BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) juga berkembang dengan sangat pesat. Suatu barang atau jasa
yang hari ini diproduksi di suatu negara, di saat berikutnya telah dapat
dihadirkan di negara lain.HKI saat ini menjadi bagian yang sangat penting
bagi suatu negara, karena saat ini HKI telah menjadi tulang punggung untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat.
Salah bagian
yang sangat penting dari bidang HKI adalah merek. Pada awalnya merek ini digunakan untuk memberikan tanda dari produk yang
dihasilkan dengan menunjukkan asal-usul barang (indication of origin)pada perkembangan selanjutnya kebutuhan akan adanya perlindungan hukum
atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya peniruan atau penggunaan merek dengan itikad tidak baik.
Merek merupakan tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dan unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda warna, atau
kombinasi dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.[1]
Undang-Undang
Merek pertama kali diundangkan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan
dan Merek Perniagaan 1961 yang menggantikan Undang-Undang Merek peninggalan
kolonial Beland.Undang-Undang No 21 tahun 1961 sebenarnya hanya merupakan
ulangan dari undang-undang sebelumnya.Pada Tahun 1992 undang-undang merek baru
diundangkan dan berlaku mulai tanggal 1 April 1993, menggantikan Undang-Undang
Merek Tahun 1961. Adanya Undang-Undang baru tersebut dikeluarkannyasurat
keputusan adminstratif yang terkait dengan prosedur pendaftaran merek dibuat.
Ada beberapa perbedaan antara Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 dengan
Undang-Undang 19 Tahun 1992 antara lain :[2]
1. Ruang
Lingkup pengaturan lebih luas. Pada Undang-Undang lama membatasi merek
perusahaan dan merek perniagaan yang obyeknya hanya mengacu pada merek dagang.
Pada Undang-Undang baru Lingkup merek mencakup merek dagang dan merek jasa,
merek kolektif.
2. Perubahan
dari sistem deklaratif ke sistem konstitutif, karena sistem konstitutif lebih
menjamin kepastian hukum daripada sistem deklaratif. Sitem deklaratif
berdasarkan pada perlindungan hukum bagi mereka yang menggunakan merek terlebih
terdahulu. Dalam sistem ini kurang menjamin kepastian hukum dan juga
menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha. Dalam sistem konstitutif
bertujuan menjamin kepastian hukum disertai pula dengan ketentuan yang menjamin
segi-segi keadilan. Jaminan aspek keadilan antara lain diwujudkan dengan ,
pembentukan cabang kantor merek darah, komisi banding merek dan mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
3.
Agar permintaan pendafatran merek dapat
berlangsung tertib, pemeriksaan tidak hanya berdasar kelengkapan formal secara
formal saja tetapi juga pemeriksaan substantif. Dalam sistim yang baru
diintroduksi adanya pengumuman permintaan pendaftaran suatu merek dan adanya
kemungkinan penghapusan dan pembatalan merek yang telah terdaftar.
4. Pendaftaran
merek dengan menggunakan hak prioritas yang diatur dalam Paris Concention
for the Protection of Industrial property Tahun 1883.
5. Undang-undang
ini juga mengatur pengalihan hak atas merek berdasarkan lisensiyang tidak
diatur dalam Undang-Undang No 21 Tahun 1961.
6.
Undang-Undang ini juga mengatur Sanksi pidana
baik untuk tindak pidana yang diklasifikasi sebagai kejahatan maupun sebagai
pelanggaran.
Berkaitan
dengan kepentingan reformasi Undang-Undang merek,Indonesia turut serta
meratifikasi Perjanjian merek WIPO (World Intellectual Property Organization).
Pada tahun 1997 Undang-Undang Merek tahun 1992 diubah dengan mempertimbangkan
pasal-pasal dari perjanjian Internasional tentang aspek-aspek yang terkait
dengan perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual yaitu TRIPs (Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights) yang memuat beberapa
ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh negara penandatangan kesepakatan
tersebut yaitu kewajiban bagi para negara anggota untuk menyesuaikan peraturan
perundang-undangan hak kekayaan intelektualnya dengan berbagai konvensi
Internasional dibidang HKI.
Undang-undang
tahun 1997 juga mengubah ketentuan dalam undang-undang sebelumnya dimana
tentang penggunaan merek pertama di Indonesia berhak untuk mendaftarkan merek
tersebut sebagai merek. Selanjutnya pada tahun 1997 Undang-Undang Merek Tahun
1992 diperbaharui lagi dengan Undang-Undang No.14 Tahun 1997 dan kemudian
diganti lagi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Ketentuan
Undang-Undang Nomor Undang-Undang No 21 tahun 1961 perlindungan hukum terhadap
hak atas merek menggunakan sistem deklaratif, sedangkanUndang-Undang 19 Tahun
1992 Jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1997 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek, perlindungan hukum terhadap merek adalah sistem
konstitutif. Hal tersebut terlihat jelas perbedaan diantara kedua sistem
pendaftaran tersebut, dan penulis bermaksud untuk membahas masalah ini lebih
lanjut dalam makalah singkat ini.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut di atas maka masalah pokok yang akan di bahasa adalah “
Bagaimana Perbedaan Sistem Deklaratif
Dengan Sistem Konstitutif Dalam Pendaftaran Merek Di Indonesia”?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Merek
Merek adalah suatu tanda tetapi agar tanda tersebut
dapat diterima merek harus memiliki daya pembeda[3]hal
ini disebabkan pendaftaran merek berkaitan dengan pemberian hak eksklusif yang
diberikan oleh negara atas nama atau simbol terhadap suatu pelaku usaha dan untuk
mempunyai daya pembeda.[4]
Pengertian merek diberbagai negara sekarang ini pada
dasarnya banyak mengandung persamaan sebab mengacu kepada ketentuan Paris
Convention.[5].
Kamus bahasa Indonesia, memberikan defenisi merek adalah tanda yang dipakai
pada barang yang diperdagangkan oleh suatu perusahaan.[6]
Sedangkan pengertian secara yuridis, merek menurut ketentuan umum Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan:
“Merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang dan jasa”
Menurut
perjanjian TRIP’s pasal 15 ayat ( 1 ) menyebutkan;
“Merek adalah setiap tanda, atau
kombinasi dari beberapa tanda, yang mampu membedakan barang atau jasa satu dari
yang lain, dapat membentuk merek. Tanda-tanda tersebut, terutama yang berupa
kata-kata termasuk nama orang, huruf, angka, unsur figuratif dan kombinasi dari
beberapa warna, atau kombinasi warna-warna tersebut, dapat didaftarkan sebagai
merek. Dalam hal suatu tanda tidak dapat membedakan secara jelas barang atau
jasa satu dengan yang lain, negara anggota dapat mendasarkan keberadaan daya
pembeda tanda-tanda tersebut melalui penggunaannya, sebagai syarat bagi
pendaftarannya. Negara anggota dapat menetapkan persyaratan bahwa tanda-tanda
tersebut harus dapat dikenali secara visual sebagai syarat bagi pendaftaran
suatu merek”
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa bahwa merek merupakan suatu tanda yang dapat menunjukkan
identitas barang atau jasa, yang yang menjadi pembeda suatu barang atau jasa
dengan barang atau jasa lainnya dihasilkan oleh seseorang, beberapa orang atau
badan hukum dengan barang atau jasa yang sejenis milikorang lain, memiliki kekuatan
perbedaan yang cukup, yang dipakai dalam produksi dan perdagangan.
Pendaftaran merek dengan sistem konstitutif, pendaftaran
merupakan keharusan agar dapat
memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran, negara tidak akan memberikan hak
atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek,
seseorang tidak akan diberikan perlindungan hukum oleh negara apabila mereknya
ditiru oleh orang lain. Pendaftaran merek yang digunakan di Indonesia sejak
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 adalah sistem Konstitutif.Pada sistem
Konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas pendaftar pertama yang
beritikad baik.[7]
Hal ini juga seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar oleh pemohon yang tidak
beritikad baik.
Dari pengertian-pengertian tentang merek dapat
disimpulkan bahwa fungsi merek adalah sebagai pembeda antara satu produk barang
atau jasa dengan produk barang atau jasa yang dibuat oleh pihak lain.[8]Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual memaparkan fungsi merek sebagai berikut:[9]
1. Sebagai
tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu dengan yang lain (product
identity). Fungsi ini juga menghubungkan barang atau jasa dengan
produsennya sebagai jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan.
2. Sebagai
sarana promosi untuk berdagang (means of trade promotion). Promosi
dilakukan melalui iklan. Merek merupakan salah satu goodwill untuk menarik
konsumen, merupakan symbol pengusaha untuk memperluas pasar produk atau barang
dagangannya.
3. Sebagai
jaminan atas mutu barang atau jasa (quality guarantee). Hal ini
menguntungkan pemilik merek dan juga memberikan perlindungan jaminan mutu
barang atau jasa bagi konsumen.
4. Sebagai
penunjukan asal barang atau jasa yang dihasilkan (source of origin).
Merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa yang menghubungkannya
dengan produsen atau daerah/Negara asalnya.
2.2
Pendaftaran Merek Dengan Sistem Deklaratif
Sistem pendaftaran deklaratif adalah suatu sistem
dimana yang memperoleh perlindungan hukum adalah pemakai pertama dari merek
yang bersangkutan. Sistem pendaftaran deklaratif ini dianut dalam Undang-Undang
Nomor : 21 Tahun 1961. Dengan perkataan lain, bukan pendaftaran yang
menciptakan suatu hak atas merek, tetapi sebaliknya pemakaian pertama di
Indonesialah yang menciptakan atau menimbulkan hak itu[10].
Sistem pendaftaran dekalaratif pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dapat
diketahui dari ketentuan pasal 2 ayat (1) menyebutkan :
“Hak khusus untuk memakai suatu merek
guna memperbedakan barang-barang hasil perusahaan atau barang-barang perniagaan
seseorang atau suatu badan dari barang barang orang lain atau badan lain kepada
barang siapa yang untuk pertama kali memakai merek itu untuk keperluan tersebut
diatas di Indonesia“.
Menurut Yahya Harahap penegakan hukum
berdasarkan Pasal 2 tersebut diatas mengandung konsepsi sistem dualisme,
satu segi ditegakkan doktrin pendaftaran pertama atau first to file
principle, siapa pendaftar pertama dianggap mempunyai hak yang lebih unggul
dan lebih utama dari pemilik merek lainnya, sesuai dengan asas prior in
filling, tetapi berbarengan dengan itu ditegakkan pula doktrin pemakai
pertama atau prior user (first to use system), apabila dapat
membuktikan bahwadia pemakai pertama yang sesungguhnya dianggappemilik paling
unggul haknya jika seseorang dapatmembuktikan sebagai pemakai pertama
sesungguhnya.Penjelasan Umum tersebut memberikan kedudukan yangutama pada asas prior
user has a better right ataupemakai pertama mempunyai hak yang lebih baik
daripendaftar pertama[11].
Hal ini berarti bahwa seseorang yang sudah
mendaftarkan mereknya belum tentu akan tetap dianggap berhak untuk menggunakan
merek tersebut untuk selamanya, sebab apabila ada orang lain yang dapat
membuktikan bahwa dialah pemilik pertama dari merek yang sama dengan merek yang
didaftarkan, maka orang yang mendaftarkan merek yang pertama kali akan
dibatalkan hak untuk menggunakan merek tersebut.
Implementasi sistem deklaratif dalam pendaftaran
merek di Indonesia, mengalami suatu perkembangan.Hal tersebut ditandai dengan orang
atau badan yang memperoleh hak dan perlindungan hukum atas suatu merek bukan
saja orang atau badan yang memakai pertama kali, tetapi orang atau badan yang
memakai merek pertama kali dengan iktikad baik. Hal ini dapat dilihat pada
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 13 Desember 1972 Nomor:
677K/Sip/1972 dalam perkara merek Tancho, dimana pendaftaran pertama kali merek
Tancho oleh Wong A Kiong dibatalkan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan gugatan
dari PT. Tancho Indonesia Co.Ltd. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa pendaftaran merek Tancho oleh Wong A Kiong terbukti sebagai
pemakai pertama yang beriktikad buruk, karena meniru merek yang digunakan
pertama kali di wilayah Indonesia oleh PT. Tancho Indonesia Co.Ltd., dan
memperdagangkan barang secara curang seolah olah barang yang diperdagangkan
berasal dari luar negeri.[12]
Pendaftaran dalam sistem deklaratif lebih berfungsi untuk
memudahkan pembuktian, artinya dengan adanya surat memperoleh surat pendaftaran
maka akan mudah untuk membuktikan apabila ada pihak lain yang mengaku sebagai
pemilik merek yang bersangkutan.[13] Hal
iniakan berlaku sepanjang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai pemakai
pertama kali merek yang didaftarkan tersebut, atau dengan kata lain bahwa pendaftar
pertama kali atas suatu merek hanya sebagai dugaan hukum sebagai pemakai
pertama kali.
Sistem
deklaratif adalah sistem pendaftaran yang hanya menimbulkan dugaan adanya hak
sebagai pemakai pertama pada merek bersangkutan.Sistem deklaratif dianggap
kurang menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan sistem konstitutif
berdasarkan pendaftaran pertama yang lebih memberikan perlindungan hukum.Sistem
pendaftar pertama disebut juga first to file principle.Artinya, merek
yang didaftar adalah yang memenuhi syarat dan sebagai yang pertama.Tidak semua
merek dapat didaftarkan.Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.Pemohon beritikad tidak baik
adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak layak dan tidak jujur,
ada niat tersembunyi misalnya membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran
menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengecohkan atau menyesatkan konsumen.[14]
Sifat pendaftaran yang demikian menurut Sudargo
Gautama, hanya memberikan suatu dengan hukum(rechverboeden), bahwa
orang yang mendaftarkan merek dianggap menurut hukum seolah-olah memang diakui
sebagai pemakai pertama dan karena itu sebagai pemilik merek yang bersangkutan.[15]
Pada sistem deklaratif pendaftaran bukan suatu
keharusan, tidak merupakan syarat mutlak bagi pemilik untuk mendaftarkan
mereknya, karena fungsi pendaftaran menurut sistem ini hanya memudahkan
pembuktian bahwa dia adalah yang diduga sebagai pemilik yang sah sebagai
pemakai pertama. Akibat dari sistem deklaratif ini bagi si pendaftar merek
kurang mendapatkan kepastian hukum, karena masih dimungkinkan adanya gugatan
dari pihak lain, dan bilamana pihak lain dapat membuktikannya lebih kuat bahwa
dirinya adalah pemakai pertama atas suatu merek maka pihak lain inilah pemilik
sah atas suatu merek atauyang memiliki
hak atas merek.
Sistem
deklaratif ini dalam kenyataannya menyebabkan timbul banyak sekali sengketa
merek dalam dunia perdagangan, karena sistem ini sangat potensial melakukan
pembajakan terhadap merek-merek yang mempunyai reputasi tinggi atau merek yang
sudah terkenal. Disamping itu telah cukup banyak praktisi dan pengamat hukum
merek berpendapat bahwa Undang- Undang Merek 1961 memiliki banyak kelemahan,
hal ini terjadi karena sistem yang dianut yaitu sistem deklaratif atau first
to use principle yang kerap kali menimbulkan kesulitan dalam menentukan
siapakah sebenarnya pemakai pertama (yang beritikad baik) terhadap merek yang
dipermasalahkan.[16]
Pendaftaran merek dengan sistem deklaratif ini
mengandung ketidakpastian hukum, sebab pendaftaran suatu merek sewaktu-waktu
dapat dibatalkan apabila ada pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemilik
pertama dari merek yang telah didaftarkan. Oleh karena itulah, pendaftaran
dengan sistem deklaratif di Indonesia telah tidak lagi digunakan sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor : 19 Tahun 1992 tentang Merek. Negara lain yang
saat ini masih menggunakan pendaftaran dengan sistem deklaratif adalah Amerika
Serikat yang termuat dalam Lanham Act of 1946 atau Federal Trademark Lanham
Act.[17]
Berdasarkan Lanham Act, disamping menganut sistem pemakai pertama, juga
menganut sistem pendaftaran. Ketentuan pasal 43 (a) atau g1125 (a) 15 USC,
Lanham Act mengisyaratkan seseorang dapat memiliki sendiri hak-hak atas merek
berdasarkan Undang-Undang negara bagian ( state law ) dan hukum nasional
( federal law ) tanpa pendaftaran merek.[18]Namun
demikian merek dapat didaftarkan berdasarkan ketentuan hukum negarabagian atau hukum nasional. Selanjutnya berdasarkan
pasal 22 atau g1072 , 15 USC Lanham Act, menekankan keuntungan sistem
pendaftaran merek nasional yang mengakui hak pendaftar untuk mengatasi setiap
tuntutan dari pemakai sebelumnya yang beriktikad baik.[19]
2.3.
Pendaftaran Merek Dengan Sistem Konstitutif
Merek dengan sistem konstitutif, pendaftaran merupakan
keharusan agar dapat memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran negara tidak
akan memberikan hak atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa
mendaftarkan merek, seseorang tidak akan diberikan perlindungan hukum oleh
negara apabila mereknya ditiru oleh orang lain. Pendaftaran merek yang
digunakan di Indonesia sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 adalah sistem
Konstitutif.Pada sistem Konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas
pendaftar pertama yang beritikad baik.[20]Hal
ini juga seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
yang menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftar oleh pemohon yang tidak
beritikad baik.
Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
disebutkan bahwa permohonan merupakan permintaan pendaftaran yang diajukan
secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. Sehingga dimungkinkan permohonan
pendaftaran merek dapat berlangsung dengan tertib, pemeriksaan merek tidak
hanya dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan formal saja, tetapi juga
dilakukan pemeriksaan subtantif.Pemeriksaan subtantif atas permohonan
pendaftaran merek ini dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya merek
yang dimohonkan didaftarkan dalam Daftar Umum Merek. Pemeriksaan substantif
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 9 (Sembilan ) bulan.
Apabila dari hasil pemeriksaan subtantif ternyata
permohonan tersebut tidak dapat diterima atau ditolak, maka atas persetujuan
Direktorat Merek, hal tersebut diberitahukan secara tertulis pada pemohon atau
kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang nomor 15
Tahun 2001 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan atas itikad tidak
baik, merek juga tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah
satu unsur yang bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku,
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, tidak memiliki daya pembeda,
telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang
atau jasa yang dimohonkan pendaftaran.
Tidak seperti halnya dalam sistem deklaratif yang
lebih banyak menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukumnya, maka pada sistem
konstitutif dengan prinsip first to file atau dengan doktrin prior in
tempore, melior injure, sangat potensial untuk mengkondisikan:
1. Kepastian
hukum untuk mengkondisikan siapa sebenarnya pemilik merek yang paling utama
untuk dilindungi,
2. Kepastian
hukum pembuktian, karena hanya didasarkan pada fakta pendaftaran. Pendaftaran
satu-satunya alat bukti utama,
3. Mewujudkan
dugaan hukum siapa pemilik merek yang paling berhak dengan pasti, tidak
menimbulkan kontroversi antara pendaftar pertama dan pemakai pertama.[21]
Permohonan merek juga harus ditolak apabila merek
tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang atau jasa yang
sejenis, mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi
geografis yang sudah dikenal[22].Berdasarkan
ketentuan persyaratan merek agar dapat didaftarkan, sesuatu dapat dikategorikan
dan diakui sebagai merek, apabila:
1.
Mempunyai
fungsi pembeda;
2.
Merupakan
tanda pada barang atau jasa (unsur-unsur gambar, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut);
3.
Tidak
memenuhi unsur-unsur yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;
4.
Bukan
menjadi milik umum;
5.
Tidak
merupakan keterangan, atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan
pendaftaran.
Selain pemeriksaan substantif, harus pula ditempuh
mekanisme Pengumuman dalam waktu 3 ( tiga ) bulan dengan menempatkan pada papan
pengumuman yang khusus dan dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat dalam
Berita Resmi Merek yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Merek. Hal
ini dilakukan untuk memungkinkan pihak-pihak yang dirugikan mengajukan bantahan
terhadap pendaftaran merek dan dapat mencegah pendaftaran merek yang dilakukan
oleh orang yang tidak beritikad baik.
Apabila masa pengumuman berakhir dan tidak ada
sanggahan atau keberatan dari pihak lain, Direktorat Merek mendaftarkan merek
tersebut dalam Daftar Umum Merek serta dilanjutkan dengan pemberian sertifikat
merek. Sertifikat merek merupakan alat bukti bahwa merek telah terdaftardan
juga sebagai bukti kepemilikan.Dalam hal permintaan pendaftaran merek ditolak,
keputusan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Merek kepada
pemilik merek atau kuasanya dengan disertai alasan-alasan.Penolakan terhadap
putusan ini dapat diajukan banding secara tertulis oleh pemilik merek atau
kuasanya kepada Komisi Banding Merek. Tentang permohonan banding dan Komisi
Banding Merek ini terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001.
Komisi Banding Merek merupakan badan khusus yang
independen yang berada dilingkungan Direktorat Hak Kekayaan Intelektual.
Keputusan yang diberikan oleh Komisi Banding Merek paling lama 3 ( tiga ) bulan
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding. Keputusan Komisi Banding
bersifat final dan mengikat.Apabila komisi banding merek mengabulkan permintaan
banding, Direktorat Merek melaksanakan pendaftaran dan memberikan sertifikat
merek. Jika ditolak, pemohon dan kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan
penolakan permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat
3 ( tiga ) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan.[23]
Sistem konstitutif ini mulai diberlakukan di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Merek 1992 (lihat Pasal 2). Pada sistem
konstitutif Undang-Undang Merek 1992 teknis pendaftarannya telah diatur
seteliti mungkin, dengan melakukan pemeriksaan secara formal persyaratan
pendaftaran dan pemeriksaan substantive tentang merek. Sebelum dilakukan
pemeriksaan substantif, dilakukan lebih dahulu pengumuman tentang permintaan
pendaftaran merek. Bagi mereka yang merasa dirugikan akan adanya pengumuman itu
dapat mengajukan keberatan. Pihak yang mengajukan pendaftaran merek diberi hak
untuk menyanggah terhadap keberatan tersebut.[24]
Jika prosedur pemeriksaan substantif selesai
danpendaftaran merek dilangsungkan dengan menempatkanke Daftar Umum Merek, maka
pemilik merek diberikanSertifikat Merek.Sertifikat ini merupakan tanda bukti
HakAtas Merek yang merupakan bukti bahwa pemilik merekdiberi hak khusus oleh
negara untuk menggunakan merekyang telah didaftarkan.
Bukti yang demikian tidak dijumpai pada sistemdeklaratif, karena pemilik merek
yang mendaftarkanmereknya hanya diberi surat tanda pendaftaran,
bukansertifikat. Disinilah dapat dilihat jaminan kepastianhukumnya pemakai
merek pada sistem konstitutifpendaftaran merek.Merek-merek yang tidak
didaftarkansudah dapat dipastikan pemilik merek yang bersangkutantidak
mempunyai Hak Atas Merek.[25]
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas maka yang dapat di simpulkan adalah :
1. Sistem
pendaftaran deklaratif adalah suatu sistem dimana yang memperoleh perlindungan
hukum adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan, tetapi menimbulkan
ketidakpastian hukum, sebab pendaftaran suatu merek sewaktu-waktu dapat
dibatalkan apabila ada pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemilik
pertama dari merek yang telah didaftarkan.
2. Sistem
konstitutif menekankan bahwa pendaftaran merupakan keharusan agar dapat
memperoleh hak atas merek, sehingga adanya kepastian hukum untuk mengkondisikan
siapa sebenarnya pemilik merek yang paling utama untuk dilindungi, dan juga
adanya kepastian hukum pembuktian, karena didasarkan pada fakta pendaftaran sebagai alat
bukti utama, sehinga tidak menimbulkan kontroversi antara pendaftar pertama dan
pemakai pertama.
[1] Abdulkadir
Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak
Kekayaan Intelektual, Citra Aditya, Bandung, 2001, hal.120-12
[2] Wahyuni, Kebijakan dan
Manajemen Hukum Merek, (Yogyakarta: Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik
Indonesia, 2001), hal 39
[3]Suyud Margono
dan Lingginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Novirindo
Pustaka Mandiri, Jakarta, 2002, hlm. 27.
[4] Sudargo Gautama
dan Rizawanto Winata, Hukum Merek Indonesia, PT,Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hal
[5] Rachmadi Usman,
Hukum
Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia,
PT.Alumni, Bandung, 2003, hal.320
[6] Pipin Syarifin
dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka
Bani Quraisy,Bandung, 2004, hlm. 166.
[7] Rachmadi Usman, op.cit., hlm.
326.
[8]Ibid, hal.322
[9] Direktorat
Jenderal HKI, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual (Pertanyaan &
Jawabannya), Ditjen HKI Depkeh & HAM, Jakarta, 2000, hlm. 42.
[10] Sudargo Gautama
dan Rizawanto Winata, Hukum Merek Indonesia, PT,Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hal.40. hal.20
[11] M. Yahya
Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Merek Nomor 19 tahun 1992, Bandung, Citra Adityabakti, 1996,
hal 335-336.
[12] Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 677 K/Sip/1972 tanggal 13 Desember
1973
[13] Sudargao Gautama, Op.Cit,
hal.33
[14] Jacki Ambadar, Miranty Abidin
dan Yanty Isa, Mengelola Merek, (Jakarta: Yayasan Bina Karsa Mandiri,
2007), hal 79.
[15] Sudargo Gautama, Hukum Merek
Indonesia, Bandung, Alumni, 1977, Hal. 106.
[16]Insan Budi
Maulana dan Yoshiro Sumida, Perlindungan Bisnis Merek Indonesia- Jepang, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1994, Hal. 20.
[17]HD.Effendy,
Hasibuan, Perlindungan Merek, Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia
dan Amerika Serikat, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm 29.hal.88.
[18] Donald S Chisum
dan Michael A Jacob, Understanding Intellectual Property Law, Mathew Bender
& Co.Inc, New York, 1995, hal.5-11, yang dikutip HD Effendy hasibuan
Ibid.hal 89
[19] Arthur R Miller
dan Michael H Davis, Intellectual Property patents, Trademarks and
Copyrights, West Publishing Co. St.Paul Min, 1990, hal.153 yang dikutip HD
Effendy Hasibuan, Ibid.hal 89
[20] Rachmadi Usman, op.cit., hlm.
326.
[21] Kholis Roisah, Op.Cit.,
Kholis Roisah, Implementasi Perjanjian TRIPs Tentang Perlindungan Hukum
Terhadap Hak Atas Merek Terkenal (Asing) Di Indonesia, Semarang, Tesis
Hukum(UNDIP), 2001, hal. 66
[22] Ahmadi M. Ramli, Cyber Law
dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004,
hlm. 11
[23]Erna Wahyuni, T.
Saiful Bahri, 7 Hassel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan dan Manajemen Hukum
Merek, Penerbit YPAPI, Yogyakarta, 2004, hlm. 96.
[24] Gatot Supramono, Op.Cit.
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun1
992, Jakarta, Djambatan, 1996, hal.21
[25]ibid
hal terpenting dalam memilih maupun akan menjalankan Business Opportunity,Franchise,atau Waralaba
BalasHapusbukan semata-mata terletak pada seberapa bagus produk yang akan di jual,serta seberapa besar kebutuhan pasar akan produk tersebut.
pernahkah terbayangkan tiba-tiba anda harus mengganti merek disaat business sedang berkembang pesat karena adanya tuntutan dari pihak lain atas Merek yang digunakan ?
Sedangkan untuk mendapatkan konsumen yang loyal,kita harus selalu mengedepankan innovation. namun besarnya biaya untuk menebus sebuah innovation tanpa adanya perlindungan hukum terhadap merek merupakan langkah yang sia-sia,
coba anda bayangkan berapa banyak waktu,tenaga,fikiran,bahkan uang yang terbuang demi tercapainya innovation sebuah merek.bagaimana rasanya jika merek tersebut di palsukan oleh competitors anda? Kesadaran akan pentingnya mendaftarkan merek dagang merupakan bukti nyata keseriusan anda dalam membangun sebuah business.
inilah pentingnya fungsi daftar merek,desain industri,hak cipta,serta paten.
Konsultasikan merekdagang anda segera pada www.ipindo.com konsultan HKI terdaftar.
Terima kasih atas materi bapak. Sehingga saya bisa menjawab ujian
BalasHapusBest ever seen.
BalasHapus