Assalamualaikum..wr...wb...

Selamat datang di bolg ini....meskipun jauh dari kesempurnaan tetapi berharap dapat memberikan sedikit kontribusi yang bermanfaat bagi anda semua

Sabtu, 01 September 2012

ANALISIS YURIDIS TERHADAP UPAYA PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH DENGAN MENGGUNAKAN JASA DEBT COLLECTOR ( Studi Kasus Terhadap Pengguna Kartu Kredit Citybank)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
Globalisasi dibidang ekonomi telah membawa dampak yang luar biasa dalam bidang hukum bisnis.Hal ini ditandai dengan maraknya badan usaha.Salah satu badan usaha yang sangat terkemuka dan berkembang pesat adalah badan usaha perbankan. Kegiatan usaha perbankan awalnya adalah hanya menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya. Namun seiring dengan berkembangnya  informasi dan teknologi  bank telah mengembangkan berbagai bentuk fasilitas yang semakin memanjakan para nasabahnya. Salah satu fasilitas yang kini menjadi trend dilkalangan masyarakat terutama kelas menengah keatas adalah fasilitas kartu kredit.
Kartu kredit adalah bagian dari gaya hidup. Itulah jualan utama penerbit kartu kredit kepada masyarakat kelas menengah.Di mana ada aktivitas rutin yang terkait pengeluaran uang, di sanalah promo penggunaan kartu kredit bertengger.Mulai dari program beli satu gratis satu untuk tiket menonton di bioskop, tambahan poin untuk setiap mil penerbangan menggunakan maskapai tertentu, sampai potongan belanja di toko swalayan. Sampai tahap tertentu, bank penerbit kartu kredit bahkan menawarkan akan mewujudkan mimpi konsumennya. Kartu kredit merupakan alternatif untuk memudahkan pembayaran para nasabah jika kehabisan uang tuanai  sewaktu-waktu. Hanya dengan sebuah kartu nasabah bisa membeli kebutuhan-kebutuhan ditoko-toko tertentu tanpa harus membawa uang tunai.
Penggunaan kartu kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian kredit antara konsumen selaku nasabah debitor dengan bank selaku kreditor.Fakta di masyarakat terkesan bahwa dalam hubungan antara bank dan nasabah debitor ,bank selalu berada diposisi yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan calon nasabah debitor. Hal tersebut karena pada saat perjanjian itu, calon nasabah debitor sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Umumnya calon nasabah debitor tidak banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar-menawar bank menjadi sangat kuat.Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit, ternyata kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung pada integritas nasabah  debitor. Bila nasabah debitor mempunyai integritas yang baik menyalahgunakan kredit atau bersedia membayar kembali kredit yang telah macet maka bank memang perlu mencari penyelesaian melalui bantuan hukum.
Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak bank untuk membuat klausula-klausula yang memberatkan nasabah debitor, sebaliknya pihak bank terlindungi oleh karenanya pihak nasabah debitor dibebani dengan sejumlah kewajiban dan merupakan hak-hak bank yang mesti dipenuhinya.Kelemahan kedudukan nasabah debitor itulah pihak bank memanfaatkannya dengan lebih banyak membuat klausula-klausula yang tidak wajar dan tidak adil.
Sutan Remy Sjahdeini, memberikan beberapa contoh dari klausula-klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan nasabah debitor yaitu :[1]
1.      Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apapun dan tanpa pemberitahuan sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit;
2.      Kewenangan bank untuk secara sepihak menentukkan harga jual dari barang agunan karena kredit nasabah  debitor macet;
3.      Kewenangan bank untuk secara sepihak sewaktu-waktu mengubah tingkat suku bunga kredit;
4.      Kewajiban nasabah debitor untuk tunduk kepada segala petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan diterapkan kemudian oleh bank;
5.      Keharusan nasabah debitor untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening Koran dari bank yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitor diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum hubungan rekening Koran tersebut;
6.      Kuasa nasabah debitor yang tidak dapat dicabut kembali kepada bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank;
7.      Pembuktian kelalaian nasabah debitor secara sepihak oleh pihak bank semata;
Pencantuman klausula-klausula eksemi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti kerugian oleh nasabah debitor atas terjadinya keerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan bank
Pengertian Kredit pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”
Menurut O.P. Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, sehingga transaksi kredit yang menyangkut uang merupakan alat kredit .Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur.Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko.Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen, kepercayaan, risiko, dan pertukaran ekonomi dimasa-masa mendatang.[2]
Ada beberapa prinsip-prinsip penilaian kredit yang sering dilakukan yaitu dengan analisis 5 C antara lain :[3]
1.      Character, adalah sifat atau watak seseorang dalam hal ini adalah calon debitur. Tujuannya adalah untuk memberikan keyakinan kepada Bank, bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya.
2.      Capacity (capability), untuk melihat kemampuan calon nasabah dalam membayar kredit dihubungkan dengan kemampuan mengelola bisnis serta kemampuan mencari laba.
