BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi
dibidang ekonomi telah membawa dampak yang luar biasa dalam bidang hukum
bisnis.Hal ini ditandai dengan maraknya badan usaha.Salah satu badan usaha yang
sangat terkemuka dan berkembang pesat adalah badan usaha perbankan. Kegiatan
usaha perbankan awalnya adalah hanya menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya. Namun seiring dengan berkembangnya informasi dan teknologi bank telah mengembangkan berbagai bentuk
fasilitas yang semakin memanjakan para nasabahnya. Salah satu fasilitas yang
kini menjadi trend dilkalangan masyarakat terutama kelas menengah keatas adalah
fasilitas kartu kredit.
Kartu kredit adalah bagian dari gaya
hidup. Itulah jualan utama penerbit kartu kredit kepada masyarakat kelas
menengah.Di mana ada aktivitas rutin yang terkait pengeluaran uang, di sanalah
promo penggunaan kartu kredit bertengger.Mulai dari program beli satu gratis
satu untuk tiket menonton di bioskop, tambahan poin untuk setiap mil
penerbangan menggunakan maskapai tertentu, sampai potongan belanja di toko
swalayan. Sampai tahap tertentu, bank penerbit kartu kredit bahkan menawarkan
akan mewujudkan mimpi konsumennya. Kartu kredit merupakan alternatif untuk
memudahkan pembayaran para nasabah jika kehabisan uang tuanai sewaktu-waktu. Hanya dengan sebuah kartu
nasabah bisa membeli kebutuhan-kebutuhan ditoko-toko tertentu tanpa harus
membawa uang tunai.
Penggunaan kartu kredit merupakan
salah satu bentuk perjanjian kredit antara konsumen selaku nasabah debitor
dengan bank selaku kreditor.Fakta di masyarakat terkesan bahwa
dalam hubungan antara bank dan nasabah debitor ,bank selalu berada diposisi
yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank
dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan calon nasabah debitor. Hal
tersebut karena pada saat perjanjian itu, calon nasabah debitor sangat
membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Umumnya calon nasabah debitor tidak
banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan
oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar-menawar bank menjadi sangat
kuat.Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit, ternyata
kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung
pada integritas nasabah debitor. Bila
nasabah debitor mempunyai integritas yang baik menyalahgunakan kredit atau
bersedia membayar kembali kredit yang telah macet maka bank memang perlu
mencari penyelesaian melalui bantuan hukum.
Kedudukan
para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak bank untuk
membuat klausula-klausula yang memberatkan nasabah debitor, sebaliknya pihak
bank terlindungi oleh karenanya pihak nasabah debitor dibebani dengan sejumlah
kewajiban dan merupakan hak-hak bank yang mesti dipenuhinya.Kelemahan kedudukan
nasabah debitor itulah pihak bank memanfaatkannya dengan lebih banyak membuat
klausula-klausula yang tidak wajar dan tidak adil.
Sutan
Remy Sjahdeini, memberikan beberapa contoh dari klausula-klausula yang secara
tidak wajar sangat memberatkan nasabah debitor yaitu :[1]
1.
Kewenangan
bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa pemberitahuan sebelumnya
secara sepihak menghentikan izin tarik kredit;
2.
Kewenangan
bank untuk secara sepihak menentukkan harga jual dari barang agunan karena
kredit nasabah debitor macet;
3.
Kewenangan
bank untuk secara sepihak sewaktu-waktu mengubah tingkat suku bunga kredit;
4.
Kewajiban
nasabah debitor untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang
telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh bank;
5.
Keharusan
nasabah debitor untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum
hubungan rekening Koran dari bank yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya
nasabah debitor diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening Koran tersebut;
6.
Kuasa
nasabah debitor yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat
melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;
7.
Pembuktian
kelalaian nasabah debitor secara sepihak oleh pihak bank semata;
Pencantuman
klausula-klausula eksemi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti kerugian
oleh nasabah debitor atas terjadinya keerugian yang diderita olehnya sebagai
akibat tindakan bank
Pengertian
Kredit pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah “penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”
Menurut
O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang)
dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan
datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, sehingga transaksi
kredit yang menyangkut uang merupakan alat kredit .Kredit berfungsi kooperatif
antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan
debitur.Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko.Singkatnya,
kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen, kepercayaan, risiko, dan
pertukaran ekonomi dimasa-masa mendatang.[2]
Ada beberapa prinsip-prinsip penilaian kredit yang
sering dilakukan yaitu dengan analisis 5 C antara lain :[3]
1.
Character, adalah sifat atau watak seseorang
dalam hal ini adalah calon debitur. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan
kepada Bank, bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit
benar-benar dapat dipercaya.
2.
Capacity (capability), untuk melihat kemampuan
calon nasabah dalam membayar kredit dihubungkan dengan kemampuan mengelola
bisnis serta kemampuan mencari laba.
3.
Capital, dimana untuk mengetahui sumber-sumber
pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh Bank.
4.
Collateral, merupakam jaminan yang diberikan calon
nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi
jumlah kredit yang diberikan.
5.
