BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Bidang usaha pertambangan merupakan
salah satu bidang usaha yang mendapat prioritas utama dari pemerintah sebelum
dan sesudah diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal, baik bagi pihak asing
maupun pihak dalam negeri. Untuk itu, pemerintah berusaha untuk dapat
mengarahkan dan mengelola sumber-sumber daya alam yang termasuk dalam bidang
usaha pertambangan. Bidang usaha pertambangan meliputi pertambangan minyak
bumi, gas bumi, batubara, logam, timah, bijih nikel, bausit, pasir besi, perak
serta konsentrat tembaga.[1]
Hak pengelolaan pertambangan merupakan hak mengusai Negara sebagaimana diatur
dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ( UUD 1945 ) ayat ( 2 ) dan ( 3) menyebutkan bahwa :
Ayat
( 2 ) : cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara
Ayat
( 3 ) : bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
ketentuan pasal 33 UUD 1945 tersebut diatas maka jelaslah bahwa pertambangan
merupakan salah satu cabang produksi yang dikuasai oleh negara, dalam arti
bahwa wewenang pengelolaan, peruntukan dan pemanfaatan oleh negara untuk
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Program pengembangan bidang usaha
pertambangan ditujukan pada penyediaan bahan baku industri dalam negeri,
peningkatan eksport serta penerimaan negara, serta perluasan kesempatan kerja
dan berusaha. Pembangunan bidang usaha pertambangan terutama dilakukan melalui
penganekaragaman hasil tambang dan pengelolaan hasil tambang secara efisien.[2] Kegiatan Usaha pertambangan sebelumnya diatur
didalam Undang- Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh:
a) Instansi
pemerintah.
b) Perusahaan
negara.
c) Perusahaan
daerah.
d) Perusahaan
dengan modal bersama negara dan daerah.
e) Koperasi.
f) Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi
syarat-syarat yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), yang mengatur tentang
kuasa pertambanganuntuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang
tersebutdalam Pasal 3 ayat (1) huruf b yaitu Golongan bahan galian vital, dapat
diberikan kepada:
1) Badan
hukum koperasi.
2) Badan
hukum swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturanRepublik
Indonesia, bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuanberusaha di lapangan
pertambangan dan pengurusnya mempunyaikewarganegaraan Indonesia dan bertempat
tinggal di Indonesia.
3) Perseorangan
yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggaldi Indonesia.
Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan Undang-Undang baru yang
menggantikan Undang-Undang lama yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang
Pokok-pokok pertambangan yang berlaku selama kurang lebih empat dasawarsa yang
telah membawa perubahan yang signifikan dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Namun dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 materi muatannya
dinilai sentralistik sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
situasi dan tantangan masa depan.
Pembangunan pertambangan harus
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun
internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh petambangan mineral dan
batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi
daerah,hak asasi manusia, lingkungan hidup,perkembangan teknologi, dan
informasi,serta hak kekayaan intelektual serta penuntutan peningkatan
masyarakat. Untuk mengahadapi
tantangan lingkungan strategis dan menjawab permasalahan tersebut maka telah
disusun Undang-Undang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967
tentang Pokok-Pokok Pertambangan
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Sebelum berlakunya
undang-undang nomor 4 tahun 2009, dasar hukum yang melandasi kerjasama
Pemerintah Indonesia dengan pihak swasta asing dalam bentuk Kontrak Karya
didasarkan pada Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, yang menyatakan bahwa:[3]
“Perjanjian
internasional baik bilateral,
regional, maupun multilateral dalam
bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia
sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya
perjanjian- perjanjian tersebut”
Hal
ini bertujuan agar semua kontrak yang
dibuat pada bidang pengusahaan bahan galian
(tambang) yang didasarkan pada
Pasal 8 Undang-UndangNomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman
Modal Asing, tetap mengikat bagi pihak-pihak
yang berkepentingan. Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 menyatakan bahwa:
“penanaman modal asing dibidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas
dasar kontrak/ bentuk lain
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”
Hal
ini dimaksudkan juga agar dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.Namun setelah berlakunya undang-undang nomor 4 tahun 2009 kegiatan
usaha pertambangan berbasis kontrak karya mengalami perubahan yaitu menjadi
sistem perizinan.Kehadiran undang-undang merupakan langkah maju pemerintah
karena pertambangan dengan sistem kontrak karya telah banyak membawa kerugian
bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, karena hanya berpegang teguh pada asas kebebasan
berkontrak.Namun undang-undang ini sempat membuat resah para investor asing
bidang pertambangan serta menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian hukum.
Karena di satu sisi kontrak isi mengikat para pihak namun disisi lain kontrak
tersebut tidak boleh melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.2.Rumusan
Masalah
“ Bagaimana Kepastian Hukum Investasi Bidang Pertambangan
Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
Dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal
“?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Pengertian
Kegiatan Usaha Pertambangan
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 1 butir (1) disebutkan
pertambangan adalah :
“ sebagian atau seluruh tahapan
kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau
batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pasca tambang”
Usaha
pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara
yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta pasca tambang.[4]
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan
galian dibedakan menjadi 8 ( delapan )
tahapan yaitu:
1. Penyelidikan
umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi
regional dan indikasi adanya mineralisasi;
2. Eksplorasi,
adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara
terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan
sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan
sosial dan lingkungan hidup;
3. Operasi
produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi,
penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta
sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan;
4. Konstruksi,
adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh
fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan;
5. Penambangan,
adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
batubara dan mineral ikutannya;
6. Pengolahan
dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu
mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral
ikutan;
7. Pengangkutan,
adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara
dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat
penyerahan;
8. Penjualan,
adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral
atau batubara.
Usaha pertambangan
ini dikelompokkan atas:
1. Pertambangan
Mineral[5]
Mineral
adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan
kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk
batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.[6]Pertambangan
mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di
luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah[7].
Pertambangan mineral digolongkan atas:[8]
a) Pertambangan
mineral radio aktif;
b) Pertambangan
mineral logam;
c) Pertambangan
mineral bukan logam;
d) Pertambangan
batuan.
2. Pertambangan
Batubara[9]
Batu
baraadalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh-tumbuhan[10].
Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam
bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.[11]
2.2. Kegiatan
Usaha Pertambangan Umum Di Indonesia
I. Tahap
Penyelidikan Bahan Galian
Di
dalam Pasal 1 butir 6 Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara telah diuraikan pengertian usaha pertambangan. Dari uraian tersebut,
dapat dipahami bahwa tahapan penyelidikan sebuah studi eksplorasi bahan galian
menjadi suatu keharusan yang harus dilalui. Tahapan penyelidikan tersebut
dilakukan guna menghindari gagalnya sebuah kegiatan eksploitasi, sehingga biaya
penyelidikan dapat dikendalikan secara proporsional. Artinya, untuk kebanyakan
bahan galian, sangat tidak mungkin kegiatan eksplorasi dilakukan secara
“ujug-ujug”, yaitu tidak mungkin setiap satu kilometer persegi dilakukan
pemboran rinci tanpa acuan, arahan, dan petunjuk data-data geologis yang
menuntunnya. 38 Sebab kegiatan pemboran dalam eksplorasi secara teknis telah
termasuk pada tataran eksploitasi detail, selain itu dalam melaksanakan
kegiatan pemboran, secara geologis, deposit yang akan dibor terlebih dahulu
harus telah diketahui dengan jelas arah dan kemiringannya.
Adapun
tahapan kegiatan eksplorasi bahan galian adalah:[12]
1.
Studi pendahuluan.
Studi
pendahuluan merupakan kegiatan persiapan sebelum melakukan penyelidikan
langsung di lapangan.
2.
Survei tinjau
Survei
tinjau merupakan kegiatan eksplorasi di lapangan, sifatnya hanya peninjauan
sepintas pada daerah-daerah yang sebelumnya diperkirakan menarik dari sisi data
geologi, sehingga dari kegiatan ini diharapkan dapat diketahui indikasi
mineralisasi bijih bahan galian.
3.
Eksplorasi pendahuluan
(prospeksi).
Kegiatan
eksplorasi pendahuluan dilaksanakan pada wilayah yang telah dibatasi atau
dilokalisasi dari hasil studi survei tinjau yang telah dilakukan sebelumnya.
4.
Eksplorasi umum.
Kegiatan
eksplorasi umum merupakan bagian dari kegiatan penyelidikan pendahuluan, dengan
cakupan luas areal penyelidikan lebih kecil.
5.
Eksplorasi detail atau
rinci.
Pasal
1 butir 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, menegaskan: “Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk,
dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta
informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup”. Kegiatan eksplorasi
rinci merupakan kegiatan tahapan penyelidikan lapangan terakhir yang dilakukan.
II. Studi
Kelayakan
Studi
kelayakan selain merupakan salah satu kewajiban normatif yang harus dipenuhi
dan prasayarat untuk memperoleh IUP (Izin Usaha Pertambangan) Operasi
Produksi.Sesungguhnya apabila dipahami secara benar, studi kelayakan merupakan
dokumen penting yang berguna bagi berbagai pihak, khususnya bagi pelaku usaha,
pemerintah, dan investor atau perbankan.Dengan demikian, dokumen studi
kelayakan bukan hanya seonggok tumpukan kertas yang di dalamnya memuat konsep,
perhitungan angka-angka dan gambar-gambar semata, tetapi merupakan dokumen yang
sangat berguna bagi manajemen dalam mengambil keputusan strategis apakah
tambang tersebut dilanjutkan atau tidak. Hal lain yang harus dipahami adalah
studi kelayakan bukan hanya mengkaji secara teknis, atau membuat prediksi/proyeksi
ekonomis, namun juga mengkaji aspek nonteksnis lainnya, seperti aspek sosial,
budaya, hukum, dan lingkungan.
Studi
kelayakan selain berguna dalam mengambil keputusan jadi atau tidaknya rencana
usaha penambangan itu dijalankan, juga berguna pada saat kegiatan itu jadi
dilaksanakan, yakni ;
1) dokumen
studi kelayakan berfungsi sebagai acuan pelaksanaan kegiatan, baik acuan kerja
di lapangan, maupun acuan bagi staf manajemen di dalam kantor;
2) berfungsi
sebagai alat kontrol dan pengendalian berjalannya pekerjaan;
3) sebagai
landasan evaluasi kegiatan dalam mengukur prestasi pekerjaan, sehingga apabila
ditemukan kendala teknis ataupun nonteknis, dapat segera ditanggulangi atau
dicarikan jalan keluarnya;
4) bagi
pemerintah, dokumen studi kelayakan merupakan pedoman dalam melakukan
pengawasan, baik yang menyangkut kontrol realisasi produksi, kontrol
keselamatan dan keselamatan kerja, kontrol pengendalian aspek lingkungan, dan
lain-lain.[13]
Adapun aspek-aspek yang menjadi
kajian dalam studi kelayakan adalah:[14]
1) Aspek kajian teknis, meliputi:
a) kajian hasil eksplorasi, berkaitan dengan aspek
geologi, topografi, sumur uji, parit uji, pemboran, kualitas endapan, dan
jumlah cadangan;
b) hasil kajian data-data eksplorasi tersebut sebagai
data teknis dalam menentukan pilihan sistem penambangan, apakah tambang
terbuka, tambang bawah tanah atau campuran.
2) Aspek
kajian nonteknis, meliputi:
a) kajian
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek ketenagakerjaan, aturan
K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), sistem perpajakan dan retribusi, aturan
administrasi pelaporan kegiatan tambang, dan lain-lain;
b) kajian
aspek sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, meliputi kajian
aspek hukum adat yang berlaku, pola perilaku, dan kebiasaan masyarakat
setempat.
3) Kajian
pasar, berkaitan dengan supply and demand, dapat dianalisis dari
karakter pasar, potensi, dan pesaing pasar.
4) Kajian
kelayakan ekonomis, adalah perhitungan tentang kelayakan ekonomis yang berupa
estimasi-estimasi dengan mempergunakan beberapa metode pendekatan. Secara umum,
metode pendekatan yang dimaksud biasanya melalui analisis Net Present Value
(NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Profitability Index (PI), Internal
Rate of Return (IRR), dan Payback Period.
5) Kajian
kelayakan lingkungan, berbentuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan
UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan- Upaya Pemantauan Lingkungan).
III. Eksploitasi
Bahan Galian
Kegiatan
eksploitasi boleh dikatakan merupakan kegiatan utama dari industri tambang,
yaitu kegiatan menggali, mengambil atau menambang bahan galian yang telah
menjadi sasaran atau rencana sebelumnya. Pemilihan cara atau sistem penambangan
secara umum terbagi dua sistem, yaitu:[15]
1)
Tambang terbuka (Surface Mining).
Pemilihan sistem penambangan atau tambang terbuka biasa diterapkan untuk bahan
galian yang keterdapatannya relatif dekat dengan permukaan bumi.
2)
Tambang Bawah Tanah (Underground Mining)
Tambang bawah tanah mengacu pada metode pengambilan bahan mineral yang
dilakukan dengan membuat terowongan menuju lokasi mineral tersebut karena letak
mineral yang umumnya berada jauh di bawah tanah.
IV. Pengolahan
dan Pemurnian
Menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pengolahan dan pemurnian bahan galian bukan
hanya sebatas bagian dari tahapan industri pertambangan, tetapi merupakan
sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan pelaku usaha pertambangan. Ketentuan
kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan bagian akomodasi
dari tuntutan beberapa kalangan masyarakat yang melihat bahwa kebijakan
pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang selama ini berjalan dianggap
kurang memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat, karena bahan galian
dijual langsung tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dari kondisi
tersebut, kemudian muncul istilah bahwa bangsa Indonesia dalam memenuhi pos
pendapatan negaranya, dilakukan dengan cara “menjual” tanah air kepada bangsa
asing. Artinya, yang dimaksud dengan tanah adalah batuan atau bijih atau
mineral dijual secara langsung dalam bentuk bongkahan, sedangkan yang dimaksud
menjual air, sebagaimana diketahui melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, bahwa air dapat dilakukan pengelolaanya 100% oleh
swasta atau swasta asing.[16]Akan
tetapi, diatur juga mengenai kewajiban pelaku usaha pertambangan dalam
melakukan kegiatan usaha pertambangan diwajibkan meningkatkan nilai tambah
setiap bahan galian yang dieksploitasi dari wilayah hukum Indonesia, sehingga
hal tersebut menjadi langkah awal wujud konkret dari pemanfaatan bahan galian
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[17]
Pengaturan
tentang kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian bahan galian tidak
hanya berlaku bagi pelaku usaha yang baru akan melakukan kegiatan usaha
pertambangannya setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tetapi juga
berlaku bagi pelaku kegiatan usaha pertambangan yang telah berjalan, baik
legalitasnya dalam bentuk kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, ataupun kuasa pertambangan wajib melakukan pengelolaan
dan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 diundangkan.[18]
2.3. Kewenangan
Pengelolaan Pertambangan Umum
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 3 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan
sumber daya alam tambang adalah permerintah pusat.Hal tersebut disebabkan oleh
sistem pemerintahan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 bersifat sentralistik, artinya segala macam
urusan yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan penetapan
izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, maupun lainnya,
pejabat yang berwenang memberikan izin adalah menteri, dalam hal ini adalah
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan dalam
pemberian izin diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota)
dan pemerintah pusat, sesuai dengan kewenangannya. [19]
Kewenangan
pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah :[20]
1) penetapan
kebijakan nasional;
2) pembuatan
peraturan perundang-undangan;
3) penetapan
standar nasional, pedoman, dan kriteria;
4) penetapan
sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
5) penetapan
WP (Wilayah Pertambangan) yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
6) pemberian
IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
7) pemberian
IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah provinsi
dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
8) pemberian
IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas
provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
9) pemberian
IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
10) pengevaluasian
IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah
menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah
pertambangan yang baik;
11) penetapan
kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
12) penetapan
kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
13) perumusan
dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha pertambangan
mineral dan batubara;
14) pembinaan
dan pengawasan penyelengaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara
yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
15) pembinaan
dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;
16) penginventarisasian,
penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP (Wilayah Usaha
Pertambangan) dan WPN (Wilayah Pencadangan Negara);
17) pengelolaan
informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta
informasi pertambangan pada tingkat nasional;
18) pembinaan
dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang;
19) penyusunan
neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;
20) pengembangan
dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan; dan
21) peningkatan
kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Kewenangan
pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:
1) pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;
2) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas)
mil;
3) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya
berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil
sampai dengan 12 (dua belas) mil;
4) pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik
masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak
lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil
sampai dengan 12 (dua belas) mil;
5) penginventarisasian,
penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;
6) pengelolaan
informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta
informasi pertambangan pada daerah wilayah provinsi;
7) penyusunan
neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi;
8) pengembangan
dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;
9) pengembangan
dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan
memperhatikan kelestarian lingkungan;
10) pengoordinasian
perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai
dengan kewenangannnya;
11) penyampaian
informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta
eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;
12) penyampaian
informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri
dan bupati/walikota;
13) pembinaan
dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan
14) peningkatan
kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.
Kewenangan
pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain,
adalah:
1)
pembuatan
peraturan perundang-undangan daerah;
2)
pemberian IUP dan
IPR (Izin Pertambangan Rakyat), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau
wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
3)
pemberian IUP dan
IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha
pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
4)
penginventarisasian,
penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
informasi mineral dan batubara;
5)
pengelolaan
informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta
informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;
6)
penyusunan neraca sumber daya mineral dan
batubara pada wilayah kabupaten/kota;
7)
pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan;
8)
pengembangan dan
peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara
optimal;
9)
penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan
umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepada Menteri dan gubernur;
10)
penyampaian informasi hasil produksi, penjualan
dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;
11)
pembinaan
dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; dan
12)
peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan.
Walaupun
pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk pengelolaan pertambangan umum,
namun semua kebijakan yang berkaitan dengan pertambangan umum masih didominasi
oleh pemerintah pusat.Seperti yang menandatangani kontrak karya pada wilayah
kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah bupati/walikota dengan perusahaan
pertambangan. Tetapi segal hal yang berkaitan dengan substansi kontrak karya
telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah kabupaten/kota
tidak dapat mengembangkan substansi kontrak karya sesuai dengan kebutuhan
daerah.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Investasi Pertambangan
Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 JunctoUndang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
Dalam bidang usaha pertambangan pada ketentuan
undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan didasari
oleh defenisi dan ketentuan perjanjian yang terdapat dalam KUH perdata.
Perjanjian tersebut terdapat dalam buku III KUH Perdata. Buku III KUH Perdata
menganut asas open system yang
berarti bahwa para pihak bebas mengadakan kontrak dengan siapapun menentukan
syarat-syaratnya, pelaksanaannya maupun bentuk kontraknya baik secara tertulis
maupu secara lisan. Hal ini dikenal dengan sebutan asas kebebasan berkontrak
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1338 ayat 1 KUH perdata yang menyatakan
bahwa semua kontrak atau perjanjian dibuat secara sah dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Prinsip kebebasan berkontrak tersebut kemudian
dijadikan pedoman oleh pemerintah dan investor asing khususnya investor
dibidang pertambangan sesuai dengan ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 1967
dan sistem yang diberlakukan adalah dalam system kontrak. Dengan demikian bahwa
kedudukan para pihak dalam kontrak tersebut yaitu pemeritah denga investor
asing adalah :
1. Merupakan kesepakatan kedua belah pihak;
2. Kedudukan pemerintah selaku pelaku usaha adalah sejajar dengan investor;
3. Prosedurnya adalah negosiasi;
4. Sifatnya dua pihak;
5. Bentuk hukumnya kesepakatan;
6. Jika ada sengketa prosesnya melalui arbitrase atau mediasi;
Legalitas pengusahaan bahan galian menurut
undang-undang nomor nomor 4 tahun 2009 secara substansi hanya dalam satu bentuk
yaitu izin usaha, berbeda dengan legalitas pengusahaan pada saat berlakunya
Undang-undang nomor 1 tahun 1967, terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu
Kuasa Pertambangan(KP) kontrak karya ( KK ), pertambangan mineral dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara(PKP2B) dan SIPD untuk bahan
galian industri, dan izin pertambangan rakyat untuk tambang rakyat. Beragam
legalitas pada saat berlakunya UU nomor 11 tahun 1967, menyebabkan koordinasi,
pengawasan dan pengendalian kurang maksimal, karena setiap legalitas yang
dikeluarkan untuk sebuah kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan tidak dalam
koordinasi yang baik. Sehingga seringkali kalau ada persoalan dilapangan dari
kegiatan usaha pertambangan yang legalitasnya dikeluarkan oleh pemerintah,
satuan kerja perangkat daerah (SKPD/Dinas daerah) tidak dapat melaksanakan
tugasnya sebagaimana mestinya.[21]
Berangkat dari kelemahan pengelolaan dan pengusahaan
bahan galian pada masa lalu, maka undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara yang berlaku saat ini memberikan panduan
bahwa pengelolaan dan pengusahaan bahan galian dilakukan secara sistematis
sejak penetapan wilayah pertambangan yang merupakan bagian dari tata ruang
nasional. Proses pelaksanaan penetapan wilayah pertambangan atau wilayah usaha
pertambangan khusus dan wilayah pertambangan rakyat, dilakukan dengan mekanisme
yang transparan dan akuntabel, dengan melibatkan seluruh elemen yaitu
pemerintah pusat atau pemerintah daerah, DPR atau DPRD, dan masyarakat.[22]
Proses pemanfaatan bahan galian yang telah diarahkan
secara legal oleh undang-undang nomor 4 tahun 2009, mulai dari penetapan
wilayah-wilayah pertambangan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap
pengelolaan dan pengusahaan bahan galian kedepan, sehingga satu sisi dapat
meredam persoalan yang selama ini terjadi dan sisi lain dapat mendorong
dampak-dampak posistif sebagai berikut :[23]
1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya kegiatan usaha pertambangan, baik
investasi dari asing, nasioanal maupun lokal;
2. Mendorong gairah partisipasi masyarakat setempat;
3. Mendorong gairah masyarakat setempat secara untuk ikut mengelola dan mengusahakan
bahan galian yang ada, yang terbuka kesempatan melalui fasilitas WPR-IPR;
4. Mendorong gairah kegiatan penunjang dan pertumbuhan ekonomi local;
5. Meningkatkan pendapatan Negara/daerah;
6. Terbukanya lapangan kerja baru;
7. Menekan dampak negative kerusakan lingkungan, yang selama ini terjadi
akibat beragamnya legalitas kegiatan usaha pertambangan, yang menyebabkan
saling tuding kewenangan antara tingkatan pemerintahan yang kerap terjadi;
Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan
mineral dan batu baradalam pelaksanaannya merubah sistem investasinya yaitu
menjadi sistem perizinan sebagai cara untuk menamankan modalnya baik dalam
negeri mapun luar negeri.Perubahan sistem investasi menjadi sistem kontrak
menjadi sistem izin ini merupakan sebuah langkah radikal yang dilakukan
pemerintah karena pada prisipnya membuat suatu perubahan kedudukan antara
pemerintah dengan investor. Jika dalam sistem kontrak kedudukan antara
pemerintah dengan investor adalah sama maka dalam sistem perizinan kedudukan
pemerintah berubah menjadi lebih tinggi dari investor dimana pemerintah hanya
bertindak sebagai regulator.Perubahan kedudukan ini disinyalir tidak banyak
menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini sangat wajar karena dilihat dari sisi
investor asing mereka sudah terbiasa dengan sistem kontrak yang selama kurang
lebih 40 tahun di terapkan di Indonesia, sehingga terkesan tidak adanya
kepastian hukum dan menimbulkan kontroversi dari para investor.
Horikawa
Shuji, salah seorang penguasaha asal Jepang menjelaskan
pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang
paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Adapun atasannya, pelaku bisnis
selalu mencari itu, sebab penguasaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap
mendapat insentif yang memadai dari permitrahan
dimana ia berinvestasi dan memeproleh peluang untuk berkembang dengan mitranya
secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang. Apa yang
dapat membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian
hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi
terhadap rencana usaha yang dilakukannya. [24]
Dengan demikian selain
faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi
investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas
hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul
V. Horn. Dan Henry Gomez sebagai berikut :
“In
making foreign investment a number of important points are to be taken into
consideration. The investor is concerned, first,witn the safety of his
investment and, second, with the return which it yields. The factors having a
direct baring on these considerations may be classified as follows :
(1). Political stability and financial integrity
in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made;
(3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment,
and other aspects
of the investment climate of the host country; (4)future potential and economic growth of the country where the
investment is made; (5) exchange restrictions-pertaining to the remission of profits and with-drawal of the
initial investment."[25]
Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait
procedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian.Namun
berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastianhukum sebagai faktor yang menghambatpertumbuhan investasi baik asing maupun dalam
negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio
investment.Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005 mencatat
bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan
investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan
regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi.Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses
terhadap pembiayaan, rendahnya supply energi listrik, rendahnya skill
tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan
investasi pada tingkat pemerintahan daerah.Lebih
jauh dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya
reformasi yang cukup strategic dengan mengadopsi lebih banyak reformasi fiscal, liberalisasi perdagangan,
reformasisektor keuangan, perpajakan, ketenagakerjaan, dan reformasi
regulasi bisnis. Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya jurang (gap) antara
political will Pemerintah dengan implementasi di lapangan, termasuk
adanya gap antara peraturan dengan kenyataan penerapannya.[26]
Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha
pertambangan ketentuan dalam undang-undang nomor 11 tahun 1967 dengan basis
sistem kontrak karya sebenarnya telah menimbulkan ketidapastian hukum bagi
pemerintah Indonesia. sistem kontrak
menjadikan pemerintah sebagai regulator maupun sebagai pelaku usaha hanya akan melemahkan
posisi dari pemerintah karena satu sisi membuat regulasi juga sebagai pelaku
usaha yang wajib taat pada aturan hukum. Hal tersebut akan membawa implikasi
bahwa jika terjadi sengketa dikemudian hari dan jika dibawa ke arbitrase
internasional kemudian mengalami kekalahan, maka asset negara yang akan menjadi
taruhannya. Sehingga ketentuan kontrak yang berubah menjadi izin merupakan
salah satu langkah maju untuk mengembalikan kedudukannya sebagai regulator dan
juga untuk meningkatkan pembangunan nasional, mengingat kegiatan usaha
pertambangan dalam sistem kontrak karya selama ini telah meugikan kepentingan
nasional bangsa, dan Negara, masyarakat dan juga kerusakan lingkungan hidup.
Keberadaan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam pembangunan ekonomi khususnya bidang
pertambangan di bilang cukup aspiratif karena materi muatannya lebih responsif.
Secara substansi terdapat perbedaaan
yang mendasar antara UU Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Nomor 4 Tahun 2009.
Karena didalam UU Nomor 4 Tahun 2009
muatannya di anggap cukup baik diantaranya antara lain :[27]
1. Lelang
wilayah potensi bahan galian. Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang
berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaan atau pihak yang akan melakukan
penguasahaan bahan galian logam atau batu bara khususnya harus melalui proses
lelang. Cara ini di pandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha
pertambangan nasional.
2. Lebih
akomodatif, yaitu dengan masuknya aturan yang lebih berpihak kepada kepentingan
rakyat, dibandingkan dengan ketentuan tentang pertambangan UU Nomor 11 Tahun
1967.
3. Pertimbangan
teknis strategis suatu bahan galian lebih ditentukan berdasarkan kepentingan
nasional, bukan pada jenis bahan galian. Artinya, apabila suatu bahan galian
secara teknis, ekonomis, kepentingan, dan dari sisi pertahanan dan keamanan
negara / pemerintah.
4. Adanya
pembagian kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tingkatan pemerintahan.
5. Adanya
pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai penanganan pasca
tambang.
Didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagaimana
poin-poin diatas jelaslah bahwa Pemerintah Daerah diberikan peran yang lebih
besar dalam melaksanakan pembangunan dalam mengelola usaha pertambangan di
daerahnya masing-masing.
Dibentuknya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan konsekuensi dari lahirnya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang mana telah memberikan kewenangan yang sangat luas pada Pemerintah
Daerah yang mana telah memberikan kewenangan yang sangat luas pada Pemerintah
Daerah dibidang pertambangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
Selain latar belakang yang disebutkan diatas, latar belakang lain dibentuknya
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 ini adalah untuk mendorong demokratisasi,
otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan
informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran
swasta dan masyarakat.[28]
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 mengandung pokok-pokok pkiran sebagai berikut :
1)
Mineral
dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh Negara dan
pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah bersama dengan pelaku usaha.
2)
Pemerintah
selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, Koperasi, Perseorangan, maupun masyarakat setempat untk melakukan
pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi
daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
3)
Dalam
rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah;
4)
Usaha
Pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial bagi kesejahteraan rakyat
Indonesia;
5)
Usaha
Pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong
timbulnya industri penunjang pertambangan;
6)
Dalam
rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi dan
partisipasi masyarakat.[29]
Dalam UU no 11 tahun 1967 terdapat perbedaan yaitu
jika investornya dalam negeri maka bentuknya adalah kuasa pertambangan (KP)
sedangkan investornya luar negeri maka bentuknya adalah kontrak karya untuk
pertambangan mineral dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (
PKP2B). Sedangkan dalam UU nomor 4 tahun
2009 sudah tidak ada pembedaan yaitu hanya Izin Usaha Pertambangan ( IUP).Ketentuan
ini juga mengacu pada UU nomor 25 tahun 2007 tentang Penamanan Modal.
3.2.Investasi
pertambangan menurut ketentuan undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang
penanaman modal
Sebelum terbitnya undang-undang nomor 25 tahun 2007 masih
terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara investor asing dan investor
dalam negeri.Hal ini terlihat dari adanya ketentuan undang-undang yang
mengaturya. Investasi asing diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sedangkan investasi dalam negeri diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalan, Negeri. Dengan berlakunya undang-undang nomor 25 tahun 2007 makanya
ketentun-ketentuan tentang adanya perbedaan-perbedaan tersebut di satukan. Sehingga kepastian
hukumnya lebih terarah dan jelas dalam implementasinya.Tidak ada perbedaan
antara investor asing dan investor dalam negeri.
Hak, kewajiban, dan tanggung jawab
penanam modal diatur secara khusus guna memberikan kepastian hukum, mempertegas
kewajiban penanam modal terhadap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang
sehat, memberikan penghormatan atas tradisi budaya masyarakat, dan melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan.Pengaturan tanggung jawab penanam modal
diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar
tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta
upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.Hak,
Kewajiban, Dan Tanggung Jawab Penanam Modal didalam undang-undang ini terdapat
dalam pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 14
Setiap
penanam modal berhak mendapat:
a) kepastian hak, hukum, dan
perlindungan;
b) informasi yang terbuka mengenai
bidang usaha yang dijalankannya;
c) hak pelayanan; dan
d) berbagai bentuk fasilitas kemudahan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Setiap
penanam modal berkewajiban:
a) menerapkan prinsip tata kelola
perusahaan yang baik;
b) melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan;
c) membuat laporan tentang kegiatan
penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;
d) menghormati tradisi budaya
masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan
e) mematuhi semua ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 16
Setiap
penanam modal bertanggung jawab:
a) menjamin tersedianya modal yang
berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b) menanggung dan menyelesaikan segala
kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau
menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c) menciptakan iklim usaha persaingan
yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara;
d) menjaga kelestarian lingkungan
hidup;
e) menciptakan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan
f) mematuhi semua ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 17
Penanam
modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib
mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi
standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam
penjelasannya Pasal 3Ayat (1)Huruf a dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "asas
kepastian hukum" adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan
tindakan dalam bidang penanaman modal.Lebih
lanjut dalam penjelasan Huruf d
para investor akan mendapatkan perlakuan yang sama baik itu investor asing
maupun investor dalam negeri. Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama
dan tidak membedakan asal negara" adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu
negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.
Ketentuan-ketentuan ini akan berlaku
terhadap semua kegiatan investasi di Indonesia, termasuk dalam kegiatan usaha
pertambangan, dengan tetap mengacu pada undang-undang nomor 4 tahun 2009.
3.3.Contoh Kasus
( Pertambangan PT Freepot Indonesia )
Perusahaan pertambangan Freeport merupakan salah
perusahaan yang sangat potensial dan fenomenal di kalangan masyakat Indonesia
dan merupakan perusahaan asing pertama yang melakuakan investasi di bidang
usaha pertamabangan.Perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia yang terletak
di propisi Papua ini sejak berdirinya telah banyak membawa pengaruh dalam sitem
perekonomian Indonesia dan memberikan devisa yang cukup signifikan untuk
negara. Disatu sisi keberadaan Freeport membawa kemajuan dalam bidang ekonomi
namun disisi lain Freeport membawa dampak negatif yang luar biasa bagi
pemerintah dan juga masyrakat indonesia.
a) Perusahaan Freeport sebagai perusahaan transnasional
memilki kekuatan ekonomi guna mendorong pembangunan ekonomi di Indonesia;
b) Peranan
perusahaan transnasional itu juga dapat menyerap tenaga kerja yang cukup
besar sehingga mengurangi tingkat pengangguran di negara Indonesia;
c) Perusahaan ini meningkatkan pemasukan pajak dan alih
teknolgi terhadap negara Indonesia;
Jika saja sumber daya ala mini dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal oleh negeri ini, niscaya akan dapat menyelesaikan
problem ekonomi yang melilit saat ini.
a) Pencemaran lingkungan akibat penambangan oleh Freeport
telah menghasilkan galian berupa potencial
acid drainase ( air asam tambang) dan limbah tailing ( butiran pasir alami
yang halus hasil pengolahan konsentrat).
b) Dampak lingkungan sosial dari keberadaan Freeport
tidak bisa dipandang remeh. Berlimpahnya dana yang beredar disana justru
melahirkan bisnis prostitusi. Ironisnya dari tahun ketahun terus mneingkat.
Sebagai missal di Timika, kota tambang Freeport, sebagaimana hasil investigasi
sebuah Lemabga Swadaya Masyrakat ( LSM ) disebutkan Timika adalah Kota dengan
Penderita HIV / AIDS terbanyak di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas maka yang dapat di simpulkan adalah:
1. Legalitas pengusahaan bahan galian menurut
undang-undang nomor nomor 4 tahun 2009 secara substansi hanya dalam satu bentuk
yaitu izin usaha, berbeda dengan legalitas pengusahaan pada saat berlakunya
Undang-undang nomor 1 tahun 1967, terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu
Kuasa Pertambangan (KP) kontrak karya ( KK ), pertambangan mineral dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) dan SIPD untuk
bahan galian industri, dan izin pertambangan rakyat untuk tambang rakyat.
2. Sebelum terbitnya undang-undang nomor 25 tahun 2007
masih terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara investor asing dan
investor dalam negeri. Hal ini terlihat dari adanya ketentuan undang-undang
yang mengaturya. Investasi asing diatur
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing sedangkan investasi dalam
negeri diatur dalam Undang-Undang
No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalan, Negeri. Dengan berlakunya
undang-undang nomor 25 tahun 2007 makanya ketentun-ketentuan tentang adanya
perbedaan-perbedaan tersebut di satukan.
Sehingga kepastian hukumnya lebih terarah dan jelas dalam implementasinya. Tidak
ada perbedaan antara investor asing dan investor dalam negeri.
4.2. Saran
DAFTAR
PUSTAKA
H.S.
H.Salim, 2010, Hukum Pertambangan Di Indonesia,Sinar
Grafika, Jakarta, Hlm
Ilmar,
Amirudin, 2004, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Prenada Media,
Jakarta
Sudrajat, Nandang, 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia
Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,.
Artikel
Internet :
Ichigo Kenichi, Sejarah Hukum Pertambangan Di
Indonesia, http://ichigo-kenichi.blogspot.com/2011/10/sejarah-hukumpertambangan-diindonesia.html
(diakses pada tanggal 5 desember 2011)
Jurnal
Hukum
Yeti, 2006, Dilema Pertambangan Freeport
Dalam Dimensi Hukum, Jurnal
Hukum, Vol.6 No.1 Tahun 2006,
Mahmul Siregar, Kepastian
Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap kegiatan
Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27-No.4-Tahun 2008
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batu Bara beserta Penjelasannya.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan
[1]Amirudin
Ilmar, 2004, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Penerbit Prenada Media,
Jakarta, Hlm 113
[3]Undang-Undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Koperasi
Karyawan BKPM Pecanderan, Jakarta, 2007, Pasal 35.
[4]Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
[5] Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[7] Pasal 1 butir (4)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[8] Pasal 34 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
[9] Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[10] Pasal 1 butir (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[11] Pasal 1 butir (5)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[12] Nandang Sudrajat, 2010, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia
Menurut Hukum, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, Hlm. 89.
[17] Pasal 95 butir (c)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[18] Pasal 107 butir (c)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[19] H.Salim, H.S. 2010, Hukum Pertambangan Di Indonesia,Sinar
Grafika, Jakarta, Hlm
[20] Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
[22]Ibid
[23]Ibid
[24]Mahmul
Siregar, Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya
Terhadap kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis,
Vol.27-No.4-Tahun 2008
[25]Ibid
[26]Ibid
[27]Nandang Sudrajat, Op.Cit,
Hlm. 53-55
[28]Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, Paragraf 3
[29]Ichigo
Kenichi, Sejarah Hukum Pertambangan Di Indonesia, http://ichigo-kenichi.blogspot.com/2011/10/sejarah-hukumpertambangan-diindonesia.html (
diakses pada tanggal 5 desember 2011)
[30]Yeti, 2006, Dilema
Pertambangan Freeport Dalam Dimensi Hukum, Jurnal Hukum, Vol.6 No.1
Tahun 2006, Hlm.43