3.      Capital, dimana untuk mengetahui sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki nasabah terhadap usaha yang akan dibiayai oleh Bank.
4.      Collateral, merupakam jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan.
5.      Condition, dalam menilai kredit hendaknya dinilai kondisi ekonomi sekarang dan untuk dimasa yang akan datang.

Ketentuan-ketentuan tentang pemberian kredit bank tersebut merupakan salah satu wujud prinsip kehatihatian bank, namun dalam kasus penagihan kartu kredit yang dilakukan oleh citybank pada tahun 2011 yang lalu menggemparkan masyarakat Indonesia, karena penggunaan jasa debt collector dalam penagihan kartu kredit telah menewaskan salah satu nasabah citybank yaitu Irzen Octa. Inilah koronologi tewasnya irzen Octa nasabah citybank.Berikut kronologis versi kepolisian yang didapat dari keterangan empat tersangka yang telah ditahan dan 17 saksi:[4]
1.      28 Maret 2011: Utusan Citibank mendatangi rumah Octa dan mengundangnya ke Menara Jamsostek, lokasi kantor Citibank untuk menyelesaikan masalah tagihan kartu kreditnya.
2.      29 Maret 2011: Pukul 10.08 Okta tiba di Menara Jamsostek dan menemui petugas keamanan gedung. Kemudian, salah satu tersangka, berinisial BT, menemui Okta di ruang tunggu, setelah meminta tersangka lainnya, A, untuk menyiapkan surat-surat tagihan kartu kredit Okta.
Pukul 11.20 Oleh A, Okta dibawa ke sebuah ruangan yang disebut Ruang Cleopatra milik Citibank atau diistilahkan polisi sebagai ruang negosiasi. Setelah Okta berada di Ruang Cleo, muncul D dan H, keduanya berasal dari perusahaan outsourcing PT Taketa, sementara A pekerja dari PT Fanimas.
Di dalam ruangan, berdasarkan pengakuan tersangka, Okta dipersilahkan duduk.Kemudian keempat tersangka sempat menggeberak meja, menendang kaki kursi yang diduduki Okta dan menepuk-nepuk tangan dan bahu Okta.Hal ini berlangsung sejak pukul 11.20 hingga pukul 12.00.
Pukul 12.00 Keempat tersangka meninggalkan Okta seorang diri di dalam Ruang Cleo selama satu jam.
Pukul 12.10 dua orang saksi yang juga pekerja di Citibank melihat dari kaca pintu Ruang Cleo bahwa Okta dalam keadaan terjatuh dari kursi dengan kondisi kaki terbujur dengan mulut yang mengeluarkan air liur.Saksi langsung memberitahu tersangka A atas hal yang dilihatnya. Menurut saksi, A hanya tertawa mendengar yang dikatakannya.
Pukul 13.25 saksi, yang belum melihat A menengok kondisi Octa, kembali mendatangi A untuk memintanya memanggil dokter. Oleh A, saksi diminta menghubungi keluarga korban, namun karena telepon rumah Okta tidak bisa dihubungi, saksi menggunakan nomor telepon rekan Okta berinisial T yang sudah beberapa kali menghubungi telepon Okta namun tidak dijawab.
Pukul 14.00 rekan korban, T sampai di Ruang Cleo, dan langsung memeriksa kondisi rekannya, dan mengatakan denyut nadi Okta sudah tidak berdenyut.
(Selanjutnya kronologis versi Citibank yang didapat dari catatan kamera CCTV)
Pukul 13.54 Okta didudukkan oleh T dan A di atas kursi roda milik pengelola gedung Jamsostek dan menuju mobil milik Citibank. Selanjutnya Okta dibawa menuju ruang gawat darurat RS Mintoharjo.Oleh pihak RS, Okta dinyatakan telah meninggal dunia.[5]
Penyelesaian penagihan kredit bermasalah sendiri secara normatif telah diatur dalam peraturan perundang-undangan perbankan di Indonesia.Penyelesaian kredit bermasalah bisa secara litigasi dan juga non litigasi.Penggunaan jasa debt collector oleh citybank merupakan salah satu upaya bank dalam melakukan penagihan kartu kredit yang sudah tergolong kedalam kredit bermasalah. Namun bagaimana hubungan hukum antara debt colletctor itu sendiri dengan nasabah sementara perjanjian kredit adalah perjanjian antara nasabah dengan bank, tidak melibatkan pihak ketiga yaitu debt collector.Selengkapnya akan penulis membahasnya dalam penulisan makalah ini.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng tersebut diatas maka yang menajdi masalah pokok yang dibahas adalah:
1.      Bagaimana upaya hukum penyelesaian kredit bermasalah secara litigasi dan non litigasi?
2.      Penyelesaian kredit bermasalah dengan jasa debt collector bagaimana hubungan hukumnya dengan nasabah ?

BAB II
PEMBAHASAN
3.1.Pengantar Tentang Kredit Bermasalah
Latar belakang adanya kasus kredit bermasalah adalah debitor telah dianggapmengingkari janji untuk membayar bunga dan/atau kredit induk yang telahjatuh tempo sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekalitidak ada pembayaran, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kreditbermasalah di dalamnya meliputi kredit macet, meskipun demikian tidaksemua kredit yang bermasalah adalah kredit macet.
Bank Indonesia telahmengeluarkan peraturan yang menggolongkan kolektibilitas kredit dalamSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/68/KEP/DIR tentangpenggolongan Kolektibilitas Aktiva Produktif dan Pembentukan CadanganAtas Aktiva. Peraturan tersebut telah beberapa kali dirubah, yaitu denganSurat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/22/KEP/DIR tanggal 9Mei 1993 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan pembentukan PenyisihanPenghapusan Aktiva Produktif, dirubah dengan Surat Keputusan DireksiBank Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR tanggal 27 Februari 1998 tentangkualitas Aktiva Produktif dan terakait dengan Surat Keputusan Direksi BankIndonesia Nomor 31/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang KualitasAktiva Produktif.
Kredit yang masuk dalam golongan lancar dinilai sebagai kredityang performing loan, sedangkan kredit yang masuk golongan kurang lancar,diragukan dan macet dinilai sebagai kredit non performing loan[6].
Dari pengertian tersebut di atas maka yang dimaksud dalamkriteria kredit bermasalah, adalah kredit yang tidak terbayar oleh debitortermasuk dalam kriteria bermasalah ada 4 (empat), yaitu kredit dalamperhatian khusus, kredit kurang lancar, kredit diragukan dan kredit macet.Implikasi bagi pihak bank sebagai akibat dari timbulnya kreditbermasalah tersebut dapat berupa:
1.      “hilangnya kesempatan untuk memperoleh income (pendapatan) darikredit yang diberikannya, sehingga mengurangi perolehan laba danpengaruh buruk bagi rentabilitas bank
2.       rasio kualitas aktiva produktif atau yang lebih dikenal dengan BDR(bad dept ratio) menjadi semakin besar yang menggambarkan situasiyang semakin memburuk
3.      bank harus memperbesar penyisihan untuk cadangan aktivaproduktif yang diklasifikasikan berdasarkan ketentuan yang ada. Halini pada akhirnya akan mengurangi besarnya modal bank dan akansangat berpengaruh terhadap CAR (capital adequacy ratio)
4.      Return On Assets (ROA) mengalami penurunan
5.      sebagai akibat dari komplikasi butir 2,3,4 tersebut diatas adalahmenurunnya nilai kesehatan bank.” [7]

Adanya kredit bermasalah apabila macet yang menjadi beban bagibank menjadi salah satu indikator penentu kinerja bank, oleh karena ituadanya kredit bermasalah apabila macet memerlukan penyelesaian yangcepat, tepat dan akurat dan memerlukan tindakan penyelematan danpeyelesaian dengan segera.Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan dan menyelesaikankredit bermasalah akan sangat bergantung pada kondisi kredit yangbermasalah itu sendiri. Untuk menyelamatkan dan menyelesaikan kreditbermasalah ada dua strategi yang ditempuh:

3.2   Upaya Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi
Proses Penyelesaian melalui jalur ini dilakukan melalui perundingan kembaliantara Kreditor dan debitor dengan meringankan syarat-syarat dalamperjanjian kredit.Jadi dalam tahap penyelamatan kredit ini belummemanfaatkan lembaga hukum karena debitor masih kooperatif dan dariprospek usahanya masih feasible. Penanganan kredit perbankan yangbermasalah menurut ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia No. 23/12/BPP tanggal 28 Februari 1991 dalam usaha mengatasi kredit bermasalah,pihak bank dapat melakukan beberapa tindakan penyelamatan sebagaiberikut:
1.      Rescheduling/ penjadwalan kembali
Rescheduling merupakan upaya pertama dari pihak bank untukmenyelamatkan kredit yang diberikan kepada debitor.Cara ini dilakukanjika ternyata pihak debitor (berdasarkan hasil penelitian dan perhitunganyang dilakukan account officer bank) tidak mampu untuk memenuhikewajiban dalam hal pembayaran kembali angsuran pokok maupunbunga kredit.Rescheduling adalah penjadwalan kembali sebagian atauseluruh kewajiban debitor.Hal tersebut disesuaikan dengan proyeksi aruskas yang bersumber dari kemampuan usaha debitor yang sedangmengalami kesulitan. Penjadualan tersebut bisa berbentuk :
1)      memperpanjang jangka waktu kredit
2)      memperpanjang jangka waktu angsuran, misalnya semula angsuranditetapkan setiap 3 bulan kemudian menjadi 6 bulan
3)      menurunkan jumlah untuk setiap angsuran yang mengakibatkanperpanjangan jangka kredit

2.      Reconditioning
Reconditioning merupakan usaha pihak bank untukmenyelamatkan kredit yang diberikannya dengan cara mengubahsebagian atau seluruh kondisi (persyaratan) yang semula disepakatibersama pihak debitor dan bank yang kemudian dituangkan dalamperjanjian kredit. “Perubahan kondisi kredit dibuat dengan memperhatikanmasalah-masalah yang dihadapi oleh debitor dalam pelaksanaan proyekatau bisnisnya.”[8]
Dalam hal ini perubahan tersebut meliputi antara lain :
1)      Kapitalisasi bunga yaitu bunga yang dijadikan utang pokok sehingganasabah untuk waktu tertentu tidak perlu membayar bunga, tetapinanti uang pokoknya dapat melebihi plafon yang disetujui. Sehinggaperlu peningkatan fasilitas kredit disamping itu bunga tersebutdihitung bunga majemuk yang pada dasarnya akan memberatkannasabah. Cara ini dapat dilakukan jika prospek usahan nasabahbaik.
2)      Penundaan pembayaran bunga yaitu bunga tetap dihitung. Tetapipenagihan atau pembebanannya kepada nasabah tidakdilaksanakann sampai nasabah mempunyai kesanggupan. Atasbunga yang terutang tersebut tidak dikenakan bunga dan tidakmenambah plafon kredit.
3)      Penurunan suku bunga yaitu dalam hal nasabah dinilai masihmampu membayar bunga pada waktunya, tetapi suku bunga yangdikenakan terlalu tinggi untuk tingkat aktifitas dan hasil usaha padawaktu itu. Cara ini ditempuh jika hasil operasi nasabah memangmenunjukkan surplus atau laba dan likuiditas memungkinkan untukmembayar bunga.
4)      Pembebanan bunga yaitu dalam hal nasabah memang dinilai tidaksanggup membayar bunga karena usaha nasabahnya mencapaitingkat kembali pokok atau break even. Pembebanan bunga ini dapatdilakukan untuk sementara, selamanya aataupun untuk seluruhutang bunga.
5)      Pengkonversian kredit jangka pendek menjadi jangka panjangdengan syarat yang lebih ringan
6)      Jaminan kredit/agunan, beberapa jaminan yang semula harusdiberikan atau diserahkan pada bank terpaksa tidak bisa terlaksanakarena beberapa alasan misalnya tanah yang akan dijadikan jaminanternyata masih dalam sengketa.
7)      Jenis serta besarnya beberapa fee yang harus dibayar debitorkepada bank, misalnya dalam kasus yang terjadi pada kreditsindikasi.
8)      Manajemen proyek atau bisnis yang dibiayai bank berdasarkananalisis yang dilakukan bank maupun atas nasehat dari konsultanyang ditunjuk bank. Hal ini terpaksa dilakukan untuk mengamankanjalannya proyek dan merupakan persyaratan baru atau persyaratantambahan yang diminta oleh bank yang harus dipenuhi debitor dalamrangka penyelamatan proyek.
9)      Kombinasi dari beberapa perubahan tersebut[9]
3.      Recstructing
Lukman Dendawijaya mendefinisikan reksrtukturisasi yaitu usahapenyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan bank dengan caramengubah komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit.Sebagai contoh, suatu proyek dibiayai dengan struktur pembiayaanyakni 60 % adalah pinjaman bank, dan 40 % adalah modal nasabahsehingga debt to equity ratio adalah 60:40. kemudian karena kesulitanyang dialami nasabah dalam melaksanakan proyeknya atau bisnisnya,nasabah tidak mampu membayar angsuran pokok pinjama maupunbunga kredit, misalnya bunga yang dibebankan dirasakan terlalu beratsehinggga harga pokok produksinya tinggi dan produknya tidak dapatdipasarkan karena menghadapi persaingan yang berat di pasar.[10]
Secara umum tujuan dilakukannya rekstrukturisasi kredit adalah meningkatkan kemampuan debitor dalam membayar pokok dan bunga jaminan.Dalam melakukan rekstrukturisasi kredit hal yang harus diperhatikan adalah prospek usaha dan itikad baik debitor.Prospek usaha dapat dinilai dengan melihat potensi perusahaan untuk menghasilkan net cash inflow yang positif dan prospek market dari produk atau jasa yang dihasilkan. Sedangkan itikad baik debitor dapat dilihat dari antara lain kemauan dan kesediaan debitor dalam melakukan negoisasi dengan kreditor, memikul beban kerugian yang akan ditetapkan sebagai hasil negosiasi dan mempunyai atau akan menyampaikan rencana rekstrukturisasi untuk dibahas dengan kreditor. Rekstrukturisasi disebut sebagai langkah atau upaya reaktif apabila dilakukan bagi kredit yang mengalami kesulitan pembayaran pokok/bunga. Sedangkan rekstrukturisasi disebut sebagai upaya preventif apabila kredit masih tergolong lancar namun diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran angsuran pokok/bunga.
Restructing atau rekstrukturisasi menurut Surat Keputusan DireksiBank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentangRekstrukturisasi kredit dalam Pasal 1 huruf c adalah upaya yang dilakukanbank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitor dapat memenuhikewajibannya. Rektrukturisasi kredit dapat dilakukan dengan cara-carasebagai berikut :
1)      Penurunan suku bunga kredit
Penurunan suku bunga kredit tidak dapat dikatakan sebagairekstrukturisasi kredit apabila penurunan dimaksud bertujuannmenyesuaikan dengan bunga pasar yang pada saat bersamaan jugamengalami penurunan. Kaitannya dengan Batas Maksimum PemberianKredit (selanjutnya disingkat menjadi BMPK), perpanjangan jangkawaktu yang sebelumnya telah melampaui BMPK diberlakukan sebagaipelampauan BMPK yang wajib diselesaikan dalam jangka waktu 9 bulansedangkan penyertaan modal sementara dalam rangka rektrukturisasikredit dikecualikan dari perhitungan BMPK.[11]
2)      pengurangan tunggakan bunga kredit
kreditor dapat memberikan keringanan berupa mengurangi jumlahbunga yang tertunggak atau menghapus seluruh tunggakan bungakredit. Debitor dibebaskan dari kewajiban membayar tunggakan bungakredit sebagian atau seluruhnya.Langkah ini diambil agar debitormempunyai kembali kemampuan melanjutkan kegiatan usahanyasehingga dapat digunakan membayar utang pokoknya.
3)      Pengurangan tunggakan pokok kredit
Kreditor dapat memberikan keringanan berupa mengurangi utang pokokyang tertunggak. Langkah ini merupakan reksstrukturisasi yang palingmaksimal yang dapat diberikan oleh bank karena langkah ini biasanyadiikuti dengan penghapusan bunga dan denda seluruhnya.“Pengurangan tunggakan pokok ini merupakan pengorabanan yangsangat besar dari bank karena asset bank yang berupa utang pokoktidak kembali dan merupakan kerugian bagi bank.”[12]
4)      Perpanjangan waktu kredit
Perpanjangan waktu kredit merupakan bentuk rekstrukturisasi kredityang bertujuan memperingan debitor untuk mengembalikan hutangnya.“Diharapkan dengan perpanjangan waktu ini dapat memberikankesempatan kepada debitor untuk melanjutkan usahanya sehinggapendapatan yang harusnya digunakan untuk membayar hutangdigunakan untuk memperkuat usahanya.”[13]
5)      Penambahan fasilitas kredit
Dalam hal ini rektrukturisasi kredit dilakukan dengan cara penambahanfasilitas kredit yang harus digunakan sesuai prosedur yang ketat danterdapat agunan yang cukup. “Dengan adanya penambahan fasilitaskredit dimana debitor diberikan kredit lagi sehingga utang menjadi besarnantinya diharapkan debitor dapat mempunyai kemampuan untukmenjalankan kembali usahanya dan pendapatan dari usahanya dapatdigunakan untuk membayar utang lama dan utang baru.”[14]
6)      Pengambilalihan asset debitor sesuai dengan ketentuan yangberlaku
Pengambilalihan asset debitor sesuai dengan ketentuan yang mengacukepada Undang-Undang perbankan khususnya Pasal 12A yangmengatur kemungkinan Bank Umum dapat membeli sebagian atauseluruh anggunan baik melalui penjualan umum atau pelelanganataupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela.
Kemudahan ini oleh undang-undang diadakan pembatasan yaitu
1.      Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan dari kredit macet
2.      Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalamjangka waktu 1 tahun
3.      Dalam jangka waktu 1 tahun bank dapat menangguhkan kewajibankewajibanyang berkaitan dengan pengalihan hak atas agunan yangbersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku[15]

7)      Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara padaperusahaan debitorYaitu apabila upaya penyelamatan melalui penurunan suku bunga,pengurangan tunggakan bunga dan usaha lainnya tidak dapat dilakukanlangkah ini diambil setelah melalui analisi yang mendalam sertamempertimbangkan akan terjadinya perubahan status bank terhadapdebitor. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementra padaperusahaan debitor hanya dilakukan apabila dipenuhi persyaratanpersyaratantertentu, yaitu :
1)      Jangka waktu penyertaan maksimum 5 tahun atau kurang dari 5tahun apabila perusahaan telah memperoleh laba selama 2 tahunberturut-turut.
