yang
disebut polis, sebagaimana diatur di dalam pasal 255 KUH Dagang, yang
menyatakan bahwa “suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu
akta yang disebut polis.” Ketentuan tersebut kemudian disusul dengan ketentuan
pasal 256 yang mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
akta dapat disebut sebagai polis.
Polis sebagai suatu akta yang
yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat
penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian
berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti
yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan
syarat bagi sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat bukti
bagi tertanggung terhadap penanggung. Hal tersebut manakala di kemudian
hari terjadi konflik hukum dintara para pihak yaitu antara penanggung dan
penanggung, keberadaan polis akan dijadikan sebagai alat bukti adanya
perjanjian asuransi.
1. Pembuktian Sebelum Polis Dikeluarkan atau Ditebitkan
Upaya pembuktian bahwa telah ditutupnya suatu perjanjian
asuransi atau pertanggungan dalam hal belum dikeluarkannya polis oleh pihak
penanggung, satu-satunya dasar ialah pasal 258 ayat 1 dan 2.
Pasal 258 menyebutkan:
“Untuk membuktikan hal
ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun
demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga manakala sudah
ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Namun demikian bolehlah
ketetapan-ketetapan dan syarat-syarat khusus, apabila tentang itu timbul suatu
perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan
polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti; tetapi dengan pengertian bahwa
segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan-ketentuan
undang-undang, atas ancaman-ancaman batal, diharuskan dibuktikan dengan tulisan”.
Pembuktian sebelum polis dibuat, mungkin sekali dibutuhkan
apabila misalnya peristiwa yang tidak tertentu itu sudah terjadi, sedangkan
polisnya sendiri kebetulan belum dibuat atau belum diserahkan kepada
tertanggung. Pada keadaan demikianlah dibutuhkan adanya pembuktian lain dengan
tulisan. Dalam hal pembuktian mengenai masa sebelum polis dibuat dibedakan
dalam hal-hal sebagai berikut ;
1)
Pembuktian
tentang diadakannya perjanjian pertanggungan itu hanya dapat dibuktikan dengan
surat.[7]
Pembuktian dengan “surat” disini berarti dengan tulisan. Sesudah ada permulaan
pembuktian dengan surat, maka dapat dipergunakan atau memakai alat-alat bukti
yang lain. Apabila tidak dapat dipergunakan pembuktian dengan surat, maka dapat
dapat dipakai sumpah decisoir.[8]
Perhatikan pasal 258 ayat 1 :
“ untuk membuktikan
hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun
demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah
ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan”
2)
Pembuktian
tentang atau mengenai syarat-syarat atau janji khusus didalam perjanjian
pertanggungan dapat dibuktikan dengan semua alat-alat pembuktian berdasarkan
pasal 258 ayat 2 KUHD[9].
Semua janji. Kecuali yang disebut dalam polis dapat dibuktikan dengan semua
alat bukti.
3)
Pembuktian
untuk janji-janji khusus yang harus dimuat dalam polis, artinya bahwa janji itu
tidak dimuat dalm polis,pertanggungan itu akan menjadi batal, maka kita harus
memakai alat bukti surat.[10]Yang
termasuk dalam golongan ini ( janji-janji khusus) adalah Pertanggungan atas laba yang diharapkan,
perhaitkan pasal 615 ayat 1 KUHD dan Pertanggungan atas kapal-kapal atau
barang-barang yang sudah berangkat, perhatikan pasal 603 KUHD.[11]
2.
Pembuktian Sesudah
Dikeluarkannya atau Diterbitkannya Polis
Dalam periode setelah penyerahan
polis, atau alat bukti yang sangat penting ialah tulisan atau surat serta
permulaan pembuktian dengan surat. Dalam arti luas hal ini yang dimaksud tentu
saja polis dengan seluruh persyaratannya.Hal ini berlaku mengenai diadakannya
perjanjian pertanggungan maupun tentang janji-janji khusus.Keduanya hanya dapat
dibuktikan dengan alat bukti tertulis, perhatikan pasal 258 KUHD. Kiranya
pengertian tersebut dapat diartikan bahwa pembuktian sesudah polis
dikeluarkanpun tetap bermula dengan
suatu tulisan (dalam hal ini yang dimaksud adalah polis). Dalam praktik
hal ini dapat terjadi, dimulai permintaan menjadi nasabah dan ditambah dengan
polis itu sendiri yang akhirnya keduanya merupakan suatu alat bukti yang
lengkap dalam satu kesatuan disini ialah permintaan atau pernyataan menjadi
nasabah yang ditanda tangani oleh calon nasabah dengan polis yang dikeluarkan
oleh penanggung dan ditanda tangani oleh penanggung.Polis yang dikeluarkan dan
ditanda tangani oleh penanggung, sebenarnya hanyalah mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna untuk kepentingan tertanggung atau orang-orang yang
memperoleh hak dari padanya dan hanya mempunyai kekuatan terhadap penanggung
yang bersangkutan saja.Artinya penanggung dengan siapa tertanggung mengadakan
perjanjian asuransi atau pertanggungan.[12]
Sebaliknya penanggung tidak dapat
mengajukan polis sebagai alat bukti surat terhadap tertanggung. Dalam hal ini
dapat saja penanggung juga mempergunakan tulisan sebagai alat bukti yang
pertama ialah dengan surat atau permintaan menjadi nasabah. Naskah permintaan
menjadi nasabah sesuatu perusahaan pertanggungan biasanya selalu tersedia.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa permohonan menjadi nasabah dan polis
(yang dilekatkan satu dengan yang lain) merupakan alat bukti yang lengkap bagi
suatu perjanjian pertanggungan.[13]
3.
Kekuatan mengikatnya Polis sebagai alat bukti
Alat
bukti dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 164HetHerziene
Inlandsch Reglement(“HIR”)junctoPasal 1866KUHPerdata adalah:
a)
bukti tertulis;
b)
bukti saksi;
c)
persangkaan;
d)
pengakuan;
e)
sumpah.
Keberadaan
polis merupakan alat bukti tertulis. Walaupun secara dibuat secara formil tetapi karena tidak dibuat didepan
pejabat, maka polis bukan merupakan suatu akta otentik melainkan akta dibawah
tangan.[14]Dalam
acara perdata bukti tulisan merupakan alat bukti yang penting dan paling utama
dibanding dengan yang lain.
Pasal
288 RBg dan Pasal 1875 KUHPerdata menentukan bahwa bila tanda tangan suatu akta
di bawah tangan telah diakui atau dianggap diakui menurut undang-undang, akta
tersebut bagi yang menandatangani ( mengakui ), ahli waris, dan orang-orang
yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna seperti akta
otentik. Tanda tangan dari si penanda tangan akta memberi pengesahan atas
kebenaran isi materiil yang tertera (
tercantum ) dalam akta tersebut.
Mengenai
daya kekuatan pembuktiannya, Yahya
Harahap menyebutkan bahwa untuk Akta di Bawah Tangan memiliki 2 (dua) jenis
daya kekuatan yang melekat padanya yaitu:
1)
Daya Kekuatan Pembuktian Formil;
Bila
tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut telah diakui, maka hal
tersebut berarti bahwa keterangan atau
pernyataan di dalam akta tersebut adalah dibuat oleh si yang bertanda
tangan tersebut. Kekuatanpembuktian formal aktadibawah tangan sama dengan
kekuatan formal akta otentik. Dalam hal ini berarti telah terdapat suatu
kepastian bagi siapa pun, bahwa si yang bertandatangan dalam akta di bawah
tangan tersebut menyatakan seperti apa yang ada di atas tanda tangan tersebut.
Atau
secara jelas disebut sebagai berikut:
a)
Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan
hal yang tercantum dalam akta;
b)
Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.
2)
Daya Pembuktian Materiil.
Sehubungan
dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata
dan Pasal 288 RBg, berarti isi keterangan akta di bawah tangan
tersebut berlaku penuh terhadap si
pembuat dan untuk siapa pernyataan tersebut dibuat. Dengan demikian akta
dibawah tangan hanya memberikan pembuktian material yang cukup atau sebagai
bukti yang sempurna terhadap orang yang menandatanganinya, ahli warisnya atau orang
yang mendapatkan hak darimereka.Sedangkan terhadap pihak ketiga kekuatan pembuktiannya
adalah bergantung kepada penilaian hakim.Akta di bawah tangan
yang diakui isi dan tanda tangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan
akta otentik, bedanya
terletak pada kekuatan bukti lahir atau kekuatan bukti
keluar yang tidak dimiliki
oleh akta di bawah tangan. Atau
secara jelas disebutkan sebagai berikut :
a)
Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar;
b)
Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang yang
mendapat hak dari padanya;[15]
Dengan
demikian berdasarkan pada penjelasan tersebut diatas maka apabila para pihak
telah memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu para pihak telah
mengakui kebenaran akta/polis tersebut, maka polis tersebut memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata.
Bukti
sempurna adalah bukti yang diajukan oleh pihak yang bersangkutan telah
sempurna, artinya tidak perlu lagi melengkapi dengan alat bukti lain, dengan
tidak mengurangi kemungkinan diajukan dengan bukti sangkalan ( tengen bewijs).
Jadi dengan bukti sempurna
yang diajukan tersebut,
memberikan kepada hakim kepastian yang cukup, akan tetapi
masih dapat dijatuhkan oleh bukti
sangkalan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim
bahwa tuntutan penggugat benar dan harus
diterima kecuali tergugat
dengan bukti sangkalannya ( tengen bewijs ) berhasil mengemukakan alat
bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim
telah benar.[16]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka yang
dapat disimpulkan adalah :
1.
Polis berfungsi
sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara
tertanggung dan penanggung
2.
Kekuatan hukum
mengikat polis sebagai alat bukti adalah :
a.
Daya Kekuatan Pembuktian Formil bahwa Orang yang
bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta; dan tidak
mutlak untuk keuntungan pihak lain.
b.
Daya Pembuktian Materiil adalah Isi keterangan yang
tercantum harus dianggap benar; dan Memiliki daya mengikat kepada ahli waris
dan orang yang mendapat hak dari padanya;
Dengan demikia apabila para pihak
telah memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu para pihak telah
mengakui kebenaran akta/polis tersebut, maka polis tersebut memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1875
KUHPerdata.
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad,
2002, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya, Bandung,
Emmy Pangaribuan
Simanjutak, I990, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
H.Mashudi
& Moch. Chidir Ali, I998, Hukum Asuransi, Mandar Maju,
Bandung,
M. Suparman S. dan
Endang, 1993, Hukum Asuransi,
Alumni, Bandung,
Sri Rejeki Hartono,
2001, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta
Hari Sasangka, 2005, Hukum
Pembuktian dalam Perkara
Perdata untuk Mahasiswa
dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung,
Artikel internet dan lainnnya
www.
hukumonline.com
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
[1] Ketentuan pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
[2] Sri Rejeki Hartono, 2001, Hukum
Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, hal.123-124
[3]H.Mashudi & Moch. Chidir Ali,
I998, Hukum Asuransi, Mandar Maju, Bandung, hal. 59
[4] Abdul Kadir Muhammad, 2002, Hukum
Asuransi Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hal.59
[5]Ibid
[6] M. Suparman S. dan Endang, 1993,
Hukum Asuransi,Alumni, Bandung, hal.25
[7]Emmy Pangaribuan
Simanjutak, I990, Hukum Pertanggungan, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal.24
[8] Sri Rejeki Hartono, 2001, Op.Cit.
hal132
[9] Emmy Pangaribuan, ibid
[11] Sri Rezeki Harttono, Op.Cit.hal.I33
[12] Sri Rejeki Hartono, 2001, Op.Cit.
hal. 133-134
[13]Ibid
[14] H.Mashudi & Moch.Chidir Ali,
Op.Cit.hal.7I
[15]www. hukumonline.com, Klinik,di
akses tanggal I3 februari 20I2
[16] Hari Sasangka, 2005, Hukum
Pembuktian dalam Perkara
Perdata untuk Mahasiswa
dan Praktisi, CV Mandar Maju, Bandung, hlm. 19.
coooooppppaaaaaassssssss
BalasHapus