BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Globalisasi
di bidang ekonomi telah membawa dampak yang sangat luas pada bidang hukum
bisnis. Hal ini ditandai dengan banyaknya badan usaha. Salah satu badan usaha
yang sangat terkemuka dan berkembang pesat adalah perseroan terbatas. Pendirian
perseroan terbatas ini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun
2007 ( Juncto Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 ) sebagai akibat dari pada perkembangan yang sangat signifikan dalam
bidang hukum bisnis agar perseroan terbatas tetap memilki suatu acuan dan
memilki dasar hukum yang jelas.
Dewasa
ini banyak perseroan terbatas yang saling bersaing dalam bidang hukum bisnis
untuk menunjukkan eksistensinya; agar
tetap bertahan sebuah perseroan terbatas harus mampu menjaga asetnya agar
perseroannya tetap sehat. Dalam dunia usaha yang sering dilanda krisis ekonomi
dan keuangan, perusahan sering mengalami kesulitan untuk mengembangkan kegiatan
usaha, meningkatkan pendapatan, atau melakukan pembayaran utang kepada
kreditor. Ketika terjadi degradasi ekonomi karena usaha tidak berkembang dan
pendapatan menurun dan pada sisi lain utang semakin menumpuk terkadang pilihan
hukum yang diambil oleh pelaku usaha adalah dengan mempailitkan perseroannya
atau melikuidasi perseroan tersebut.
Ketika
sebuah perseroan dinyatakan pailit maka sebagaimana di maksud dalam pasal 24
ayat (1 ) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa “
debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya
yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan”
Melihat
pada penjelasan pasal tersebut jelaslah bahwa debitor dalam perseroan terbatas
kehilangan haknya untuk menurus harta kekayaan perusahaan, karena harta
kekayaan secara otomatis pengurusannya akan beralih kepada seorang kurator. Pasal 1 angka 1 UUK menyatakan
bahwa “ kepailitan adalah:
sita umum atas semua kekayaan
Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini”
Ketentuan pasal tersebut adalah bermaksud
agar semua harta kekayaan tersebut dapat menjadi jaminan pelunasan
hutang-hutang peseroan selaku debitur pailit. Jika telah dinyatakan pailit
kemudian perseroan terbatas tersebut tidak mampu untuk mebayar
hutang-hutangnya, maka tujuan terakhir dari kepailitan ini adalah dengan
melikuidasi perseroan terbatas tersebut. Likuidasi merupakan aktivitas yang
dilakukan apabila debitur pailit tidak dapat menunjukan kepada pengadilan niaga
yang memiliki otoritas untuk menghentikan kepailitan. Atau dengan kata lain
membereskan harta (asset) yang nantinya dipergunakan untuk membayar hutang-
hutang. Tujuan utama likuidasi adalah melakukan pengurusan dan pemberesan atas
harta pailit.
Didalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 142 menegaskan “ Dalam hal
terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka :
a)
wajib
diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b)
Perseroan
tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan
semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.”
Dalam UUPT likuidasi dilakukan sehubungan dengan pembubaran
perseroan yang terjadi karena sebab-sebab yang diatur dalam pasal 142 ayat (1).
Salah satu sebab terjadi pembubaran perseroan adalah karena harta pailit Perseroan
yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana
diatur dalam UUK pasal 142 ayat (1) huruf (e). Selanjutnya, dalam pasal 143
ayat (1) diatur bahwa pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan
kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh Rapat
Umum Pemegang Saham ( RUPS ) atau pengadilan. Dalam penjelasan pasal 143
ayat (1) ditegaskan antara lain bahwa pernyataan pailit tidak mengubah status Perseroan yang telah dibubarkan
dan karena itu Perseroan harus dilikuidasi.