2)      Setelah 5 tahun harus dihapus bukukan. Dalam hal ini bank tidakperlu ijin Bank Indonesia namun harus sesuai dengan anggarandasar dan kebijakan masing-masing bank. Selain itu juga harusmemperhatikan BMPK. Konversi kredit harus dilakukan oleh satuankerja yang tersisa dengan satuan kerja pemberian kredit dandipimpin oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukannegoisasi dengan debitor dalam rangka konversi kredit.[16]

3.3  Penyelesaian Kredit Bermasalah secara Litigasi
1)      Mengajukan gugatan ke pengadilan
Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan ketentuan Hukum Acara Perdata.Kreditor atau bank dapat memberikan somasi atau peringatan kepada debitor agar ia memenuhi kewajiban, namun somasi secara yuridis tidak mempunyai akibat hukum yang memaksa pada debitor. “Apabila somasi itu tidak ditanggapi oleh debitor, maka kreditor atau bank dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri.”[17] Kemudian apabila terbukti hakim akan mengeluarkan keputusan Pengadilan yang tetap atau pasti. Namun bila tergugat atau debitor tidak melaksanakan putusan pengadilan Kreditor atau penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi dan melakukan sita eksekusi untuk selanjutnya melelang harta tergugat sehingga hasil lelangan dapat digunakan untuk melunasi hutang tergugat.
2)      Eksekusi jaminan kredit
“Mekanisme eksekusi jaminan kredit bila jaminan diikat secara formalatau melalui bantuan notaris untuk membuatkan aktanya (grosseakta/ akta hipotek/ akta hak tanggungan) maka kreditor cukupmengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan yangberkompeten.”[18]
Bila ternyata debitor tetap tidak melaukannya makakreditor akan memohon sita eksekusi. Kemudian dengan sitaeksekusi tersebut juru sita pengadilan melakukan sita jaminan yangbiasanya disertai permohonan kreditor untuk pelelangan jaminan.Lalu, pengadilan berdsarkan permohonan lelang dari kreditor akanmenghubungi kantor lelang untuk melaksanakan lelang atas jaminantersebut. Setelah pelelangan dilakukan, kreditor bisa mengambilpinjaman dengan perhitungan yang sudah diketahui pengadilan dariharga jaminan yang terjual.
3)      Parate Eksekusi Hak tanggungan
Pemegang hak tanggungan dapat memilih cara menjual lelang objekhak tanggungan berdasarkan kekuasaan sendiri (Pasal 6 jo. Pasal11 ayat (2e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996), makapemegang hak tanggungan sama sekali tidak perlu berhubungandengan pengadilan. “Kreditor pemegang Hak Tanggungan cukupmeminta bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual obyek haktanggungan tersebut.”[19]
4)      Paksa Badan
Diatur oleh Peraturan mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1tahun 2000 tanggal 30 Juni 2002 tentang lembaga paksa badan.“Kreditor mengajukan gugatan kepada debitor dan kemudian hakimmemutuskan debitor sebagai pihak yang berhutang harus disanderakarena tidak mampu melaksanakan keputusan hakim karena tidakmemiliki harta yang bisa dijual.”[20]
5)      Pailit
Sesuai ketetuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentangKepailitan, bahwa pailit ialah keadaan debitor yang mempunyai duaatau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu hutang yangtelah jatuh tempo dan dapat ditagih yang dinyatakan oleh PengadilanNiaga. “Debitor dinyatakan pailit oleh Keputusan Pengadilan Niaga,sehingga kreditor yang ingin memailitkan debitor dapat mengajukangugatan ke Pengadilan Niaga.”[21]
6)      Penyelesaian kredit perbankan melalui BPBN
“Kredit bermasalah yang ada pada bank yang sedang dalam penyehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 diselesaikan oleh suatu lembaga yang disebut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).” 51 Piutang yang diurusi oleh BPPN dari Bank dalam Penyehatan meliputi
1.      Piutang yang sudah dialihkan kepada BPPN;
2.      Piutang yang timbul sehubungan dengan Penanggungan hutang;
3.      Penyerahan kekayaan oleh pihak lain kepada Bank DalamPenyehatan atau BPPN

Tatacara BPPN dalam menjalankan tugasnya adalah :
1.      Penerbitan Surat Paksa
Penerbitan Surat Paksa diatur dalam pasal 56 ayat (1)Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 1999, yang memiliki kekuataneksekutorial dan berkedudukan sama dengan putusan pengadilanyang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penerbitan Surat Paksaini dilakukan sepanjang debitor telah melalaikan kewajiban membayaratau kewajiban lainnya berdasarkan dokumen kredit, dokumenpemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnyadan atau dokumen lainnya dan kepada debitor atau penanggunghutang telah terlebih dahulu diberi surat peringatan melalui surattercatat untuk membayar atau dokumen lain yang nilainya samaseperti itu.
2.      Penyitaan
Dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah diterimanya SuratPaksa, BPPN berwenang melakukan sita eksekusi atas seluruhkekayaan debitor termasuk yang berada di tangan pihak ketiga kecualibarang-barang yang masih dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya.
Surat penyitaan harus memenuhi syarat Pasal 58 dan dilakukan olehjuru sita dibantu 2 (dua) orang saksi dan dituangkan dalam beritaacara penyitaan. Berita acara penyitaan diserhkan pada kantorpertanahan.
3.      Pelelangan
Penjualan kekayaan miliik debitor yang telah disita dilakukanmelalui pelelangan, pembagian hasil pelelangan diserahkan untukmelunasi pemenuhan pembayaran piutang negara terdahulu. Upayahukum lainnya tidak dapat mencegah BPPN untuk mengambilpelunasan piutang negara termasuk upaya hukum uuntuk mencegahatau menunda pelaksanaan tindakan hukum lain. Wewenang BBPNjuga adalah menerbitkan surat pencabutan sita apabila debitor telahmelunasi hutangnya, selanjutnya kantor pendaftaran mencabut blookirdan mengangkat sita eksekusinya.

3.4.   Penyelesaian Kredit Dengan Jasa Debt CollectorBagaimana Hubungan Hukumnya dengan Nasabah
Penggunaan kartu kredit merupakan salah satu hak nasabah selaku konsumen yang di jamin dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut UUPK ).Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Sedangkan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang PerlindunganKonsumen.Mengacu kepada pasal ini, maka nasabah dapat kita sebut sebagai konsumen dan bank disebut sebagai produsen. Nasabah memanfaatkan berbagai  produk dan fitur-fitur yang disediakan oleh pihak perbankan yang dalam hal ini adalah bank.Sebagai konsumen, maka nasabah memiliki hak dan kewajiban. Hak dari konsumen terurai dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:
1.      hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.      hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.      hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.      hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7.      hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Adapun kewajiban konsumen diatur dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu:
1.      membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.      beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.      membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.      mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Sementara itu, bank yang dalam hal ini bertindak sebagai produsen harus memberikan perlindungan terhadap nasabah sebagai konsumen. Adapun yang menjadi hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah:
1.      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
Dalam penjelasan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditetapkan bahwa perlindungan konsumen didasarkan pada 5 (lima) asas, yaitu:
1.      Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.      Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.      Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Jumlah pemakai kartu kredit meningkat pesat lima tahun terakhir. Merujuk data Bank Indonesia, tahun 2007 ada 9,1 juta kartu kredit di masyarakat. Sampai Februari 2011, jumlahnya mencapai 13,8 juta buah dari 21 bank penerbit. Bank yang termasuk lima besar penerbit kartu kredit adalah BCA (2,2 juta kartu), Mandiri (2 juta kartu), BNI (1,6 juta kartu), Citibank (1,5 juta kartu), dan CIMB Niaga (1 juta kartu). Tren dominasi bank asing di pasar kartu kredit mulai digeser perbankan nasional, terutama bank BUMN yang cukup ekspansif. Hal itu antara lain terlihat dari kenaikan jumlah kredit bank persero dibandingkan dengan bank asing. Kenaikan nilai transaksinya pun luar biasa. Tahun 2010 tercatat Rp 163,2 triliun atau meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan tahun 2007 yang Rp 72,6 triliun.
Masifnya bisnis kartu kredit membuat bank menyerahkan pekerjaan promosi dan pemasaran sampai penagihan kepada pihak ketiga.Di sinilah masalah muncul. Meskipun secara normatif pihak ketiga diminta mengikuti norma dan ketentuan berlaku, perilaku melanggar hak dan privasi konsumen pengguna kartu semakin sering terjadi. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo mengatakan, edukasi kepada pengguna kartu kredit dan transparansi informasi dari pihak bank mutlak dilakukan.Pemahaman atas risiko perhitungan bunga kartu kredit penting agar konsumen paham konsekuensi setiap gesekan kartu kreditnya dan bank tidak bisa lagi menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui konsumen, seperti opsi pembebasan bunga cicilan dan penjadwalan ulang pembayaran.
Potensi pasar kartu kredit atau kredit konsumsi lainnya tentu akan semakin meningkat seiring dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Tetapi, peningkatan itu bukan tanpa risiko bagi bank penyalur kredit.Risiko yang dihadapi berupa kredit macet atau bermasalah. Sebagian kecil (22 persen) pemilik kartu kredit yang diwawancarai mengaku pernah menunggak atau alpa membayar tagihan kredit. Alasannya beragam, mulai dari lupa, tidak punya dana, hingga malas.Untuk mengantisipasi hal itu, bank biasanya mengetatkan pengawasan terhadap pembayaran tagihan nasabah agar tidak melampaui batas jatuh tempo.Tak jarang bank menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector).Sekitar 20 persen pemilik kartu kredit atau keluarganya pernah dihubungi oleh penagih utang.Cara umum yang dilakukan oleh tukang tagih ini biasanya dengan menelepon dan mendatangi rumah responden atau keluarga responden.Terkait keberadaan tukang tagih utang ini, lebih dari separuh responden yang mempunyai kartu kredit menekankan, peran penagih utang tidak diperlukan. Masyarakat berharap ada cara lain menegosiasikan utang yang macet selain harus berhadapan dengan tukang tagih yang disewa bank.
Pendapat ini terkait dengan peristiwa tewasnya seorang nasabah kartu kredit Irzen Octa yang diduga akibat perlakuan penagih utang.Kekhawatiran di kalangan pengguna kartu kredit pun bermunculan. Dampaknya, meski tidak bertindak reaktif dengan segera menutup kartu kredit mereka, pemilik kartu kredit menyatakan akan lebih berhati-hati menggunakan kartu kredit dan melakukan pembayaran. Meski demikian, responden menilai, peristiwa itu memberi kesan buruk terhadap wajah perbankan..
Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya.  Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam KUHPerdata.  Khusus di bidang perbankan, memang ada peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pihak bank untuk menggunakan jasa pihak lain untuk menagih utang. Hal tersebut diatur dalam PBI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (“PBI”) junctoSE BI No. 11/10/DASP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu tanggal 13 April 2009 (“SEBI”). Dalam PBI dan SEBI ini, diatur bahwa:[22]
1.      Dalam hal bank menggunakan jasa pihak lain untuk melakukan penagihan, maka hal ini wajib diberitahukan kepada pemegang Kartu;
2.      Bank wajib memastikan bahwa tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank itu sendiri;
3.      Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet;
4.      Bank harus menjamin bahwa penagihan dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum;
5.      Perjanjian kerjasama antara bank dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggung jawab bank terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.
Hotman Paris mengatakan “ penggunaan debt collector adalah menyalahi undang-undang. Pasalnya, dengan menggunakan jasa debt collector, bank sudah jelas dengan sengaja menggunakan cara intimidasi atau kekerasan dalam penagihan kredit. penggunaan jasa debt collector merupakan bukti permulaan adanya niat untuk menggunakan cara intimidasi. Sehingga pihak bank, yang merupakan si penyuruh, dapat dikenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 55 yang menyebutkan :
1.      Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a.       mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
b.      mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2.      Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”
Penggunaan jasa debt collector dalam penagihan kartu kredit sebagaimana terjadi pada citybank, hubungan hukum debt collector dengan pihak bank merupakan hubungan pemberian kuasa,jadi hubungan hukum antara nasabah dengan debt collector adalah sama dengan hubungan hukum antara nasabah dengan bank. Namun sesuai dengan peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/2009 sebagaimana tersebut di atas dilanggar oleh citybank dalam hal ini adalah para debt collector yang pada saat itu bertindak atas nama citybank. Debt collector melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan dan melanggar etika dalam hukum bisnis itu sendiri yaitu dengan itikad tidak baik.

BAB III
PENUTUP
3.1         Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka yang dapat disimpulkan adalah
1.      Upaya Hukum Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Non Litigasi yaitu :Rescheduling/ penjadwalan kembali , Reconditioningdan Recstructingsedangkan Penyelesaian Kredit Bermasalah secara Litigasi adalah Mengajukan gugatan ke pengadilan, Eksekusi jaminan kredit, Parate Eksekusi Hak tanggungan, Paksa Badan, diPailitkan dan bias juga Penyelesaian kredit perbankan melalui BPBN
2.      Penyelesaian Kredit Dengan Jasa Debt collector pada prinsipnya bekerja berdasarkan kuasa yang diberikan oleh kreditur untuk menagih utang kepada debiturnya.  Perjanjian pemberian kuasa diatur dalam KUHPerdata. Oleh karena itu hubungan hukum antara nasabah citybank dengan debt collector sama dengan hubungan hukum antara nasabah dengan bank karena adanya pemberian kuasa.



[1] Rahmadi Usman. 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, cet.ke-2, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.276
[2]O.P Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial, Cetakan ke-5, Aksara Persada Indonesia, Jakarta.
[3]Ibid, Hal.92
[5]Ibid
[6] Sutarno, Aspek- Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003, hlm.263- 264
[7] Lukman Dendawijaya, ,Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Bandung, 2001, hlm. 86
[8] 37 Ibid., hlm. 87
[9]Ibid., hlm. 87-88
[10] Lukman Dendawijaya, Op.Cit, hlm. 89
[11]Indarwati Soewarsono, Beberapa Masalah Hukum Rekstrukturisasi, Newsletter nomor 36/X/Maret/1999, hlm. 21
[12]Op. Cit, hlm.269
[13]Ibid. hlm.89
[14]Indarwati soewarsono, Beberapa Masalah Hukum Rekstrukturisasi, Newsletter nomor 36/X/Maret/1999, hlm. 22
[15]Ibid. hlm. 90
[16]Ibid. hlm. 91
[17]Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Jakarta, hlm. 296
[18] Elyana, Efektifkah Hukum Kita Melindungi Kreditor, Newsletter nomor 36/X/Maret/1999, hlm. 26-27
[19]Ibid, hlm. 27
[20]Op. Cit. hlm. 331
[21]Op. Cit. hlm. 334
[22]Hasrinaldi Eri, Dasar Hukum Adanya Debt Collector, http://www.newsbanking.com/2011/04/dasar-hukum-adanya-debt-collector.html, diakses pada tanggal 17 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar