Assalamualaikum..wr...wb...

Selamat datang di bolg ini....meskipun jauh dari kesempurnaan tetapi berharap dapat memberikan sedikit kontribusi yang bermanfaat bagi anda semua

Sabtu, 01 September 2012

EKSISTENSI YURIDIS PERSEROAN TERBATAS YANG TELAH DIPAILITKAN DAN DILIKUIDASI

BAB I
PENDAHULUAN
I.         Latar Belakang
Globalisasi di bidang ekonomi telah membawa dampak yang sangat luas pada bidang hukum bisnis. Hal ini ditandai dengan banyaknya badan usaha. Salah satu badan usaha yang sangat terkemuka dan berkembang pesat adalah perseroan terbatas. Pendirian perseroan terbatas ini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 ( Juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 ) sebagai akibat dari pada perkembangan yang sangat signifikan dalam bidang hukum bisnis agar perseroan terbatas tetap memilki suatu acuan dan memilki dasar  hukum yang jelas.
Dewasa ini banyak perseroan terbatas yang saling bersaing dalam bidang hukum bisnis untuk menunjukkan eksistensinya;  agar tetap bertahan sebuah perseroan terbatas harus mampu menjaga asetnya agar perseroannya tetap sehat. Dalam dunia usaha yang sering dilanda krisis ekonomi dan keuangan, perusahan sering mengalami kesulitan untuk mengembangkan kegiatan usaha, meningkatkan pendapatan, atau melakukan pembayaran utang kepada kreditor. Ketika terjadi degradasi ekonomi karena usaha tidak berkembang dan pendapatan menurun dan pada sisi lain utang semakin menumpuk terkadang pilihan hukum yang diambil oleh pelaku usaha adalah dengan mempailitkan perseroannya atau melikuidasi perseroan tersebut.
Ketika sebuah perseroan dinyatakan pailit maka sebagaimana di maksud dalam pasal 24 ayat (1 ) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa “ debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”
Melihat pada penjelasan pasal tersebut jelaslah bahwa debitor dalam perseroan terbatas kehilangan haknya untuk menurus harta kekayaan perusahaan, karena harta kekayaan secara otomatis pengurusannya akan beralih kepada seorang kurator.  Pasal 1 angka 1  UUK menyatakan bahwa “ kepailitan adalah: sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
Ketentuan pasal tersebut adalah bermaksud agar semua harta kekayaan tersebut dapat menjadi jaminan pelunasan hutang-hutang peseroan selaku debitur pailit. Jika telah dinyatakan pailit kemudian perseroan terbatas tersebut tidak mampu untuk mebayar hutang-hutangnya, maka tujuan terakhir dari kepailitan ini adalah dengan melikuidasi perseroan terbatas tersebut. Likuidasi merupakan aktivitas yang dilakukan apabila debitur pailit tidak dapat menunjukan kepada pengadilan niaga yang memiliki otoritas untuk menghentikan kepailitan. Atau dengan kata lain membereskan harta (asset) yang nantinya dipergunakan untuk membayar hutang- hutang. Tujuan utama likuidasi adalah melakukan pengurusan dan pemberesan atas harta pailit.
Didalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 142 menegaskan “ Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka :
a)      wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b)      Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.”
Dalam UUPT likuidasi dilakukan sehubungan dengan pembubaran perseroan yang terjadi karena sebab-sebab yang diatur dalam pasal 142 ayat (1). Salah satu sebab terjadi pembubaran perseroan adalah karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UUK pasal 142 ayat (1) huruf (e). Selanjutnya, dalam pasal 143 ayat (1) diatur bahwa pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) atau pengadilan. Dalam penjelasan pasal 143 ayat (1) ditegaskan antara lain bahwa pernyataan pailit tidak mengubah status Perseroan yang telah dibubarkan dan karena itu Perseroan harus dilikuidasi.
Pernyataan pailit yang berujung pada proses likuidasi telah membawa implikasi terhadap kelangsungan perseroan terbatas tersebut; dalam hal ini adalah berkaitan dengan eksistensinya secara yuridis. Apakah perseroan terbatas ini benar-benar telah hilang atau masih eksis badan hukumnya. Ini merupakan sebuah pertanyaan penting yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Pada kesempatan kali ini penulis tertarik untuk membahas masalah ini dalam judul “ EKSISTENSI YURIDIS PERSEROAN TERBATAS YANG TELAH DIPAILITKAN DAN  DILIKUIDASI “
II.      Rumusan Masalah
Bertolak pada judul diatas maka masalah yang dibahas adalah :”Bagaimana Eksistensi Yuridis Perseroan Terbatas Yang Telah Dipailitkan Dan  Dilikuidasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.         Pengertian Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas merupakan suatu  artificial person, yaitu  suatu badan hukum  yang dengan sengaja  diciptakan, yang pada dasarnya  mempunyai hak dan kewajiban yang sama  dengan manusia. Bila manusia memiliki  anggota tubuh , perseroan  memiliki organ-organ seperti  komisaris, direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham. Hak dan kewajiban  organ-organ perseroan ini  tidak hanya diatur  oleh undang-undang, Anggaran Dasar, dan doktrin. Perubahan  Anggaran Dasar perseroan hanya dapat  dilakukan sesuai dengan  ketentuan  yang ada dalam Anggaran Dasar[1] 

Dalam Undang-Undang Perseroan tebatas, yang dimaskud dengan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan  berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha  dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam  saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan  dalam undang-undang ini serta  peraturan pelaksananya. Berdasar  batasan yang diberikan  Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut  di atas ada  lima ( 5)  hal pokok yang  dapat dikemukakan di sini :

1.        Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum
Ilmu hukum mengenal dua macam  subjek hukum, yaitu subjek hukum  pribadi (orang perorangan), dan subjek hukum berupa badan hukum. Terhadap masing-masing subjek hukum tersebut berlaku ketentuan  hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun  dalam hal-hal  tertentu terhadap  keduanya  dapat diterapkan  suatu aturan yang berlaku umum.
Salah satu ciri khas  yang membedakan subjek  hukum pribadi dengan subjek hukum badan hukum adalah  saat lahirnya subjek hukum tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan  saat lahirnya hak-hak  dan kewajiban  bagi masing-masing subjek hukum tersebut. Menurut Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,pada subjek hukum pribadi, status subjek hukum  dianggap telah ada bahkan  pada saat pribadi perseorangan  tersebut berada dalam kandungan . Sedangkan pada badan hukum, keberadaan  status badan hukumnya baru diperoleh setelah ia memperoleh pengesahan  dari pejabat yang berwenang, yang memberikan  hak-hak, kewajiban  dan harta kekayaan  sendiri bagi badan hukum tersebut, terlepas dari  hak-hak, kewajiban  dan harta kekayaan para pendiri, pemegang saham, maupun para pengurusnya. Pasal 7 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa “perseroan memperoleh status badan hukum  setelah akta pendirian disahkan oleh Menter”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang  tidak satu pasal pun yang  menyatakan perseroan  sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas  dinyatakan  dalam Pasal 1 butir 1 bahwa perseroan  adalah badan hukum. Ini berarti perseroan tersebut  memenuhi syarat keilmuan sebagai  pendukung hak dan kewajiban antara lain  memiliki harta kekayaan  pendiri atau pengurusnya.
Sebagai suatu badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur  badan hukum  seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah :
1.      Organisasi yang teratur
Di dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dapat kita lihat  dari adanya organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang  Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
2.      Harta kekayaan sendiri
Menurut Pasal 31 dan 32 UUPT, harta kekayaan sendiri ini  berupa modal dasar  yang terdiri  atas seluruh nilai nominal saham yang terdiri atas uang  tunai dan harta kekayaan  dalam bentuk lain.
3.      Melakukan hubungan hukum sendiri
Sebagai badan hukum, perseroan melakukan sendiri hubungan  hukum dengan pihak ketiga yang diwakili  oleh pengurus yang disebut Direksi dan Komisaris. Direksi  bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan  perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan kegiatannya, direksi berada di bawah pengawasan Dewan Komisaris, yang dalam hal-hal tertentu membantu direksi dalam menjalankan tugasnya tersebut.
4.      Mempunyai tujuan tersendiri 
Tujuan tersebut ditentukan di dalam Anggaran Dasar perseroan, karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan  utama  perusahaan adalah memperoleh keuntungan/ laba.
2.        Perseroan Terbatas Didirikan Berdasar Perjanjian
Dalam pasal Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa perseroan didirikan olerh  dua orang  atau lebih dengan akta notaris  yang dibuat  dalam bahasa Indonesia. Rumusan  ini pada dasarnya  mempertegas  kembali makna perjanjian  sebagaimana diatur  dalam ketentuan umum  mengenai perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.  Sebagai perjanjian “khusus“ dan “bernama“. Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas   ini juga tunduk sepenuhnya  pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur  dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, disamping ketentuan khusus  yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian hanya sah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      pihak yang berjanji adalah mereka yang  cakap dalam hukum dengan pengertian bahwa  pihak tersebut  dianggap mampu  untuk melakukan  tindakan atau perbuatan hukum;
2.      dilakukan berdasarkan  kesepakatan sukarela  antara para pihak yang berjanji;
3.      adanya suatu objek yang diperjanjiakan;
4.      bahwa perjanjian tersebut meliputi sesuatu yang halal, yang diperkenankan oleh hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan  yang berlaku di masyarakat.

Ketentuan ini harus berlaku  selama perseroan masih berdiri, dan hal ini dipertegas kembali  dengan rumusan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas  yang mewajibkan jumlah pemegang saham  dalam perseroan minimum berjumlah dua orang, dan rumusan Pasal 27  huruf b, yang secara tegas  menolak permohonan perubahan  perubahan Anggaran Dasar perseroan yang isinya bertentangan dengan  peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Perjanjian pendirian  Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta  notaris yang  disebut dengan “Akta Pendirian“. Akta Pendirian ini pada dasarnya  mengatur  berbagai macam hak-hak dan kewajiban para pendiri perseroan  dalam mengelola dan menjalankan perseroan terbatas tersebut. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut  yang merupakan isi perjanjian  selanjutnya disebut dengan “Anggaran Dasar“ perseroan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas.
3.        Perseroan Harus Mejalankan Kegiatan Usaha Tertentu
Melakukan kegiatan usaha  artinya menjalankan perusahaan. Kegiatan usaha  yang dilakukan perseroan adalah  dalam bidang ekonomi, baik industri, perdagangan maupun jasa yang  bertujuan memperoleh keuntungan/ laba.
4.        Perseroan  Harus Memiliki Modal yang Terbagi dalam Saham-saham
Sebagai suatu  badan hukum yang independen, dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mandiri, lepas dari hak-hak dan kewajiban-kewajioban para pemegang sahamnya  maupun para pengurusnya, perseroan jelas harus memiliki  harta kekayaan tersendiri.
5.        Memenuhi Persyaratan Undang-undang
Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya mulai dari pendiriannya, beroperasinya  dan berakhirnya. Hal ini menunjukkan  bahwa Undang-Undang Perseroan Terbatas menganut sistem tertutup (closed system).
II.           Tata Cara Pendirian Perseroan Terbatas
Tata cara pendirian PT diatur dalam Bab II Undang-Undang Perseroan Terbatas  Pasal 7 dan Pasal 8 UUPT. Menurut Pasal 7 ayat (1), perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat    dalam bahasa Indonesia.Selanjutnya menurut Pasal 7 ayat (2), setiap pendiri perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan  didirikan. Perseroan memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian disahkan oleh Menteri.
Akta Pendirian Menurut Pasal 8 ayat (1)  UUPT  harus memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain, sekurang-kurangnya:
1)      nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri;
2)      susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota Direksi dan Komisaris yang pertama kali diangkat;
3)      nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian. 
III.        Organ-Organ Dalam Perseroan Terbatas
Menurut Pasal 1 ayat (2)  Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah  Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris.
1.         Rapat Umum Pemegang Saham
Undang-Undang Perseroan Terbatas Mengatur Mengenai  Rapat Umum Pemegang Saham dalam Bab VI, yaitu  dari Pasal 75 sampai Pasal 78. pengertian Rapat Umum Pemegang Saham menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah organ perseroan  yang memegang kekuasaaan  tertinggi dalam perseroan  dan memegang segala wewenang  yang tidak akan diserahkan  kepada Direksi atau Komisaris. Undang–Undang Perseroan Terbatas memberikan kewenangan berikut kepada Rapat Umum Pemegang Saham berupa:
1)      Penetapan Perubahan Anggaran Dasar
Menurut Pasal 19 ayat (1)  Undang-Undang Perseroan Terbatas Perubahan Anggaran Dasar ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham;
2)      Pembelian Kembali Saham
Menurut Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1)  atau pengalihannya  lebih lanjut  hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham;
3)      Penetapan  Penambahan Modal Perseroan
Penetapan penambahan modal perseroan diatur di dalam Pasal 41 Undang-Undang Perseroan Terbatas :
a)      Penambahan modal perseroan  hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang saham
b)      Rapat Umum Pemegang Saham dapat menyerahkan kewenangannya untuk memberikan  persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada komisaris  untuk paling lama 5 ( lima ) tahun
c)      Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) sewaktu-waktu  dapat ditarik kembali oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
4)      Penetapan Pengurangan Modal Perseroan
Pengurangan  modal perseroan menurut  Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dilaksanakan sesuai  dengan ketentuan sebagaimana  dimaksud Pasal 35.
5)      Persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan
Menurut Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, persetujuan  laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham
6)      Penentuan Penggunaan Laba
Menurut Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, penggunaan laba bersih termasuk penentuan  jumlah  penyisihan untuk cadangan  sebagaimana  dimaksud dalam pasal 61 ayat (1)  diputuskan  oleh Rapat Umum Pemegang Saham.
7)      Pengangkatan/ Pemberhentian/ Pembagian Tugas Direksi Dan Komisaris
Di dalam Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbats disebutkan bahwa anggota direksi diangkat oleh RUPS. Sedangkan untuk pemberhentian direksi diatur dalam pasal 105  ayat ( 6 ) Undang-Undang Perseroan Terbatas :
a)      Anggota direksi dapat sewaktu-waktu diberhentikan   berdasarkan keputusan  RUPS  dengan menyebutkan alasannya.
b)      Keputusan untuk memberhentikan anggota direksi   sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.
c)      Dengan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kedudukannya sebagai anggota direksi berakhir.
Ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa  Dewan komisaris diangkat oleh RUPS.
8)      Persetujuan Pengalihan / Penjaminan Kekayaan Perseroan
Berdasar ketentuan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan..
9)      Persetujuan Atas Penggabungan, Peleburan Dan Pengambilalihan Menurut Pasal 122 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas, penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila rancangan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disetujui oleh RUPS masing-masing perseroan.
10)  Pembubaran Perseroan
Menurut Pasal 142 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena :
1)      berdasarkan keputusan RUPS;
2)      karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
3)      berdasarkan penetapan pengadilan;
4)      dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5)      karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
6)      karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

2.        Direksi
Jabatan anggota direksi dalam pengurusan perseroan merupakan jabatan penting , karena seluruh kegiatan operasional dari suatu perseroan  terletak di tangan direksi.[2] Dalam Pasal 1 ayat (4) UUPT disebutkan bahwa direksi  adalah organ perseroan yang  bertanggung jawab penuh atas  pengurusan perseroan  untuk kepentingan dan  tujuan perseroan  serta mewakili perseroan  baik di dalam maupun diluar  pengadilan sesuai ketentuan Anggaran Dasar
1)      Tugas dan Wewenang Direksi
Dalam melakukan tugas dan wewenangnya direksi harus bertolak  dari landasan  bahwa tugas dan kedudukannya  d1peroleh berdasarkan dua prinsip  yaitu pertama kepercayaan  yang diberikan perseroan kepadanya(fiduciary duty) dan kedua yaitu prinsip  duty of skill ang care atau kemampuan dan kehati-hatian tindakan Direksi.[3]  
Di dalam Undang-Undang Peseroan Terbatas, tugas dan wewenang direksi terdapat dalam pasal-pasal berikut ini : Pasal 92 yaitu antara lain :
1.      Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
2.      Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
3.      Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
2)      Tanggung Jawab Direksi
Lebih lanjut tentang tanggung jawab  direksi daitur dalam Pasal 97
1.      Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
2.      Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
3.      Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4.      Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
5.      Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a)      kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b)     telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c)      tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d)     telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

3.        Komisaris
Perkataan komisaris menurut Chatamarrasjid mengandung pengertian, baik sebagai “organ” maupun sebagai “orang perseorangan”. Komisaris lazim disebut Dewan Komisaris, sedangkan orang perseorangan disebut anggota komisaris. [4]
Pegertian Komisaris menurut  Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah  organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan  secara umum dan khusus  serta memberikan nasehat  kepada direksi dalam menjalankan perseroan”.

Didalam UUPT pasal Pasal 114 mengatur tentang tugas dan tanggung jawab komisaris antara lain :

1.      Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1).

2.      Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

3.       Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

4.      Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.

BAB III
PEMBAHASAN
I.         Eksistensi Yuridis Perseroan Terbatas Yang Telah Dipailitkan
Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian asset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. dengan demikian eksistensi perseroan terbatas yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likudasi  tersebut. Prinsip utama kepailitan perseroan terbatas adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya.[5]
Eksistensi yuridis dari perseroan terbatas yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakanya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga ( 3 ) landasan antara lain :
1)      Kepailitan terhadap perseroan tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi terhadap perseroan terbatas tersebut dan kepailitan diangkat serta berakibat perseroan terbatas itu kembali pada keadaan semula sebagaimana perseroan sebelum adanya kepailitan. Seandainya eksisistensi badan hukum perseroan terbatas hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak dimungkinkannya adanya pengangkatan  kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah hapunya status badan hukum itu.
2)      Dalam proses kepailitan perseroan terbatas, maka perseroan terbatas tersebut masi dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana tentunya yang melakukan perbuatan hukum perseroan  tersebut adalah curator atau setidak-tidaknya atas mandate kurator. Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih dapat melakukan proses transaksi tersebut.
3)      Dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit (on going concern). Pelanjutan usaha perseroan yang dalam pailit tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan perseroan terbatas itu. Dengan masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam pailit ini, maka dimungkinkannya going concern dari usaha perseroan ini. Disinilah kelebihan/ keuntungan status perseroan dalam pailit yang tunduk pada rezim hukum kepailitan dengan status perseroan dalam likuidasi yang tunduk pada hukum perseroan terbatas secara umum yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas.[6]
Dalam pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan ( going concern ) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang pada akhirnya hasil keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utang-utang perseroan.  Melanjutkan perusahaan ini merupakan langkah yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan perseroan karena kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik.
Dalam konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan tiga jenis utang , yakni utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang jangka panjang. Kesulitan utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan dengan kebangkrutan suatu perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini biasanya hanya sebagai akibat dari kesalahan manajemen cash flow ( arus keluar masuk uang perseroan ). Dalam teori manajemen keuangan sebagaimana disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi :[7]
1)      Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang  economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian ( return ) dibawah tingkat bunga pasar.
2)      Business Failure, istilah ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefenisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ mentup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.
3)      Technical Insolvency. Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical Insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara  dimana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak apabila technical insolvency merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster ).
4)      Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda daari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.
5)      Legal bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut diatas.
Dari lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan keuangan jenis pertama, kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan dengan dengan kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami kesulitan keuangan, maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun oleh karena sistem hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis kesulitan keuangan perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang berarti bahwa kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut, maka konsep pelanjutan usaha ( on going concern ) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan tersebut manyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe kesatu, kedua, atau yang ketiga.
Dalam hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai subjek hukum yang penuh dalam transaksi bisnis. Ada beberapa pembedaan perseroan terbatas yang sudah dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ pengurus yang bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan direksi dari perseroan tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurursan perseroan terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan yang on going concern tersebut.[8]
Perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis bubar, melainkan masih eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan tertentu masih menjalankan usahanya seperti lazimnya perseroan terbatas ketika tidak terjadinya kepailitan sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Kepailitan menurut UUK diatur dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :
”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
Dari pasal diatas menerangkan, bahwa apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan terjadi penyitaan atau sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.
Permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang berinisiatif untuk mengajukan pailit ke pengadilan berdasarkan undang-undang kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ialah :
1.      Debitor itu sendiri (Volutary petition),
2.      Adany satu/lebih kreditur,
3.      Kejaksaan untuk kepentingan umum,
4.      Bank Indonesia jika debiturnya bank,
5.      Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek.[9]

Dengan adanya permohonan pailit yang diajukan maka akan dikeluarkan putusan pernyataan pailit. Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan atas permohonan kreditur dapat mengubah seseorang (badan hukum) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak adanya pernyataan putusan pailit diucapkan oleh ketua pengadilan.  Permohonan pailit tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang mengurus perkara pailit, permohonan pailit yang diajukan akan dikabulkan apabila telah terbukti secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa:
“ Permohonan pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana dalam pasal diatas adalah yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan tidak dapat menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut.[10]
Akibat hukum dari adanya kepailitan  yang diberlakukan kepada debitor oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu :[11]
1.      Berlaku demi hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya selama masa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
2.      Berlaku secara Rule of Reason
Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut.
Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum kepailitan dari subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas. Terhadap kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit. Kewenangan untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator. Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengebangkan usaha dari sipailit.[12]
Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti mealkukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga organ perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan  dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini mempunyai dua makna antara lain :[13]
1)      Kewenangan dari tiga organ perseroan terbatas menjadi berlaih kepada kurator sepanjang yang berhubungan dengan harta kekayaan.
2)      Kurator tidak hanya menggantikan kewenangan kelembagaan direksi perseroan terbatas saja, akan tetapi melebihi dari kewenangan direksi yakni didalamnya juga melekat kewengan komisaris dan bahkan kewenangan pemegang saham sepanjang berhubungan dengan pengurusan dan peerbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan.
Kurator pada perseroan terbatas yang sedang pailit pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan harta pailit dari perseroan tersebut. Dalam pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Kepaillitan secara tegas menyatakan bahwa : “kurator tidak memerlukan persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan”.
II.           Eksistensi Yuridis Perseroan Terbatas Yang Telah Dilikuidasi
Perseroan terbatas yang dalam “status likuidasi” masih eksis badan hukumnya seperti dalam kepailitan diatas. Hanya saja perusahaan dalam likuidasi tidak boleh menjalankan bisnis baru melainkan hanya menyeleasikan tugas-tuganya dalam rangka proses pemberesan dan likuidasi dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar tugas tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas antara lain : pasal 142 ayat ( 2 )” Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
a)      wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b)      Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.

Pasal 149 ayat ( 1 )  menyebutkan bahwa tindakan-tindakan yang termasuk kategori pemberesan antara lain : “Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan” :

a)      pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;

b)      pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;

c)      pembayaran kepada para kreditor;

d)     pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan

e)      tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan

Lebih lanjut dalam Pasal 143 disebutkan bahwa : ayat ( 1 ) disebutkan bahwa “Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan”..

Dalam hal perseroan bubar yang diikuti dengan likuidasi, maka tidak dimungkinkan untuk dicabut status likuidasi tersebut apalagi direhabilitasi untuk kemudian menjadi badan hukum normal seperti sediakala. Proposisi ini jelas berbeda dengan status pailit perseroan terbatas tersebut. Munir Fuady menjabarkan konsekuensi hukum dari penempatan perseroan menjadi PT ( dalam likuidasi ), yakni antara lain :
1)      Yang paling pokok adalah bahwa bisnis dari perusahaan tersebut dihentikan
2)      Semua kekuasaan direksi berlalih kepada likudator
3)      Kekuasaan komisaris dibekukan
4)      Kekuasaan Rapat Umum pemegang Saham ( RUPS ) dibekukan, kecuali dalam hal laporan terakhir dari likuidator, yang memang harus diberikan kepada RUPS.
5)      Perusahaan tetp jalan sejauh untuk kepentingan pembersan dan pembubarannya saja.
6)      Perusahaan tidak dapat lagi mengubah asetnya, kecuali yang dilakukakan oleh likuidator dalam rangka pemberesan;
7)      Menjadi restriksi tehadap kekuasaan kreditornya untuk memproses dengan proses hukum lainnya.[14]
Suatu perseroan terbatas yang telah dilikuidasi , maka eksistensi badan hukum perseroan terbatas masih tetap ada sampai proses likuidasi terssebut beres sama sekali yang berujung pada bubarnya perseroan terbatas tersebut. Likuidasi adalah proses untuk melakukan pemberesan harta kekayaan perseroan dalam rangka pembubaran perseroan tersebut. karena itu dalam proses pembubaran perseroan terbatas yang masih dalam proses likuidasi atau dalam bahasa teknis hukum disebut sebagai PT ( dalam likuidasi ) masih dapat digunakan lembaga kepailitan didalamnya. Hal ini berarti bahwa PT ( dalam likuidasi ) masih bisa diajunkan permohonan untuk dipailitkan dan pengadilan masih dapat menyatakan pailit atas permohonan tersebut. Kepailitan terhadap PT ( dalam likuidasi ) memilki makna untuk lebih mempercepat proses likuidasi tersebut, disamping karena PT ( dalam likuidasi ) ini masih eksis status badan hukumnya.


BAB IV
PENUTUP
I.         Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka yang dapat di tarik kesimpulannya adalah :
1.      Eksistensi yuridis dari perseroan terbatas yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakanya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Demikian juga dengan
2.      Suatu perseroan terbatas yang telah dilikuidasi , maka eksistensi yuridis badan hukum perseroan terbatas masih tetap ada sampai proses likuidasi terssebut beres sama sekali yang berujung pada bubarnya perseroan terbatas tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Aria, Sayud, dkk, 2004 Kepailitan Dinegeri Pailit, cetakan kedua, Pusat Studi Hukum & kebijakan Indinesia dicetak oleh Dimensi, Jakarta
Fuady, Munir 2002Hukum Pailit 1998, cetakan kedua, Bandung,
Nating, Imran, 2004, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Saliman, Abdul. R. & Hermansyah, & Jalis, Ahmad, 2008,  Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cet. Keempat,  Kencana renada Media Group, Jakarta
Subhan, M.Hadi, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta
Silalahi, M. Udin, 2005. Badan Hukum Organisasi Perusahaan. IBLAM, Jakarta
Jurnal
Jurnal Hukum Bisnis, 2011, vol.30, no.2, Telaah Kritis Implikasi Hukum Pembubaran Perseroan Terbatas.

Peraturan PerUndang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang



[1] Chatamarrasjid Ais. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan ,PT. Citra Aditya Bakti Bandung,.hal.55

[2] M. Udin Silalahi. 2005. Badan Hukum Organisasi Perusahaan. IBLAM, Jakarta , hal.40
[3] Chatamarrasjid, Op.Cit, hal.71
[4] Ibid, hal.81
[5] M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama, cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.198
[6] Ibid, hal.199
[7] Ibid, hal.202
[8] Ibid, hal.205
[9] Sayudi Aria, dkk, 2004 Kepailitan Dinegeri Pailit, cetakan kdua, Pusat Studi Hukum & kebijakan Indinesia dicetak oleh Dimensi, Jakarta, hal 76

[10] Ibid, hal.148
[11] Munir Fuady, 2002Hukum Pailit 1998, cetakan kedua, Bandung, hal. 65
[12] M. Hadi Subhan, Op.Cit.hal.209
[13] Ibid
[14] Ibid.hal.200