Pernyataan pailit yang berujung pada
proses likuidasi telah membawa implikasi terhadap kelangsungan perseroan
terbatas tersebut; dalam hal ini adalah berkaitan dengan eksistensinya secara
yuridis. Apakah perseroan terbatas ini benar-benar telah hilang atau masih
eksis badan hukumnya. Ini merupakan sebuah pertanyaan penting yang membutuhkan
penjelasan lebih lanjut. Pada kesempatan kali ini penulis tertarik untuk
membahas masalah ini dalam judul “ EKSISTENSI
YURIDIS PERSEROAN TERBATAS YANG TELAH DIPAILITKAN DAN DILIKUIDASI “
II. Rumusan Masalah
Bertolak
pada judul diatas maka masalah yang dibahas adalah :”Bagaimana Eksistensi Yuridis Perseroan Terbatas Yang Telah Dipailitkan Dan Dilikuidasi “
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
I. Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas merupakan suatu artificial person, yaitu suatu badan hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia memiliki anggota tubuh , perseroan memiliki organ-organ seperti komisaris, direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham. Hak dan kewajiban organ-organ perseroan ini tidak hanya diatur oleh undang-undang, Anggaran Dasar, dan doktrin. Perubahan Anggaran Dasar perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran Dasar[1]
Dalam Undang-Undang Perseroan tebatas, yang dimaskud dengan Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya. Berdasar batasan yang diberikan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut di atas ada lima ( 5) hal pokok yang dapat dikemukakan di sini :
1.
Perseroan Terbatas Sebagai Badan
Hukum
Ilmu hukum mengenal dua
macam subjek hukum, yaitu subjek
hukum pribadi (orang perorangan), dan
subjek hukum berupa badan hukum. Terhadap masing-masing subjek hukum tersebut
berlaku ketentuan hukum yang berbeda
satu dengan yang lainnya, meskipun dalam
hal-hal tertentu terhadap keduanya
dapat diterapkan suatu aturan
yang berlaku umum.
Salah
satu ciri khas yang membedakan
subjek hukum pribadi dengan subjek hukum
badan hukum adalah saat lahirnya subjek
hukum tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan saat lahirnya hak-hak dan kewajiban
bagi masing-masing subjek hukum tersebut. Menurut Pasal 1 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ,pada subjek hukum pribadi, status subjek
hukum dianggap telah ada bahkan pada saat pribadi perseorangan tersebut berada dalam kandungan . Sedangkan
pada badan hukum, keberadaan status
badan hukumnya baru diperoleh setelah ia memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang
memberikan hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan sendiri bagi badan hukum tersebut, terlepas
dari hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan para pendiri, pemegang
saham, maupun para pengurusnya. Pasal 7 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa “perseroan
memperoleh status badan hukum setelah
akta pendirian disahkan oleh Menter”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang tidak satu pasal pun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 bahwa perseroan adalah badan hukum. Ini berarti perseroan
tersebut memenuhi syarat keilmuan
sebagai pendukung hak dan kewajiban antara
lain memiliki harta kekayaan pendiri atau pengurusnya.
Sebagai suatu badan hukum, perseroan
memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah :
1.
Organisasi
yang teratur
Di dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perseroan
Terbatas, dapat kita lihat dari adanya
organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
2.
Harta
kekayaan sendiri
Menurut Pasal 31 dan 32 UUPT, harta kekayaan sendiri
ini berupa modal dasar yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham yang terdiri
atas uang tunai dan harta kekayaan dalam bentuk lain.
3.
Melakukan
hubungan hukum sendiri
Sebagai badan hukum, perseroan melakukan sendiri
hubungan hukum dengan pihak ketiga yang
diwakili oleh pengurus yang disebut
Direksi dan Komisaris. Direksi
bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan kegiatannya, direksi berada
di bawah pengawasan Dewan Komisaris, yang dalam hal-hal tertentu membantu direksi
dalam menjalankan tugasnya tersebut.
4.
Mempunyai
tujuan tersendiri
Tujuan tersebut ditentukan di dalam Anggaran Dasar
perseroan, karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama
perusahaan adalah memperoleh keuntungan/ laba.
2.
Perseroan Terbatas Didirikan
Berdasar Perjanjian
Dalam pasal Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa perseroan
didirikan olerh dua orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat
dalam bahasa Indonesia. Rumusan
ini pada dasarnya mempertegas kembali makna perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai perjanjian yang ada dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Sebagai
perjanjian “khusus“ dan “bernama“.
Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas ini juga tunduk sepenuhnya pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, disamping ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu
perjanjian hanya sah jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. pihak yang berjanji adalah mereka yang
cakap dalam hukum dengan pengertian bahwa pihak tersebut dianggap mampu untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum;
2. dilakukan berdasarkan
kesepakatan sukarela antara para
pihak yang berjanji;
3. adanya suatu objek yang diperjanjiakan;
4. bahwa perjanjian tersebut meliputi sesuatu yang halal, yang
diperkenankan oleh hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban
umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan
yang berlaku di masyarakat.
Ketentuan
ini harus berlaku selama perseroan masih
berdiri, dan hal ini dipertegas kembali
dengan rumusan Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas
yang mewajibkan jumlah pemegang saham dalam
perseroan minimum berjumlah dua orang, dan rumusan Pasal 27 huruf b, yang secara tegas menolak permohonan perubahan perubahan Anggaran Dasar perseroan yang
isinya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Perjanjian
pendirian Perseroan Terbatas yang
dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta notaris yang
disebut dengan “Akta Pendirian“.
Akta Pendirian ini pada dasarnya
mengatur berbagai macam hak-hak
dan kewajiban para pendiri perseroan
dalam mengelola dan menjalankan perseroan terbatas tersebut. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tersebut yang
merupakan isi perjanjian selanjutnya
disebut dengan “Anggaran Dasar“ perseroan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas.
3.
Perseroan Harus Mejalankan
Kegiatan Usaha Tertentu
Melakukan
kegiatan usaha artinya menjalankan
perusahaan. Kegiatan usaha yang
dilakukan perseroan adalah dalam bidang
ekonomi, baik industri, perdagangan maupun jasa yang bertujuan memperoleh keuntungan/ laba.
4.
Perseroan Harus Memiliki Modal yang Terbagi dalam
Saham-saham
Sebagai
suatu badan hukum yang independen,
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mandiri, lepas dari hak-hak dan
kewajiban-kewajioban para pemegang sahamnya
maupun para pengurusnya, perseroan jelas harus memiliki harta kekayaan tersendiri.
5.
Memenuhi Persyaratan
Undang-undang
Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang
Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya mulai dari pendiriannya,
beroperasinya dan berakhirnya. Hal ini
menunjukkan bahwa Undang-Undang
Perseroan Terbatas menganut sistem tertutup (closed
system).
II.
Tata
Cara Pendirian Perseroan Terbatas
Tata
cara pendirian PT diatur dalam Bab II Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 7 dan Pasal 8 UUPT. Menurut Pasal 7 ayat (1), perseroan
didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.Selanjutnya menurut Pasal 7 ayat (2), setiap pendiri
perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Perseroan memperoleh status badan
hukum setelah Akta Pendirian disahkan oleh Menteri.
Akta
Pendirian Menurut Pasal 8 ayat (1)
UUPT harus memuat Anggaran Dasar
dan keterangan lain, sekurang-kurangnya:
1)
nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri;
2)
susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota Direksi dan Komisaris
yang pertama kali diangkat;
3)
nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham,
rincian jumlah saham, dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari
saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian.
III.
Organ-Organ Dalam Perseroan Terbatas
Menurut Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan
Komisaris.
1.
Rapat Umum Pemegang Saham
Undang-Undang
Perseroan Terbatas Mengatur Mengenai
Rapat Umum Pemegang Saham dalam Bab VI, yaitu
dari Pasal 75 sampai Pasal 78. pengertian Rapat Umum Pemegang Saham menurut Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah organ perseroan yang memegang kekuasaaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak akan diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Undang–Undang Perseroan Terbatas memberikan kewenangan berikut kepada
Rapat Umum Pemegang Saham berupa:
1)
Penetapan Perubahan Anggaran Dasar
Menurut
Pasal 19 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas Perubahan
Anggaran Dasar ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham;
2)
Pembelian Kembali Saham
Menurut
Pasal 38 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas Pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) atau pengalihannya lebih lanjut
hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham;
3)
Penetapan Penambahan Modal
Perseroan
Penetapan
penambahan modal perseroan diatur di dalam Pasal 41 Undang-Undang Perseroan
Terbatas :
a) Penambahan modal perseroan hanya
dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang saham
b) Rapat Umum Pemegang Saham dapat menyerahkan kewenangannya untuk
memberikan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) kepada komisaris
untuk paling lama 5 ( lima ) tahun
c) Penyerahan kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (2) sewaktu-waktu dapat ditarik kembali oleh Rapat Umum
Pemegang Saham.
4)
Penetapan Pengurangan Modal Perseroan
Pengurangan modal perseroan menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya
dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35.
5)
Persetujuan laporan tahunan dan
pengesahan perhitungan tahunan
Menurut
Pasal 71 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, persetujuan laporan tahunan dan pengesahan perhitungan
tahunan dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham
6)
Penentuan Penggunaan Laba
Menurut
Pasal 71 ayat
(1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, penggunaan laba bersih termasuk
penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 61 ayat (1)
diputuskan oleh Rapat Umum
Pemegang Saham.
7)
Pengangkatan/ Pemberhentian/ Pembagian Tugas Direksi Dan Komisaris
Di
dalam Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbats disebutkan bahwa anggota
direksi diangkat oleh RUPS. Sedangkan untuk pemberhentian direksi diatur dalam
pasal 105 ayat ( 6 ) Undang-Undang
Perseroan Terbatas :
a)
Anggota
direksi dapat sewaktu-waktu diberhentikan
berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.
b)
Keputusan
untuk memberhentikan anggota direksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diambil setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.
c)
Dengan
keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kedudukannya
sebagai anggota direksi berakhir.
Ketentuan
Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Dewan komisaris diangkat oleh RUPS.
8)
Persetujuan Pengalihan / Penjaminan Kekayaan Perseroan
Berdasar
ketentuan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas, direksi wajib meminta
persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau
sebagian besar kekayaan perseroan..
9)
Persetujuan Atas Penggabungan, Peleburan
Dan Pengambilalihan Menurut Pasal 122 ayat (3) Undang-Undang
Perseroan Terbatas, penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat dilakukan apabila rancangan penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disetujui oleh RUPS masing-masing
perseroan.
10)
Pembubaran Perseroan
Menurut
Pasal 142
Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena :
1)
berdasarkan keputusan RUPS;
2)
karena jangka waktu berdirinya
yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
3)
berdasarkan penetapan pengadilan;
4)
dengan dicabutnya kepailitan
berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
5)
karena harta pailit Perseroan yang
telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang; atau
6)
karena dicabutnya izin usaha
Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
2.
Direksi
Jabatan
anggota direksi dalam pengurusan perseroan merupakan jabatan penting , karena
seluruh kegiatan operasional dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.[2] Dalam Pasal 1 ayat (4) UUPT disebutkan bahwa direksi adalah “organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai ketentuan Anggaran Dasar”
1)
Tugas dan Wewenang Direksi
Dalam
melakukan tugas dan wewenangnya direksi harus bertolak dari landasan
bahwa tugas dan kedudukannya
d1peroleh berdasarkan dua prinsip
yaitu pertama kepercayaan yang
diberikan perseroan kepadanya(fiduciary
duty) dan kedua yaitu prinsip duty of skill ang care atau kemampuan dan
kehati-hatian tindakan Direksi.[3]
Di
dalam Undang-Undang Peseroan Terbatas, tugas dan wewenang direksi terdapat
dalam pasal-pasal berikut ini : Pasal 92 yaitu antara
lain :
1.
Direksi menjalankan pengurusan
Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.
2.
Direksi berwenang menjalankan
pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang
dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar.
3.
Direksi Perseroan terdiri atas 1
(satu) orang anggota Direksi atau lebih.
2)
Tanggung Jawab Direksi
Lebih lanjut tentang tanggung jawab direksi daitur dalam Pasal 97
1.
Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
2.
Pengurusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab.
3.
Setiap anggota Direksi bertanggung
jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
4.
Dalam hal Direksi terdiri atas 2
(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.
5.
Anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
dapat membuktikan:
a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
3.
Komisaris
Perkataan
komisaris menurut Chatamarrasjid mengandung pengertian, baik sebagai “organ” maupun
sebagai “orang perseorangan”. Komisaris lazim disebut Dewan Komisaris,
sedangkan orang perseorangan disebut anggota komisaris. [4]
Pegertian
Komisaris menurut Pasal 1 ayat (5)
Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah “organ perseroan yang
bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan khusus serta memberikan
nasehat kepada direksi dalam menjalankan
perseroan”.
Didalam UUPT pasal Pasal 114 mengatur tentang tugas dan tanggung jawab komisaris antara lain :
1. Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1).
2. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
3. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
4. Dalam hal Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota Dewan Komisaris atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.
BAB III
PEMBAHASAN
I.
Eksistensi
Yuridis Perseroan Terbatas Yang Telah Dipailitkan
Tujuan
utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat
proses likuidasi dalam rangka pendistribusian asset perseroan dalam rangka
membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan
keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. dengan demikian
eksistensi perseroan terbatas yang dipailitkan segera berakhir dengan
percepatan pemberesan proses likudasi
tersebut. Prinsip utama kepailitan perseroan terbatas adalah
menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya
kepada segenap kreditornya.[5]
Eksistensi
yuridis dari perseroan terbatas yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada
eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakanya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan
menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya
ada tiga ( 3 ) landasan antara lain :
1) Kepailitan
terhadap perseroan tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan
hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi
tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka
langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi
terhadap perseroan terbatas tersebut dan kepailitan diangkat serta berakibat
perseroan terbatas itu kembali pada keadaan semula sebagaimana perseroan
sebelum adanya kepailitan. Seandainya eksisistensi badan hukum perseroan
terbatas hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak dimungkinkannya
adanya pengangkatan kepailitan serta
rehabilitasi perseroan karena sudah hapunya status badan hukum itu.
2) Dalam
proses kepailitan perseroan terbatas, maka perseroan terbatas tersebut masi
dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana tentunya yang
melakukan perbuatan hukum perseroan
tersebut adalah curator atau setidak-tidaknya atas mandate kurator.
Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih
dapat melakukan proses transaksi tersebut.
3) Dimungkinkannya
untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit (on going concern). Pelanjutan usaha perseroan yang dalam pailit
tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari perseroan
terbatas itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan perseroan
terbatas itu. Dengan masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam
pailit ini, maka dimungkinkannya going
concern dari usaha perseroan ini. Disinilah kelebihan/ keuntungan status
perseroan dalam pailit yang tunduk pada rezim hukum kepailitan dengan status
perseroan dalam likuidasi yang tunduk pada hukum perseroan terbatas secara umum
yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas.[6]
Dalam
pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan
tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan
kegiatan usaha perseroan ( going concern
) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang pada akhirnya hasil
keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utang-utang perseroan. Melanjutkan perusahaan ini merupakan langkah
yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan perseroan karena
kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik.
Dalam
konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan tiga jenis utang , yakni
utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang jangka panjang. Kesulitan
utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan dengan kebangkrutan suatu
perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini biasanya hanya sebagai akibat
dari kesalahan manajemen cash flow (
arus keluar masuk uang perseroan ). Dalam teori manajemen keuangan sebagaimana
disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi :[7]
1) Economic Failure, yang
berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya
modal. Usaha yang economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor
berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima
tingkat pengembalian ( return )
dibawah tingkat bunga pasar.
2) Business Failure, istilah
ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefenisikan
usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan
demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan
secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ mentup usahanya tetapi
tidak dianggap sebagai gagal.
3) Technical Insolvency. Sebuah
perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang
jatuh tempo. Technical Insolvency ini
mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara dimana pada suatu waktu perusahaan dapat
mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak
apabila technical insolvency merupakan
gejala awal dari economic failure, maka
hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster ).
4) Insolvency in bankruptcy.
Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana
nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal
ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya
hal ini merupakan pertanda daari economic
failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.
5) Legal bankruptcy.
Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai
dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan
tersebut diatas.
Dari
lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan keuangan jenis pertama,
kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan dengan dengan
kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami kesulitan keuangan,
maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun oleh karena sistem
hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis kesulitan keuangan
perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang berarti bahwa
kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut, maka
konsep pelanjutan usaha ( on going
concern ) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan
tersebut manyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe
kesatu, kedua, atau yang ketiga.
Dalam
hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah dinyatakan pailit oleh
pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai subjek hukum yang penuh
dalam transaksi bisnis. Ada beberapa pembedaan perseroan terbatas yang sudah
dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan
perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ pengurus yang bertindak
untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan direksi dari perseroan
tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurursan perseroan
terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator memanfaatkan organ direksi
dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan yang on going concern tersebut.[8]
Perseroan
terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis bubar, melainkan masih
eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan tertentu masih menjalankan usahanya
seperti lazimnya perseroan terbatas ketika tidak terjadinya kepailitan
sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Kepailitan menurut UUK diatur dalam pasal 1 ayat (1) yang
berbunyi :
”Kepailitan adalah sita
umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini.”
Dari pasal diatas
menerangkan, bahwa apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan
terjadi penyitaan atau sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim
Pengawas.
Permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang
berinisiatif untuk mengajukan pailit ke pengadilan berdasarkan undang-undang
kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ialah :
1.
Debitor itu sendiri (Volutary petition),
2.
Adany satu/lebih kreditur,
3.
Kejaksaan untuk kepentingan umum,
4.
Bank Indonesia jika debiturnya bank,
Dengan adanya permohonan pailit yang diajukan maka akan dikeluarkan
putusan pernyataan pailit. Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan atas
permohonan kreditur dapat mengubah seseorang (badan hukum) menjadi tidak cakap
untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak
adanya pernyataan putusan pailit diucapkan oleh ketua pengadilan. Permohonan pailit
tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang mengurus perkara pailit, permohonan
pailit yang diajukan akan dikabulkan apabila telah terbukti secara sederhana
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa:
“ Permohonan
pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana dalam pasal diatas
adalah yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana
atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan tidak dapat menjawab sejauh mana
batasan pembuktian sederhana tersebut.[10]
Akibat hukum dari adanya kepailitan yang
diberlakukan kepada debitor
oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada
debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu :[11]
1. Berlaku demi hukum
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi
hukum (by the operation of law)
segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun
setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada
debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya
selama masa pemberesan
tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini pihak hakim pengawas
masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk meninggalkan tempat
tinggalnya.
2. Berlaku secara Rule of Reason
Akibat hukum ini tidak secara otomatis
berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki
kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya.
Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat
hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan
lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of
reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur
dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat
terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit
ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut.
Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum
kepailitan dari subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas.
Terhadap kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak
berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang
menjadi boedel pailit. Kewenangan
untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator.
Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap
harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengebangkan usaha dari sipailit.[12]
Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas
tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti
mealkukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan
hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang
terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur. Semua kewenangan tiga
organ perseroan tersebut beralih kepada kurator sepanjang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan saja. Hal ini
mempunyai dua makna antara lain :[13]
1)
Kewenangan dari tiga organ perseroan terbatas
menjadi berlaih kepada kurator sepanjang yang berhubungan dengan harta
kekayaan.
2)
Kurator tidak hanya menggantikan kewenangan
kelembagaan direksi perseroan terbatas saja, akan tetapi melebihi dari
kewenangan direksi yakni didalamnya juga melekat kewengan komisaris dan bahkan
kewenangan pemegang saham sepanjang berhubungan dengan pengurusan dan
peerbuatan pemilikan harta kekayaan perseroan.
Kurator pada perseroan terbatas yang sedang
pailit pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan
harta pailit dari perseroan tersebut. Dalam pasal 69 ayat (2) Undang-Undang
Kepaillitan secara tegas menyatakan bahwa : “kurator tidak memerlukan
persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor
atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan
persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan”.
II.
Eksistensi
Yuridis Perseroan Terbatas Yang Telah Dilikuidasi
Perseroan
terbatas yang dalam “status likuidasi” masih eksis badan hukumnya seperti dalam
kepailitan diatas. Hanya saja perusahaan dalam likuidasi tidak boleh
menjalankan bisnis baru melainkan hanya menyeleasikan tugas-tuganya dalam
rangka proses pemberesan dan likuidasi dan tidak bisa melakukan kegiatan diluar
tugas tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas
antara lain : pasal 142 ayat ( 2 )” Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
a)
wajib
diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b)
Perseroan
tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan
semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.
Pasal 149 ayat ( 1 ) menyebutkan bahwa tindakan-tindakan yang termasuk kategori pemberesan antara lain : “Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan” :
a) pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan;
b) pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
c) pembayaran kepada para kreditor;
d) pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan
e) tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan
Lebih lanjut dalam Pasal 143 disebutkan bahwa : ayat ( 1 ) disebutkan bahwa “Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan”..
Dalam
hal perseroan bubar yang diikuti dengan likuidasi, maka tidak dimungkinkan
untuk dicabut status likuidasi tersebut apalagi direhabilitasi untuk kemudian
menjadi badan hukum normal seperti sediakala. Proposisi ini jelas berbeda
dengan status pailit perseroan terbatas tersebut. Munir Fuady menjabarkan
konsekuensi hukum dari penempatan perseroan menjadi PT ( dalam likuidasi ),
yakni antara lain :
1)
Yang
paling pokok adalah bahwa bisnis dari perusahaan tersebut dihentikan
2)
Semua
kekuasaan direksi berlalih kepada likudator
3)
Kekuasaan
komisaris dibekukan
4)
Kekuasaan
Rapat Umum pemegang Saham ( RUPS ) dibekukan, kecuali dalam hal laporan
terakhir dari likuidator, yang memang harus diberikan kepada RUPS.
5)
Perusahaan
tetp jalan sejauh untuk kepentingan pembersan dan pembubarannya saja.
6)
Perusahaan
tidak dapat lagi mengubah asetnya, kecuali yang dilakukakan oleh likuidator
dalam rangka pemberesan;
7)
Menjadi
restriksi tehadap kekuasaan kreditornya untuk memproses dengan proses hukum
lainnya.[14]
Suatu
perseroan terbatas yang telah dilikuidasi , maka eksistensi badan hukum
perseroan terbatas masih tetap ada sampai proses likuidasi terssebut beres sama
sekali yang berujung pada bubarnya perseroan terbatas tersebut. Likuidasi
adalah proses untuk melakukan pemberesan harta kekayaan perseroan dalam rangka
pembubaran perseroan tersebut. karena itu dalam proses pembubaran perseroan
terbatas yang masih dalam proses likuidasi atau dalam bahasa teknis hukum
disebut sebagai PT ( dalam likuidasi ) masih dapat digunakan lembaga kepailitan
didalamnya. Hal ini berarti bahwa PT ( dalam likuidasi ) masih bisa diajunkan
permohonan untuk dipailitkan dan pengadilan masih dapat menyatakan pailit atas
permohonan tersebut. Kepailitan terhadap PT ( dalam likuidasi ) memilki makna
untuk lebih mempercepat proses likuidasi tersebut, disamping karena PT ( dalam
likuidasi ) ini masih eksis status badan hukumnya.
BAB IV
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas maka yang dapat di tarik kesimpulannya adalah :
1. Eksistensi
yuridis dari perseroan terbatas yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada
eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakanya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan
menjadi tidak ada. Demikian juga dengan
2. Suatu
perseroan terbatas yang telah dilikuidasi , maka eksistensi yuridis badan hukum
perseroan terbatas masih tetap ada sampai proses likuidasi terssebut beres sama
sekali yang berujung pada bubarnya perseroan terbatas tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Aria,
Sayud, dkk, 2004 “Kepailitan
Dinegeri Pailit”,
cetakan kedua, Pusat Studi Hukum & kebijakan Indinesia dicetak
oleh Dimensi, Jakarta
Fuady, Munir 2002“Hukum
Pailit 1998”,
cetakan kedua, Bandung,
Nating, Imran, 2004, Peranan
Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Saliman, Abdul. R. & Hermansyah,
& Jalis, Ahmad, 2008, Hukum
Bisnis Untuk Perusahaan, cet. Keempat,
Kencana renada Media Group, Jakarta
Subhan, M.Hadi, 2008, Hukum
Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama,
cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta
Silalahi,
M. Udin, 2005. Badan Hukum Organisasi Perusahaan. IBLAM,
Jakarta
Jurnal
Jurnal Hukum Bisnis, 2011, vol.30, no.2,
Telaah
Kritis Implikasi Hukum Pembubaran Perseroan Terbatas.
Peraturan
PerUndang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang
[1]
Chatamarrasjid Ais. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal
Aktual Hukum Perusahaan ,PT.
Citra Aditya Bakti Bandung,.hal.55
[2] M.
Udin Silalahi. 2005. Badan Hukum Organisasi Perusahaan. IBLAM, Jakarta
, hal.40
[3] Chatamarrasjid, Op.Cit,
hal.71
[4] Ibid,
hal.81
[5] M.Hadi Subhan, 2008, Hukum
Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, edisi pertama,
cet.ke-1, Prenada Media Group, Jakarta, hal.198
[6] Ibid, hal.199
[7] Ibid,
hal.202
[8] Ibid, hal.205
[9] Sayudi Aria, dkk, 2004 “Kepailitan Dinegeri Pailit”,
cetakan kdua, Pusat Studi Hukum & kebijakan Indinesia dicetak oleh Dimensi, Jakarta,
hal 76
[10] Ibid, hal.148
[11] Munir Fuady,
2002“Hukum
Pailit 1998”, cetakan kedua, Bandung, hal. 65
[12] M. Hadi Subhan, Op.Cit.hal.209
[13] Ibid
[14] Ibid.hal.200