Condition, dalam menilai kredit hendaknya dinilai
kondisi ekonomi sekarang dan untuk dimasa yang akan datang.
Ketentuan-ketentuan tentang
pemberian kredit bank tersebut merupakan salah satu wujud prinsip kehatihatian
bank, namun dalam kasus penagihan kartu kredit yang dilakukan oleh citybank
pada tahun 2011 yang lalu menggemparkan masyarakat Indonesia, karena penggunaan
jasa debt collector dalam penagihan kartu kredit telah menewaskan salah satu
nasabah citybank yaitu Irzen Octa. Inilah koronologi tewasnya irzen Octa
nasabah citybank.Berikut kronologis versi kepolisian yang didapat dari
keterangan empat tersangka yang telah ditahan dan 17 saksi:[4]
1.
28 Maret 2011: Utusan
Citibank mendatangi rumah Octa dan mengundangnya ke Menara Jamsostek, lokasi
kantor Citibank untuk menyelesaikan masalah tagihan kartu kreditnya.
2.
29 Maret 2011: Pukul 10.08
Okta tiba di Menara Jamsostek dan menemui petugas keamanan gedung. Kemudian,
salah satu tersangka, berinisial BT, menemui Okta di ruang tunggu, setelah meminta
tersangka lainnya, A, untuk menyiapkan surat-surat tagihan kartu kredit Okta.
Pukul 11.20 Oleh A, Okta dibawa ke sebuah
ruangan yang disebut Ruang Cleopatra milik Citibank atau diistilahkan polisi
sebagai ruang negosiasi. Setelah Okta berada di Ruang Cleo, muncul D dan H,
keduanya berasal dari perusahaan outsourcing PT Taketa, sementara A pekerja
dari PT Fanimas.
Di dalam ruangan, berdasarkan
pengakuan tersangka, Okta dipersilahkan duduk.Kemudian keempat tersangka sempat
menggeberak meja, menendang kaki kursi yang diduduki Okta dan menepuk-nepuk
tangan dan bahu Okta.Hal ini berlangsung sejak pukul 11.20 hingga pukul 12.00.
Pukul 12.00 Keempat tersangka meninggalkan Okta
seorang diri di dalam Ruang Cleo selama satu jam.
Pukul 12.10 dua orang saksi yang juga pekerja
di Citibank melihat dari kaca pintu Ruang Cleo bahwa Okta dalam keadaan terjatuh
dari kursi dengan kondisi kaki terbujur dengan mulut yang mengeluarkan air
liur.Saksi langsung memberitahu tersangka A atas hal yang dilihatnya. Menurut
saksi, A hanya tertawa mendengar yang dikatakannya.
Pukul 13.25 saksi, yang belum melihat A
menengok kondisi Octa, kembali mendatangi A untuk memintanya memanggil dokter.
Oleh A, saksi diminta menghubungi keluarga korban, namun karena telepon rumah
Okta tidak bisa dihubungi, saksi menggunakan nomor telepon rekan Okta
berinisial T yang sudah beberapa kali menghubungi telepon Okta namun tidak
dijawab.
Pukul 14.00 rekan korban, T sampai di Ruang
Cleo, dan langsung memeriksa kondisi rekannya, dan mengatakan denyut nadi Okta sudah
tidak berdenyut.
(Selanjutnya kronologis versi
Citibank yang didapat dari catatan kamera CCTV)
Pukul 13.54 Okta didudukkan oleh T dan A di atas kursi roda milik pengelola gedung Jamsostek dan menuju mobil milik Citibank. Selanjutnya Okta dibawa menuju ruang gawat darurat RS Mintoharjo.Oleh pihak RS, Okta dinyatakan telah meninggal dunia.[5]
Pukul 13.54 Okta didudukkan oleh T dan A di atas kursi roda milik pengelola gedung Jamsostek dan menuju mobil milik Citibank. Selanjutnya Okta dibawa menuju ruang gawat darurat RS Mintoharjo.Oleh pihak RS, Okta dinyatakan telah meninggal dunia.[5]
Penyelesaian penagihan kredit
bermasalah sendiri secara normatif telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan perbankan di Indonesia.Penyelesaian kredit bermasalah bisa
secara litigasi dan juga non litigasi.Penggunaan jasa debt collector oleh citybank
merupakan salah satu upaya bank dalam melakukan penagihan kartu kredit yang
sudah tergolong kedalam kredit bermasalah. Namun bagaimana hubungan hukum
antara debt colletctor itu sendiri dengan nasabah sementara perjanjian kredit
adalah perjanjian antara nasabah dengan bank, tidak melibatkan pihak ketiga
yaitu debt collector.Selengkapnya akan penulis membahasnya dalam penulisan
makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng tersebut diatas maka yang menajdi
masalah pokok yang dibahas adalah:
1. Bagaimana upaya hukum penyelesaian
kredit bermasalah secara litigasi dan non litigasi?
2. Penyelesaian kredit bermasalah dengan
jasa debt collector bagaimana hubungan hukumnya dengan nasabah ?
PEMBAHASAN
3.1.Pengantar Tentang Kredit Bermasalah
Latar belakang adanya kasus kredit bermasalah adalah
debitor telah dianggapmengingkari janji untuk membayar bunga dan/atau kredit
induk yang telahjatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama
sekalitidak ada pembayaran, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kreditbermasalah di dalamnya meliputi kredit macet, meskipun demikian
tidaksemua kredit yang bermasalah adalah kredit macet.
Bank Indonesia telahmengeluarkan peraturan yang
menggolongkan kolektibilitas kredit dalamSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 23/68/KEP/DIR tentangpenggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan
Pembentukan CadanganAtas Aktiva. Peraturan tersebut telah beberapa kali
dirubah, yaitu denganSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR
tanggal 9Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan pembentukan
PenyisihanPenghapusan Aktiva Produktif, dirubah dengan Surat Keputusan
DireksiBank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998
tentangkualitas Aktiva Produktif dan terakait dengan Surat Keputusan Direksi
BankIndonesia Nomor 31/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang KualitasAktiva
Produktif.
Kredit
yang masuk dalam golongan lancar dinilai sebagai kredityang performing loan,
sedangkan kredit yang masuk golongan kurang lancar,diragukan dan macet dinilai
sebagai kredit non performing loan[6].
Dari
pengertian tersebut di atas maka yang dimaksud dalamkriteria kredit bermasalah,
adalah kredit yang tidak terbayar oleh debitortermasuk dalam kriteria
bermasalah ada 4 (empat), yaitu kredit dalamperhatian khusus, kredit kurang
lancar, kredit diragukan dan kredit macet.Implikasi bagi pihak bank sebagai
akibat dari timbulnya kreditbermasalah tersebut dapat berupa:
1.
“hilangnya
kesempatan untuk memperoleh income (pendapatan) darikredit yang
diberikannya, sehingga mengurangi perolehan laba danpengaruh buruk bagi
rentabilitas bank
2.
rasio kualitas aktiva produktif atau yang
lebih dikenal dengan BDR(bad dept ratio) menjadi semakin besar yang
menggambarkan situasiyang semakin memburuk
3.
bank
harus memperbesar penyisihan untuk cadangan aktivaproduktif yang
diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada. Halini pada akhirnya akan
mengurangi besarnya modal bank dan akansangat berpengaruh terhadap CAR (capital
adequacy ratio)
4.
Return On Assets (ROA) mengalami penurunan
5.
sebagai
akibat dari komplikasi butir 2,3,4 tersebut diatas adalahmenurunnya nilai
kesehatan bank.” [7]
Adanya kredit bermasalah apabila macet yang menjadi
beban bagibank menjadi salah satu indikator penentu kinerja bank, oleh karena
ituadanya kredit bermasalah apabila macet memerlukan penyelesaian yangcepat,
tepat dan akurat dan memerlukan tindakan penyelematan danpeyelesaian dengan
segera.Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan dan menyelesaikankredit
bermasalah akan sangat bergantung pada kondisi kredit yangbermasalah itu
sendiri. Untuk menyelamatkan dan menyelesaikan kreditbermasalah ada dua
strategi yang ditempuh:
3.2 Upaya Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah
Melalui Jalur Non Litigasi
Proses Penyelesaian melalui jalur ini dilakukan
melalui perundingan kembaliantara Kreditor dan debitor dengan meringankan syarat-syarat
dalamperjanjian kredit.Jadi dalam tahap penyelamatan kredit ini
belummemanfaatkan lembaga hukum karena debitor masih kooperatif dan dariprospek
usahanya masih feasible. Penanganan kredit perbankan yangbermasalah
menurut ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia No. 23/12/BPP tanggal 28 Februari
1991 dalam usaha mengatasi kredit bermasalah,pihak bank dapat melakukan
beberapa tindakan penyelamatan sebagaiberikut:
1. Rescheduling/
penjadwalan kembali
Rescheduling merupakan upaya pertama
dari pihak bank untukmenyelamatkan kredit yang diberikan kepada debitor.Cara
ini dilakukanjika ternyata pihak debitor (berdasarkan hasil penelitian dan
perhitunganyang dilakukan account officer bank) tidak mampu untuk memenuhikewajiban
dalam hal pembayaran kembali angsuran pokok maupunbunga kredit.Rescheduling
adalah penjadwalan kembali sebagian atauseluruh kewajiban debitor.Hal tersebut
disesuaikan dengan proyeksi aruskas yang bersumber dari kemampuan usaha debitor
yang sedangmengalami kesulitan. Penjadualan tersebut bisa berbentuk :
1)
memperpanjang
jangka waktu kredit
2)
memperpanjang
jangka waktu angsuran, misalnya semula angsuranditetapkan setiap 3 bulan
kemudian menjadi 6 bulan
3)
menurunkan
jumlah untuk setiap angsuran yang mengakibatkanperpanjangan jangka kredit
2.
Reconditioning
Reconditioning merupakan
usaha pihak bank untukmenyelamatkan kredit yang diberikannya dengan cara
mengubahsebagian atau seluruh kondisi (persyaratan) yang semula
disepakatibersama pihak debitor dan bank yang kemudian dituangkan
dalamperjanjian kredit. “Perubahan kondisi kredit dibuat dengan
memperhatikanmasalah-masalah yang dihadapi oleh debitor dalam pelaksanaan
proyekatau bisnisnya.”[8]
Dalam hal ini perubahan tersebut
meliputi antara lain :
1) Kapitalisasi
bunga yaitu bunga yang dijadikan utang pokok sehingganasabah untuk waktu
tertentu tidak perlu membayar bunga, tetapinanti uang pokoknya dapat melebihi
plafon yang disetujui. Sehinggaperlu peningkatan fasilitas kredit disamping itu
bunga tersebutdihitung bunga majemuk yang pada dasarnya akan
memberatkannasabah. Cara ini dapat dilakukan jika prospek usahan nasabahbaik.
2) Penundaan
pembayaran bunga yaitu bunga tetap dihitung. Tetapipenagihan atau pembebanannya
kepada nasabah tidakdilaksanakann sampai nasabah mempunyai kesanggupan.
Atasbunga yang terutang tersebut tidak dikenakan bunga dan tidakmenambah plafon
kredit.
3) Penurunan
suku bunga yaitu dalam hal nasabah dinilai masihmampu membayar bunga pada
waktunya, tetapi suku bunga yangdikenakan terlalu tinggi untuk tingkat
aktifitas dan hasil usaha padawaktu itu. Cara ini ditempuh jika hasil operasi
nasabah memangmenunjukkan surplus atau laba dan likuiditas memungkinkan
untukmembayar bunga.
4) Pembebanan
bunga yaitu dalam hal nasabah memang dinilai tidaksanggup membayar bunga karena
usaha nasabahnya mencapaitingkat kembali pokok atau break even.
Pembebanan bunga ini dapatdilakukan untuk sementara, selamanya aataupun untuk
seluruhutang bunga.
5) Pengkonversian
kredit jangka pendek menjadi jangka panjangdengan syarat yang lebih ringan
6) Jaminan
kredit/agunan, beberapa jaminan yang semula harusdiberikan atau diserahkan pada
bank terpaksa tidak bisa terlaksanakarena beberapa alasan misalnya tanah yang
akan dijadikan jaminanternyata masih dalam sengketa.
7) Jenis
serta besarnya beberapa fee yang harus dibayar debitorkepada bank, misalnya
dalam kasus yang terjadi pada kreditsindikasi.
8) Manajemen
proyek atau bisnis yang dibiayai bank berdasarkananalisis yang dilakukan bank
maupun atas nasehat dari konsultanyang ditunjuk bank. Hal ini terpaksa dilakukan
untuk mengamankanjalannya proyek dan merupakan persyaratan baru atau
persyaratantambahan yang diminta oleh bank yang harus dipenuhi debitor
dalamrangka penyelamatan proyek.
9) Kombinasi
dari beberapa perubahan tersebut[9]
3.
Recstructing
Lukman
Dendawijaya mendefinisikan reksrtukturisasi yaitu
usahapenyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan bank dengan caramengubah
komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit.Sebagai contoh, suatu
proyek dibiayai dengan struktur pembiayaanyakni 60 % adalah pinjaman bank, dan
40 % adalah modal nasabahsehingga debt to equity ratio adalah 60:40.
kemudian karena kesulitanyang dialami nasabah dalam melaksanakan proyeknya atau
bisnisnya,nasabah tidak mampu membayar angsuran pokok pinjama maupunbunga
kredit, misalnya bunga yang dibebankan dirasakan terlalu beratsehinggga harga
pokok produksinya tinggi dan produknya tidak dapatdipasarkan karena menghadapi
persaingan yang berat di pasar.[10]
Secara umum tujuan dilakukannya
rekstrukturisasi kredit adalah meningkatkan kemampuan debitor dalam membayar
pokok dan bunga jaminan.Dalam melakukan rekstrukturisasi kredit hal yang harus
diperhatikan adalah prospek usaha dan itikad baik debitor.Prospek usaha dapat
dinilai dengan melihat potensi perusahaan untuk menghasilkan net cash inflow
yang positif dan prospek market dari produk atau jasa yang dihasilkan.
Sedangkan itikad baik debitor dapat dilihat dari antara lain kemauan dan
kesediaan debitor dalam melakukan negoisasi dengan kreditor, memikul beban
kerugian yang akan ditetapkan sebagai hasil negosiasi dan mempunyai atau akan
menyampaikan rencana rekstrukturisasi untuk dibahas dengan kreditor.
Rekstrukturisasi disebut sebagai langkah atau upaya reaktif apabila dilakukan
bagi kredit yang mengalami kesulitan pembayaran pokok/bunga. Sedangkan
rekstrukturisasi disebut sebagai upaya preventif apabila kredit masih tergolong
lancar namun diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran angsuran
pokok/bunga.
Restructing atau
rekstrukturisasi menurut Surat Keputusan DireksiBank Indonesia Nomor
31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentangRekstrukturisasi kredit dalam
Pasal 1 huruf c adalah upaya yang dilakukanbank dalam kegiatan usaha
perkreditan agar debitor dapat memenuhikewajibannya. Rektrukturisasi kredit
dapat dilakukan dengan cara-carasebagai berikut :
1)
Penurunan suku bunga kredit
Penurunan
suku bunga kredit tidak dapat dikatakan sebagairekstrukturisasi kredit apabila
penurunan dimaksud bertujuannmenyesuaikan dengan bunga pasar yang pada saat
bersamaan jugamengalami penurunan. Kaitannya dengan Batas Maksimum
PemberianKredit (selanjutnya disingkat menjadi BMPK), perpanjangan jangkawaktu
yang sebelumnya telah melampaui BMPK diberlakukan sebagaipelampauan BMPK yang
wajib diselesaikan dalam jangka waktu 9 bulansedangkan penyertaan modal
sementara dalam rangka rektrukturisasikredit dikecualikan dari perhitungan
BMPK.[11]
2)
pengurangan tunggakan bunga kredit
kreditor
dapat memberikan keringanan berupa mengurangi jumlahbunga yang tertunggak atau
menghapus seluruh tunggakan bungakredit. Debitor dibebaskan dari kewajiban
membayar tunggakan bungakredit sebagian atau seluruhnya.Langkah ini diambil
agar debitormempunyai kembali kemampuan melanjutkan kegiatan usahanyasehingga dapat
digunakan membayar utang pokoknya.
3)
Pengurangan tunggakan pokok kredit
Kreditor
dapat memberikan keringanan berupa mengurangi utang pokokyang tertunggak.
Langkah ini merupakan reksstrukturisasi yang palingmaksimal yang dapat
diberikan oleh bank karena langkah ini biasanyadiikuti dengan penghapusan bunga
dan denda seluruhnya.“Pengurangan tunggakan pokok ini merupakan pengorabanan
yangsangat besar dari bank karena asset bank yang berupa utang pokoktidak
kembali dan merupakan kerugian bagi bank.”[12]
4)
Perpanjangan waktu kredit
Perpanjangan
waktu kredit merupakan bentuk rekstrukturisasi kredityang bertujuan memperingan
debitor untuk mengembalikan hutangnya.“Diharapkan dengan perpanjangan waktu ini
dapat memberikankesempatan kepada debitor untuk melanjutkan usahanya
sehinggapendapatan yang harusnya digunakan untuk membayar hutangdigunakan untuk
memperkuat usahanya.”[13]
5)
Penambahan fasilitas kredit
Dalam
hal ini rektrukturisasi kredit dilakukan dengan cara penambahanfasilitas kredit
yang harus digunakan sesuai prosedur yang ketat danterdapat agunan yang cukup.
“Dengan adanya penambahan fasilitaskredit dimana debitor diberikan kredit lagi
sehingga utang menjadi besarnantinya diharapkan debitor dapat mempunyai
kemampuan untukmenjalankan kembali usahanya dan pendapatan dari usahanya
dapatdigunakan untuk membayar utang lama dan utang baru.”[14]
6)
Pengambilalihan asset debitor sesuai
dengan ketentuan yangberlaku
Pengambilalihan
asset debitor sesuai dengan ketentuan yang mengacukepada Undang-Undang
perbankan khususnya Pasal 12A yangmengatur kemungkinan Bank Umum dapat membeli
sebagian atauseluruh anggunan baik melalui penjualan umum atau
pelelanganataupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela.
Kemudahan
ini oleh undang-undang diadakan pembatasan yaitu
1.
Agunan
yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan dari kredit macet
2.
Agunan
yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalamjangka waktu 1 tahun
3.
Dalam
jangka waktu 1 tahun bank dapat menangguhkan kewajibankewajibanyang berkaitan
dengan pengalihan hak atas agunan yangbersangkutan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku[15]
7) Konversi
kredit menjadi penyertaan modal sementara padaperusahaan debitorYaitu apabila
upaya penyelamatan melalui penurunan suku bunga,pengurangan tunggakan bunga dan
usaha lainnya tidak dapat dilakukanlangkah ini diambil setelah melalui analisi
yang mendalam sertamempertimbangkan akan terjadinya perubahan status bank
terhadapdebitor. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementra
padaperusahaan debitor hanya dilakukan apabila dipenuhi
persyaratanpersyaratantertentu, yaitu :
1)
Jangka
waktu penyertaan maksimum 5 tahun atau kurang dari 5tahun apabila perusahaan
telah memperoleh laba selama 2 tahunberturut-turut.
2)
Setelah
5 tahun harus dihapus bukukan. Dalam hal ini bank tidakperlu ijin Bank
Indonesia namun harus sesuai dengan anggarandasar dan kebijakan masing-masing
bank. Selain itu juga harusmemperhatikan BMPK. Konversi kredit harus dilakukan
oleh satuankerja yang tersisa dengan satuan kerja pemberian kredit dandipimpin
oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukannegoisasi dengan debitor
dalam rangka konversi kredit.[16]
3.3 Penyelesaian Kredit Bermasalah
secara Litigasi
1)
Mengajukan
gugatan ke pengadilan
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri
dengan ketentuan Hukum Acara Perdata.Kreditor atau bank dapat memberikan somasi
atau peringatan kepada debitor agar ia memenuhi kewajiban, namun somasi secara
yuridis tidak mempunyai akibat hukum yang memaksa pada debitor. “Apabila somasi
itu tidak ditanggapi oleh debitor, maka kreditor atau bank dapat melakukan
gugatan ke Pengadilan Negeri.”[17]
Kemudian apabila terbukti hakim akan mengeluarkan keputusan Pengadilan yang
tetap atau pasti. Namun bila tergugat atau debitor tidak melaksanakan putusan
pengadilan Kreditor atau penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi dan
melakukan sita eksekusi untuk selanjutnya melelang harta tergugat sehingga
hasil lelangan dapat digunakan untuk melunasi hutang tergugat.
2)
Eksekusi
jaminan kredit
“Mekanisme eksekusi jaminan kredit bila
jaminan diikat secara formalatau melalui bantuan notaris untuk membuatkan
aktanya (grosseakta/ akta hipotek/ akta hak tanggungan) maka kreditor
cukupmengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan yangberkompeten.”[18]
Bila ternyata debitor tetap tidak
melaukannya makakreditor akan memohon sita eksekusi. Kemudian dengan
sitaeksekusi tersebut juru sita pengadilan melakukan sita jaminan yangbiasanya
disertai permohonan kreditor untuk pelelangan jaminan.Lalu, pengadilan
berdsarkan permohonan lelang dari kreditor akanmenghubungi kantor lelang untuk
melaksanakan lelang atas jaminantersebut. Setelah pelelangan dilakukan,
kreditor bisa mengambilpinjaman dengan perhitungan yang sudah diketahui
pengadilan dariharga jaminan yang terjual.
3)
Parate
Eksekusi Hak tanggungan
Pemegang hak tanggungan dapat memilih
cara menjual lelang objekhak tanggungan berdasarkan kekuasaan sendiri (Pasal 6
jo. Pasal11 ayat (2e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996), makapemegang hak
tanggungan sama sekali tidak perlu berhubungandengan pengadilan. “Kreditor
pemegang Hak Tanggungan cukupmeminta bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual
obyek haktanggungan tersebut.”[19]
4)
Paksa
Badan
Diatur oleh Peraturan mahkamah Agung
Republik Indonesia nomor 1tahun 2000 tanggal 30 Juni 2002 tentang lembaga paksa
badan.“Kreditor mengajukan gugatan kepada debitor dan kemudian hakimmemutuskan
debitor sebagai pihak yang berhutang harus disanderakarena tidak mampu
melaksanakan keputusan hakim karena tidakmemiliki harta yang bisa dijual.”[20]
5)
Pailit
Sesuai ketetuan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 tentangKepailitan, bahwa pailit ialah keadaan debitor yang mempunyai
duaatau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yangtelah
jatuh tempo dan dapat ditagih yang dinyatakan oleh PengadilanNiaga. “Debitor
dinyatakan pailit oleh Keputusan Pengadilan Niaga,sehingga kreditor yang ingin
memailitkan debitor dapat mengajukangugatan ke Pengadilan Niaga.”[21]
6)
Penyelesaian kredit perbankan melalui BPBN
“Kredit
bermasalah yang ada pada bank yang sedang dalam penyehatan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 diselesaikan oleh suatu lembaga yang
disebut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).” 51 Piutang yang diurusi
oleh BPPN dari Bank dalam Penyehatan meliputi
1.
Piutang
yang sudah dialihkan kepada BPPN;
2.
Piutang
yang timbul sehubungan dengan Penanggungan hutang;
3.
Penyerahan
kekayaan oleh pihak lain kepada Bank DalamPenyehatan atau BPPN
Tatacara BPPN dalam
menjalankan tugasnya adalah :
1. Penerbitan
Surat Paksa
Penerbitan Surat Paksa diatur dalam
pasal 56 ayat (1)Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 1999, yang memiliki
kekuataneksekutorial dan berkedudukan sama dengan putusan pengadilanyang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Penerbitan Surat Paksaini dilakukan sepanjang
debitor telah melalaikan kewajiban membayaratau kewajiban lainnya berdasarkan
dokumen kredit, dokumenpemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat
sebelumnyadan atau dokumen lainnya dan kepada debitor atau penanggunghutang
telah terlebih dahulu diberi surat peringatan melalui surattercatat untuk
membayar atau dokumen lain yang nilainya samaseperti itu.
2. Penyitaan
Dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah
diterimanya SuratPaksa, BPPN berwenang melakukan sita eksekusi atas
seluruhkekayaan debitor termasuk yang berada di tangan pihak ketiga
kecualibarang-barang yang masih dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya.
Surat penyitaan harus memenuhi syarat
Pasal 58 dan dilakukan olehjuru sita dibantu 2 (dua) orang saksi dan dituangkan
dalam beritaacara penyitaan. Berita acara penyitaan diserhkan pada
kantorpertanahan.
3. Pelelangan
Penjualan kekayaan miliik debitor yang
telah disita dilakukanmelalui pelelangan, pembagian hasil pelelangan diserahkan
untukmelunasi pemenuhan pembayaran piutang negara terdahulu. Upayahukum lainnya
tidak dapat mencegah BPPN untuk mengambilpelunasan piutang negara termasuk
upaya hukum uuntuk mencegahatau menunda pelaksanaan tindakan hukum lain.
Wewenang BBPNjuga adalah menerbitkan surat pencabutan sita apabila debitor
telahmelunasi hutangnya, selanjutnya kantor pendaftaran mencabut blookirdan
mengangkat sita eksekusinya.
3.4.
Penyelesaian Kredit Dengan Jasa Debt
CollectorBagaimana Hubungan Hukumnya dengan Nasabah
Penggunaan kartu kredit merupakan
salah satu hak nasabah selaku konsumen yang di jamin dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut UUPK ).Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang PerlindunganKonsumen.Mengacu kepada
pasal ini, maka nasabah dapat kita sebut sebagai konsumen dan bank disebut
sebagai produsen. Nasabah memanfaatkan berbagai
produk dan fitur-fitur yang disediakan oleh pihak perbankan yang dalam
hal ini adalah bank.Sebagai konsumen, maka nasabah memiliki hak dan kewajiban.
Hak dari konsumen terurai dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
yaitu:
1. hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2. hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Adapun kewajiban
konsumen diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:
1. membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Sementara itu,
bank yang dalam hal ini bertindak sebagai produsen harus memberikan
perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen. Adapun yang menjadi hak pelaku
usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah:
1. Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
Dalam penjelasan
pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditetapkan
bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5 (lima) asas, yaitu:
1. Asas
manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas
keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas
kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Jumlah pemakai kartu kredit
meningkat pesat lima tahun terakhir. Merujuk data Bank Indonesia, tahun 2007
ada 9,1 juta kartu kredit di masyarakat. Sampai Februari 2011, jumlahnya
mencapai 13,8 juta buah dari 21 bank penerbit. Bank yang termasuk lima besar
penerbit kartu kredit adalah BCA (2,2 juta kartu), Mandiri (2 juta kartu), BNI
(1,6 juta kartu), Citibank (1,5 juta kartu), dan CIMB Niaga (1 juta kartu).
Tren dominasi bank asing di pasar kartu kredit mulai digeser perbankan
nasional, terutama bank BUMN yang cukup ekspansif. Hal itu antara lain terlihat
dari kenaikan jumlah kredit bank persero dibandingkan dengan bank asing.
Kenaikan nilai transaksinya pun luar biasa. Tahun 2010 tercatat Rp 163,2
triliun atau meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan tahun 2007 yang Rp 72,6
triliun.
Masifnya bisnis kartu kredit membuat
bank menyerahkan pekerjaan promosi dan pemasaran sampai penagihan kepada pihak
ketiga.Di sinilah masalah muncul. Meskipun secara normatif pihak ketiga diminta
mengikuti norma dan ketentuan berlaku, perilaku melanggar hak dan privasi
konsumen pengguna kartu semakin sering terjadi. Pengurus Harian Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia Sudaryatmo mengatakan, edukasi kepada pengguna kartu kredit
dan transparansi informasi dari pihak bank mutlak dilakukan.Pemahaman atas
risiko perhitungan bunga kartu kredit penting agar konsumen paham konsekuensi
setiap gesekan kartu kreditnya dan bank tidak bisa lagi menyembunyikan informasi
yang seharusnya diketahui konsumen, seperti opsi pembebasan bunga cicilan dan
penjadwalan ulang pembayaran.
Potensi pasar kartu kredit atau kredit konsumsi lainnya
tentu akan semakin meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan
masyarakat. Tetapi, peningkatan itu bukan tanpa risiko bagi bank penyalur
kredit.Risiko yang dihadapi berupa kredit macet atau bermasalah. Sebagian kecil
(22 persen) pemilik kartu kredit yang diwawancarai mengaku pernah menunggak
atau alpa membayar tagihan kredit. Alasannya beragam, mulai dari lupa, tidak
punya dana, hingga malas.Untuk mengantisipasi hal itu, bank biasanya
mengetatkan pengawasan terhadap pembayaran tagihan nasabah agar tidak melampaui
batas jatuh tempo.Tak jarang bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector).Sekitar
20 persen pemilik kartu kredit atau keluarganya pernah dihubungi oleh penagih
utang.Cara umum yang dilakukan oleh tukang tagih ini biasanya dengan menelepon
dan mendatangi rumah responden atau keluarga responden.Terkait keberadaan
tukang tagih utang ini, lebih dari separuh responden yang mempunyai kartu
kredit menekankan, peran penagih utang tidak diperlukan. Masyarakat berharap
ada cara lain menegosiasikan utang yang macet selain harus berhadapan dengan
tukang tagih yang disewa bank.
Pendapat ini terkait dengan peristiwa tewasnya seorang
nasabah kartu kredit Irzen Octa yang diduga akibat perlakuan penagih
utang.Kekhawatiran di kalangan pengguna kartu kredit pun bermunculan.
Dampaknya, meski tidak bertindak reaktif dengan segera menutup kartu kredit
mereka, pemilik kartu kredit menyatakan akan lebih berhati-hati menggunakan
kartu kredit dan melakukan pembayaran. Meski demikian, responden menilai,
peristiwa itu memberi kesan buruk terhadap wajah perbankan..
Debt
collector pada
prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih
utang kepada debiturnya. Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam
KUHPerdata. Khusus di bidang perbankan, memang ada peraturan
perundang-undangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak
lain untuk menagih utang. Hal tersebut diatur dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu (“PBI”) junctoSE
BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 (“SEBI”). Dalam PBI dan SEBI
ini, diatur bahwa:[22]
1. Dalam hal bank menggunakan jasa
pihak lain untuk melakukan penagihan, maka hal ini wajib diberitahukan kepada pemegang Kartu;
2. Bank wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas
pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara,
mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank
itu sendiri;
3. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas
tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas
diragukan atau macet;
4. Bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara yang
tidak melanggar hukum;
5. Perjanjian kerjasama antara bank dan
pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab
bank terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama
dengan pihak lain tersebut.
Hotman Paris mengatakan “ penggunaan
debt collector adalah menyalahi undang-undang. Pasalnya, dengan menggunakan
jasa debt collector, bank sudah jelas dengan sengaja menggunakan cara
intimidasi atau kekerasan dalam penagihan kredit. penggunaan jasa debt
collector merupakan bukti permulaan adanya niat untuk menggunakan cara
intimidasi. Sehingga pihak bank, yang merupakan si penyuruh, dapat dikenai
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 55 yang menyebutkan :
1. Dipidana sebagai pelaku tindak
pidana:
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
b. mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan
yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”
Penggunaan
jasa debt collector dalam penagihan kartu kredit sebagaimana terjadi pada citybank,
hubungan hukum debt collector dengan pihak bank merupakan hubungan pemberian
kuasa,jadi hubungan hukum antara nasabah dengan debt collector adalah sama
dengan hubungan hukum antara nasabah dengan bank. Namun sesuai dengan peraturan
Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 sebagaimana tersebut di atas
dilanggar oleh citybank dalam hal ini adalah para debt collector yang pada saat
itu bertindak atas nama citybank. Debt collector melakukan tindakan diluar
batas kemanusiaan dan melanggar etika dalam hukum bisnis itu sendiri yaitu
dengan itikad tidak baik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut diatas maka yang dapat disimpulkan adalah
1. Upaya Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah
Melalui Jalur Non Litigasi yaitu :Rescheduling/ penjadwalan kembali , Reconditioningdan Recstructingsedangkan Penyelesaian Kredit
Bermasalah secara Litigasi
adalah Mengajukan gugatan ke pengadilan, Eksekusi jaminan kredit, Parate Eksekusi Hak tanggungan, Paksa Badan, diPailitkan
dan bias juga Penyelesaian kredit perbankan melalui BPBN
2. Penyelesaian Kredit Dengan Jasa Debt
collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh
kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya. Perjanjian pemberian
kuasa diatur dalam KUHPerdata. Oleh karena itu hubungan hukum antara nasabah
citybank dengan debt collector sama dengan hubungan hukum antara nasabah dengan
bank karena adanya pemberian kuasa.
[1] Rahmadi Usman. 2003, Aspek-Aspek
Hukum Perbankan Di Indonesia, cet.ke-2, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, Hal.276
[2]O.P Simorangkir, Seluk Beluk
Bank Komersial, Cetakan ke-5, Aksara Persada Indonesia, Jakarta.
[3]Ibid, Hal.92
[4]http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/04/06/lj84g3-inilah-kronologi-kematian-nas diaksestanggal
8 maret 2012
[5]Ibid
[6] Sutarno, Aspek-
Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003, hlm.263- 264
[7] Lukman
Dendawijaya, ,Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Bandung, 2001, hlm.
86
[8] 37 Ibid., hlm. 87
[9]Ibid., hlm. 87-88
[10] Lukman
Dendawijaya, Op.Cit, hlm. 89
[11]Indarwati Soewarsono,
Beberapa Masalah Hukum Rekstrukturisasi, Newsletter nomor
36/X/Maret/1999, hlm. 21
[12]Op. Cit, hlm.269
[13]Ibid. hlm.89
[14]Indarwati
soewarsono, Beberapa Masalah Hukum Rekstrukturisasi, Newsletter nomor
36/X/Maret/1999, hlm. 22
[15]Ibid. hlm. 90
[16]Ibid. hlm. 91
[17]Sutarno, 2003, Aspek-aspek
Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Jakarta, hlm. 296
[18] Elyana, Efektifkah
Hukum Kita Melindungi Kreditor, Newsletter nomor 36/X/Maret/1999, hlm.
26-27
[19]Ibid, hlm. 27
[20]Op. Cit. hlm. 331
[21]Op. Cit. hlm. 334
[22]Hasrinaldi Eri, Dasar
Hukum Adanya Debt Collector, http://www.newsbanking.com/2011/04/dasar-hukum-adanya-debt-collector.html, diakses pada
tanggal 17 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar